5.
Kekasih. Satu kata yang entah mengapa membuat hati Isla mendadak berubah menjadi lemah. Bagian tubuh paling sensitif miliknya tersebut sudah berdebar tidak menentu. Padahal, dia bertekad untuk tidak jatuh cinta kepada siapapun. Termasuk Sergio.
Bukan tanpa alasan tekadnya ini dia buat. Ada sebuah alasan tersendiri di balik tekad kuatnya untuk tidak mencintai seorang laki-laki. Yaitu, karena dia tidak mau menjadi lemah.
Dia adalah Isla Cambrey, si pemilik netra ambernya yang memancarkan ketenangan. Dia anak perempuan pertama, cucu pertama dalam keluarga besarnya. Dan dia tidak boleh menjadi lemah. Meski karena cinta sekalipun.
Selama ini, dia selalu mati-matian menguatkan dirinya sendiri. Sampai akhirnya Isla yang dulu sangat naif, berubah drastis menjadi gadis muda yang cuek. Bahkan, di saat kedua orang tuanya menghukum dia, menarik semua fasilitas yang dia miliki, Isla masih bisa bertahan hidup. Bahkan, dia masih bisa berfoya-foya jika mau. Dan juga, dia masih memiliki tempat tinggal.
Tok!
Tok!
Suara meja yang diketuk membuat Isla sadar dari lamunannya sendiri. Dia mendongak, menatap Sergio yang sedang merapikan dokumennya.
"Anda membutuhkan saya, Tuan?" Tanya Isla. Meski hati dan pikirannya sedang kacau, Isla masih bisa bersikap profesional. Karena memang begitu seharusnya.
Sergio berdiri, menghampiri Isla dan mengetik sesuatu di ponselnya. 'Malam nanti temani saya untuk cek up ke dokter.'
"Malam?" Sergio mengangguk.
"Memangnya dokter masih mau menangani pasien rawat jalan saat malam?" Ucapnya tanpa sadar.
Sergio memutar bola matanya malas, melipat kedua tangannya di depan dada.
Hal itu membuat Isla entah mengapa merasa bahwa Sergio sedang menyombongkan sesuatu. Dia berpikir sejenak, kemudian menepuk keningnya langsung.
"Oh Shit! Saya lupa Anda adalah Tuan Miguel… mana mungkin dokter menolak kunjungan Anda… bahkan, presiden sekalipun tidak akan menolaknya." Gumam Isla.
Sergio berdeham sangat pelan, keluar dari ruang kerjanya diikuti Isla yang seperti biasa mengekor di belakangnya.
"Ehm, Tuan Sergio… Anda belum makan malam. Atau, mungkin Anda belum makan seharian. Karena, yang saya dengar hari ini Anda sangat sibuk sampai tidak keluar kamar. Apa tidak sebaiknya Anda makan sekarang? Saya mengkhawatirkan Anda." Sepanjang perjalanan mereka menuju lantai dasar, Isla mengoceh bagai ibu yang memarahi putranya karena tidak makan. Dia terus berbicara pada Sergio, membuat telinga Sergio seperti sedang dikerumuni oleh banyak lebah.
Merasa Isla mengoceh terlalu panjang, Sergio menghentikan langkahnya. Dan Isla yang memang ceroboh tidak menyadari hal tersebut sampai-sampai kepalanya menabrak punggung keras Sergio.
"Akh!" Isla mengerang kesakitan, merasa kepalanya sangat pusing. Tak lupa, dia juga membubuhi dengan sebuah umpatan di akhir ringis kesakitannya. "Fuck! Sejak kapan ada dinding di tengah— oh Shit! Oh My god!" Isla menelan ludahnya kasar, mendongak saat menyadari yang dia tabrak bukanlah tembok.
"M-maaf, Tuan. Isla tidak sengaja." Cicit Isla seraya menggigit bibir bawahnya sendiri.
Dan sialnya, bibir berwarna merah ceri itu terlihat sangat sexy saat sedang di gigit oleh si pemiliknya. Rasa hati Sergio ingin menggantikannya.
Sergio merasa tidak habis pikir dengan gadis di depannya ini. Bagaimana bisa Isla menjadi gadis yang ceroboh namun teliti di waktu yang bersamaan? Cukup jarang kedua sifat ini berada di raga yang sama.
