Chereads / Running Time / Chapter 1 - Labirin Of The Death

Running Time

Penadari_Siti
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 5.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Labirin Of The Death

Indonesia, Januari 2032

Tik! Tik! Tik!

Denting jarum jam berdetak menandakan waktu terus berlalu. Dua orang pria mengendap-endap mencari jalan keluar. Berpindah tempat dari satu ruangan ke ruangan lainnya.

"Oh, Tuhan ... ini Apartement apa Labirin?!" rengek Shuura pada mantan teman satu sel tahanannya, Cakra Axellen.

"Berisik, Shui! Menggerutu tidak akan menyelesaikan apa pun."

Cakra menegur dengan tatapan mata terpokus menjelajahi sekitar. Hanya ada ruang kosong dan perabotan seadanya. Bahkan sendari awal berkeliling, tidak ada satu pun kaca jendela.

"Dimengerti! Tapi kita sudah berada di sini lebih dari satu jam. Apa menurutmu mereka mempermainkan kita?" tanya Shuura mengeluh. Tidak heran ketika bangun dari tidur, ia ditempatkan di ruangan asing.

"Entah, aku tidak tahu," jawab Cakra. "Tapi isi perjanjiannya jelas bukan seperti itu."

Pria berparas tampan tersebut membuka pintu berwarna hitam, berharap tidak lagi berakhir di ruangan sama. Namun, harapan itu pupus ketika dua pintu lain kembali menyambutnya. Cakra menghela napas, beralih melihat ke arah Shuura yang menyandar di sisi meja.

"Tidakkah ini aneh?" Shuura kembali berargument. "Jika mengikuti kesepakatan, seharusnya kita menjadi anggota pasukan ASTRA, bukan?"

"Apakah semudah itu?" Cakra balik bertanya. Intonasi suaranya terkesan datar, acuh tak acuh.

"Maksudmu?" tanya Shuura tak mengerti.

Sebelum menjawab, Cakra menarik napas panjang. "Kamu tahu, Shui? Kebanyakan dari mereka berasal dari kalangan atas. Menurutmu sampah masyarakat seperti kita memiliki kesempatan?!"

Shuura termenung. Dalam hati membenarkan pendapat Cakra. "Kalau begitu, kenapa mereka menyelamatkan kita?"

"Entahlah."

Sorot mata Cakra menerawang jauh. Raut wajahnya pun turut menegang. Sontak hal itu membuat Shuura berkeringat dingin. Dengan cemas, ia bertanya. "Apa mereka akan mengumpankan kita pada Zombie?!"

"Bisa jadi."

"Hei! Kenapa kamu santai sekali? Kita bisa mati!"

Shuura merengek, merasa gemas sendiri dengan sikap pesimis pria berusia 25 tahun di depannya. Sungguh, pria yang tidak memiliki gairah hidup.

"Lah, memang seharusnya kita sudah mati, bukan?!"

Dengan entengnya Cakra membalas seakan tidak memiliki beban. Memang tidak diragukan lagi. Baik Cakra maupun Amar Shuura merupakan narapidana hukuman mati.

Dua hari lalu, mereka akan dieksekusi. Namun, ada salah satu Agen yang mengaku dari pihak pemerintahan menawarkan kerja sama. Hukuman mereka akan dibebaskan jika mengikuti ujian bertahan hidup dari Zombie. Sayangnya, Agen tersebut tidak menjelaskan tentang apa yang harus dilakukan. Mereka hanya dibius dan berakhir di bangunan megah ini.

"Iya, sih. Tapi ... Arrggghhh!" Shuura berteriak frustrasi, menatap sebal rekannya. "Berbicara dengan manusia insecure sepertimu benar-benar menyebalkan."

Cakra tidak ambil pusing dengan keluhan Shuura. Memang dirinya seperti ini. Lagi pula jika bukan atas desakan si pirang, Cakra tidak akan pernah menandatangani kesepakatan tempo hari. Tidak ingin larut dalam penyesalan, Cakra berniat membuka pintu berikutnya. Namun ....

CKLEK!

"Hei, ada orang di sini?"

... pintu tersebut telah terbuka oleh tiga pria asing. Dengan sigap Cakra dan Shuura bersikap waspada.

***

Beberapa saat kemudian ....

"Jadi begitu ...."

Cakra menompang dagu setelah mendengar penjelasan dari tiga narapidana lain. Kini mereka berlima tengah duduk melingkar di sebuah meja, membahas strategi dalam menyelesaikan tantangan ini.

Siapa sangka jika kebebasan mereka hanyalah untuk menjadi budak permainan.

"Apa tadi? Kita harus keluar dari gedung ini sebelum meledak?!"

Shuura mengulangi penjelasan dari mulut Fattah Sanjaya. Sorot matanya terbelalak, mengantarkan teror ketakutan. Meski belum sepenuhnya percaya akan kebenaran itu, tetapi Shuura tetap merasa cemas.

"Ya, begitulah."

Fattah membalas tanpa sedikitpun niatan untuk menyembunyikan informasi. Toh, dalam situasi ini mereka harus bekerja sama. Tidak ada salahnya berbagi clue atau pengetahuan yang diketahui.

"Oh My God ... Dan kapan itu?" erang Shuura semakin panik.

"Sebelum matahari terbit."

"Mati sudah! Kita akan terpanggang hidup-hidup."

