7.
Brak!
Brak!
Segala macam barang di ruang kerjanya sudah berpindah tempat. Hal itu dikarenakan Sergio membantingnya kesana-kemari. Tak hanya berpindah tempat, beberapa barang di sana juga sudah hancur tak tersisa.
Sergio sedang murka. Dia marah tanpa sebab yang diketahui oleh Isla, membuat gadis muda itu kebingungan dibuatnya.
"Tuan, Anda baik-baik saja?" Sebagai seeeorang yang bekerja langsung pada Sergio, tentu saja dia harus peduli dengan apa yang Sergio rasakan. Termasuk kemarahan pria itu.
Meski sejujurnya Isla sangat takut pada amarah Sergio, tetap saja dia harus peduli dan berusaha mendekat. Selangkah demi selangkah, dia terus mendekati pria itu. Sampai akhirnya, dia berdiri persis di hadapan Sergio.
"Tuan, Anda baik-baik saja?" Tanya Isla.
Suaranya tampak tidak berpengaruh sedikitpun untuk Sergio. Pria itu tetap saja berkecimpung dengan kemarahannya, mengabaikan Isla yang mencoba peduli padanya.
Isla tentu tidak bisa tinggal diam. Alhasil, dia menaikkan nada bicaranya. "Tuan Sergio!"
'Fuck! Fuck! Fuck! Damn it!' Rutuknya dalam hati.
"Tuan Sergio?!"
'I hate that damn dream!' Lanjutnya dalam hati.
"Sergio!" Isla mulai kehabisan rasa sabarnya. Dia akhirnya berteriak kencang pada Tuannya satu itu.
Dan kali ini Sergio mendengarnya. Dia sangat terkejut karena Isla membentaknya. Dadanya naik turun tidak menentu. Dia terlihat sangat gelisah.
Isla jadi semakin tidak tega pada Sergio. Dia menarik tangan Sergio, menyuruhnya untuk duduk di sofa. "Come here…"
Sergio duduk di sofa, persis di hadapan Isla yang masih berdiri. "Aku berdiri di sini sebagai temanmu. Jadi, aku tidak akan memanggilmu Tuan. Aku akan memanggilmu Sergio. Mengerti?"
Bagai anjing peliharaan, Sergio hanya menganggukkan kepalanya.
Isla merentangkan kedua tangannya, merengkuh tubuh Sergio sampai akhirnya pria itu memeluk perutnya.
Sergio hanya menurut saja. Dia meletakkan kepalanya pada perut Isla. Dan entah mengapa, rasanya begitu nyaman. Sergio seperti memiliki tumpuan setelah lama sendirian.
Saking nyamannya, Sergio sampai memejamkan matanya dan mulai menikmati sapuan tangan Isla di rambutnya.
"Apa kau bermimpi buruk, Sergio?" Tanya Isla.
Sergio mendongak, tidak menyangka Isla bisa menebak dengan tepat. Hanya dalam satu kali tebakan, dan langsung benar.
Isla bukan dukun. Dia bukannya memiliki ilmu untuk menerawang apa yang terjadi pada Sergio. Dia mengandalkan daya ingatnya. Bukankah Merald pernah berkata bahwa Sergio seringkali bermimpi buruk tentang masa lalunya yang begitu menyedihkan? Dari ucapan Merald, Isla selalu mengingat-ingatnya.
Melihat Sergio yang terlihat kaget, Isla bisa menyimpulkan bahwa tebakannya telah benar. "Sudah, jangan dipikirkan. Daripada pusing-pusing memikirkan tentang mimpi buruk itu… lebih baik memikirkan tentang aku. Kau tahu? Tadi pagi Isla digosipkan memiliki seorang sugar Daddy. Isla dibilang pelacur. Cih! Seenaknya saja si brengsek itu bicara. Dia tidak tahu apa jika aku itu bekerja! Bekerja! Bukan melacur." Ocehnya panjang lebar.
Sergio jadi merasa terhibur. Dia menyimak setiap kata yang keluar dari bibir Isla, seolah itu adalah kata-kata manis untuknya. Padahal, Isla sedang mengadu nasib.
'Dia cerewet sekali.' Batin Sergio tanpa sadar.
Bukannya kesal, Sergio justru tersenyum. Cerewetnya Isla adalah sesuatu yang menggetarkan hati. Sergio jadi tidak sabar ingin bisa berbicara kembali dan membalas setiap ocehan gadisnya.
"Jadi, aku menendangnya dan… dia ketakutan—" alarm di ponsel Isla tiba-tiba saja berbunyi. Dia meraih ponselnya yang berada di saku dan berseru senang. "—saatnya ke dokter untuk memeriksakan tenggorokan Anda, Tuan!" Isla kembali pada mode formal. Dia kembali menjadi babysitter untuk Sergio.
Sergio merekatkan pelukannya, seolah menolak. Hal itu membuat Isla kebingungan sendiri.
"Kenapa Tuan?!" Tanya Isla.
Sergio menggeleng pelan. Dia tetap memeluk perut Isla dengan kuatnya. 'Nyaman, Isla… ini nyaman. Sudah lama saya tidak ditemani saat sedang terpuruk.' Jawabnya dalam hati.
"Tuan, kita harus ke dokter sekarang." Bujuk Isla.
Sergio menghela nafas panjang, mengangguk singkat. Dengan sangat terpaksa, dia melepaskan pelukan hangat yang sangat dia sukai tersebut. Sergio berdiri, mengirimkan pesan pada ponsel Isla.
'Bersiaplah. Kita berangkat sepuluh menit lagi.' Isi pesan tersebut.