Sergio melanjutkan langkahnya, duduk di meja makan. Isla tanpa mempedulikan sopan santun sedikitpun langsung duduk di dekat Sergio. Dan hal tersebut membuat Lluvy yang tadinya hendak mengantarkan makan langsung mendelik kesal.
"Isla!" Sahut Lluvy.
Isla yang tidak mengerti kode dari Lluvy justru tersenyum lebar. "Kenapa?" Tanya dia.
Lluvy menghela nafas kasar, merutuki dirinya sendiri karena lupa memberi tahu Isla tentang Sergio yang selalu tidak mengijinkan siapapun untuk makan bersamanya. Tidak terkecuali dengan Merald.
Dia meletakkan beberapa makanan di atas meja, hendak menarik Isla sampai sebuah tangan tiba-tiba mencegahnya.
"Tidak seharusnya kau duduk di sin—"
"Tuan Sergio?" cicit Lluvy, kebingungan.
Hanya dengan satu gerakan kepala, Lluvy langsung melepaskan cekalan tangannya dari Isla. Dia menunduk, menjauh dari meja makan.
"Ada apa sebenarnya, Tuan? Apa saya tidak diperbolehkan untuk makan di sini?" Tanya Isla dengan polosnya. Dia sudah bertekad untuk banyak berbicara, menjadi dirinya sendiri di depan Sergio. Karena, mata hatinya melihat Sergio sebagai pria yang kesepian sejak lama. Meski dikelilingi banyak orang, Isla tetap melihat betapa kesepian dan sendirinya Sergio.
Di sisi lain, Sergio yang sudah cukup lama selalu sendiri setiap di meja makan, merasakan sesuatu yang aneh sewaktu melihat Isla duduk di dekatnya. Selama ini, Sergio sengaja berkecimpung dalam kesendiriannya. Merasa enggan untuk keluar dari sana, dan memilih menjadi pria kesepian untuk seumur hidupnya. Tetapi, dengan hadirnya Isla di depan mata… Sergio merasakan hal yang berbeda. Dia jadi ingin ditemani.
Tanpa sadar, tangan Sergio sudah meraih sebuah lauk dan diletakkannya pada piring Isla. Perlakuan manis Sergio ini membuat Isla tersenyum lebar.
"Terima kasih, Tuan. Ehm… Tuan mau makan apa? Isla akan ambilkan untuk Tuan. Tuan harus makan yang banyak agar pita suara Tuan cepat kembal…" Isla terdiam. Kalimat terakhirnya dia gantungkan tanpa dirinya lanjutkan. Karena, otaknya seolah membeku tak mengijinkan dia untuk berujar.
'Jika Tuan Sergio bisa berbicara… artinya, aku tidak akan bisa di sisinya lagi.' Batin Isla tanpa sadar.
Sebuah tangan hangat yang berada di lengannya berhasil membuat Isla tersadar. Dia kembali melanjutkan kegiatannya, mengambilkan makanan untuk Sergio.
"Dimakan, Tuan… Isla juga akan makan. Oh iya, karena Isla tidak suka makan sambil diam, aku akan bercerita tentang diriku sendiri. Apa boleh?" Tanya gadis itu.
Melihat Sergio mengangguk, Isla langsung mengoceh sembari sibuk mengunyah.
"Apa Anda tahu, Tuan? Aku sedang dihukum oleh orang tuaku. Padahal, masalah yang kulakukan sangatlah sepele. Aku hanya mencampurkan obat diare di minuman selingkuhan Mommy. Tetapi, Mommy semarah itu sampai menarik semua fasilitas ku. Menyebalkan sekali. Bukankah seharusnya dia berterima kasih karena putrinya hanya mencampurkan obat diare pada minuman si tua bangka itu, bukannya sianida—"
"Uhuk!" Sergio tidak menyangka yanh diceritakan Isla adalah masalah yang cukup serius. Dia sampai terbatuk karena nya.
"Tuan baik-baik saja? Apa tenggorokan Tuan sakit?" Isla panik.
Sergio menggeleng, menjawab dalam hati. 'Otakku yang sakit karena mendengar cerita konyol mu, Isla. Bagaimana bisa kau… memiliki pemikiran untuk bertindak sekeji itu?' Dia merinding dalam hati.
Tidak Sergio sangka, rupanya Isla bukan gadis polos seperti yang sempat terbesit dalam pikirannya. Faktanya, Isla adalah gadis yang cukup berbahaya dan sepertinya… sering melakukan hal nekat.
Haruskah Sergio berhati-hati padanya?