Shuura tertunduk putus asa. Pasalnya saat menjelajahi gedung bersama Cakra, mereka sudah berusaha mencari jalan keluar. Namun, nihil. Yang ditemui hanya pintu-pintu penuh misteri.

"Masih sempat. Kita memiliki waktu sekitar tiga jam lagi."

Fattah memberi penghiburan. Nada optimisnya terdengar penuh keyakinan. Lantas, pemuda bergaya rambut undercut itu bangkit berdiri diikuti dua rekannya yang lain, Amru Shunra dan Ken Rayyan.

Bukannya bertambah semangat, Shuura justru menelungkupkan wajah di meja. "Jangan memberi harapan palsu. Kita bahkan tidak memiliki petunjuk."

"Ada!" seru Cakra membuat seluruh perhatian tertuju padanya.

"Sebelum pingsan aku mendengar salah satu sipir mengatakan, jika ingin selamat pergilah ke titik pusat!"

Cakra berdiri berhadapan dengan Fattah yang memasang mimik wajah serius. Shuura pun terpaksa ikut beranjak. Tidak mungkin jika ia hanya duduk sendirian. Shuura tidak mau menjadi beban, apalagi sampai ditinggalkan.

"Menurutmu itu kuncinya?" tanya Fattah bertopang dagu.

"Mungkin ...." Cakra menaikan bahu, terkesan main-main. "Tapi tidak ada salahnya dicoba. Ayo, berkeliling!"

"Benar. Aku setuju denganmu, Cakra." Rayyan memberikan pendapat. Di sisi lain, Amru tidak ikut berkomentar, tatapan matanya terpokus pada pria pirang di samping Cakra.

"Tunggu! Apa kita harus berpencar?" Shuura bertanya was-was, takut ditinggal sendiri.

"Tidak perlu," tolak Fattah.

"Lah, kenapa? Bukankah itu akan mempercepat pencarian?" protes Rayyan beradu argument.

"Benar. Tapi terlalu beresiko. Ada kemungkinan kita akan terpisah." Fattah lalu melirik pria bermanik kecoklatan. "Bukan begitu, Cakra?"

"Iya."

Mereka berlima pun sepakat untuk menyusuri bangunan gedung terbelangkai, berharap menemukan jalan keluar menuju kebebasan.

***

Satu jam berlalu ....

Cakra masih sibuk menggeledah seisi ruangan, membuka satu-persatu pintu hitam dengan sesekali direcoki oleh pria pirang di sampingnya.

"Kamu yakin kita bisa menemukan titik pusat itu, Cakra?" tanya Shuura.

"Mau sampai kapan kamu bertanya tentang itu terus, Shui?!"

Cakra mengembuskan napas bosan, merasa lelah sendiri menghadapi sikap cerewet partnernya. Di sisi lain, Fattah dan kedua temannya sibuk mengobrak-abrik sisi ruangan bagian Barat, mencari petunjuk sekecil apa pun.

"Sampai kamu waras."

Mendengar balasan laknat dari lawan bicara, Cakra berbalik menatap datar si pria bermata ocean blue yang masih mempertahankan ekspresi horornya.

Meng-hadeh ....

"Kalau kamu lupa, aku tidak pernah menjadi gila sepertimu, Shui," balas Cakra sarkasme.

Shuura sendiri tidak tersinggung, justru mendekatkan diri pada Cakra dan berbisik sambil melirik curiga kelompok Fattah. "Serius, kamu yakin mereka bisa dipercaya?"

"Kenapa tidak?" Cakra menyilangkan tangan di dada. "Mereka sepertinya orang baik."

"Cukup baik untuk menjadi narapidana," cibir Shuura.

"Tidak berbeda jauh dengan kita, Shui."

"Iya. Tap____"

"Hei, kalian berdua! Cepat kemari!"

Teriakan tersebut berhasil membungkam pembicaraan, bergegas Cakra berbalik melihat Rayyan yang melambaikan tangan, gesture isyarat untuk mendekat. Cakra pun datang menghampiri diikuti oleh Shuura yang setengah hati.

"Ada apa?" tanya Cakra. Namun, Rayyan berdesis shuut, meminta untuk tidak bersuara.

Tidak mengerti akan situasi, tatapan Cakra jatuh pada Fattah dan Amru yang berdiri tegang di ambang pintu. Seolah menyadari kebingungannya, Fattah pun berbisik. "Ada orang lain di balik pintu ini."

"Mungkin tahanan yang lain?" tebak Cakra.

"Bisa jadi," balas Fattah.

"Lalu kenapa kalian tidak masuk?! Malah menguping di sini. Itukan perbuatan tidak baik."

Shuura Menegur. Komentar blak-blakannya menuai tatapan aneh dari yang lain. Merasa risih, ia pun melanjutkan, "Hei, jangan melihatku seperti itu! Aku-kan hanya berpendapat."

Cakra menanggapi dengan helaan napas. Sedangkan Fattah menaikan alis tinggi. Rayyan pun hanya bisa terkekeh geli. Sementara Amru menatap si pirang penuh arti dan tersenyum tipis.

"Oke, ayo kita masuk!" Setelah puas menggoda Shuura, Fattah memberi keputusan, tangannya hendak memutar gagang pintu. Namun ....

BRAK!

"Jangan bergerak atau kalian mati!"

... pintu tersebut telah terbuka oleh pria yang kini menodongkan senjata api.

Bersambung.