"Aku tanya sekali lagi! Siapa kalian?!"
Pria berambut merah membentak kasar. Posisi tubuhnya siaga dengan menodongkan moncong revolver ke arah Fattah dan Amru yang mengangkat kedua tangan ke atas, isyarat tanda menyerah.
Di belakang si pemilik senjata api, pria lain bertubuh gemuk memperhatikan seragam sel tahanan yang dikenakan kelompok Cakra. Mirip seperti pakaian yang mereka kenakan, bedanya terletak pada warna kain. Milik Cakra dan Shuura berwarna merah, milik kelompok Fattah berwarna hitam dan miliknya berwarna biru tua. Lantas, ia menyadari sesuatu.
"Tahan dulu, Varen. Sepertinya mereka sekutu kita," ujar Hanxel Diandro menghalangi niatan temannya untuk menembak musuh.
"Huh? Benarkah?" tanya Varen sangsi.
"Iya, keliatannya mereka Narapidana dari kantor lain."
Jawaban itu cukup untuk membuat Varen Xaperius tenang. Ia menurunkan senjata apinya, membuat Fattah dan Amru mengembuskan napas lega. Di sisi lain, Cakra dan Shuura saling bertukar pandang, sementara Rayyan memecah ketegangan dengan memberi usulan untuk membicarakan apa yang terjadi.
Mereka mulai dengan perkenalan diri, dilanjutkan cerita pengalaman pribadi. Dari semua versi sudut pandang memiliki satu kesamaan. Yakni mereka terdampar di sini setelah menandatangani kesepakatan kerja sama dari Agen Pemerintahan.
"Jadi kita berada di Labirin Of The Death?" Fattah menarik kesimpulan setelah selesai berdiskusi.
"Benar," jawab Hanxel mengiyakan.
Fattah termenung. "Kalau tidak salah ... Itu Penjara Iblis yang ada di distrik terisolasi, bukan?"
"...."
Distrik terisolasi merupakan lokasi pertama penyebaran virus Zombie di Indonesia. Letaknya berada di sebuah pulau tak jauh dari Ibu Kota Jakarta. Di sana terdapat perkampungan terpencil yang akhirnya ditutup.
Seolah menekan tombol, udara di sekitar pun mendingin. Ketegangan yang semula mereda kembali memanas. Getar ketakutan dan rasa cemas mengudara kian pekat, membawa trauma dahsyat akan pedihnya kematian.
Khususnya bagi Shuura, segera pria pirang itu mencengkram lengan manusia di sebelahnya. Cakra yang menjadi korban kesialan itu hanya bisa mendengkus pasrah, memaklumi sifat penakut sang kawan.
"Tidak usah di pikirkan! Lebih baik kita pokus mencari titik pusat gedung ini," saran Cakra yang langsung mendapat respon positif.
"Benar. Aku setuju," ungkap Rayyan diiringi anggukan dari Amru.
"Baiklah. Ayo kita pergi!"
Fattah mengambil keputusan layaknya pemimpin. Sementara itu, salah satu pendatang baru bergumam. "Hebat juga kalian tahu kuncinya."
Komentar itu menuai kernyitan di wajah Cakra, terlebih saat mengamati body revolver di tangan Varen. Meski ada yang mengganjal, tetapi Cakra memilih diam, mengikuti langkah Fattah yang mulai kembali menjelajah.
Tanpa kata, mereka bertujuh sepakat untuk bekerja sama menaklukkan kutukan Labirin Of The Death.
***
Beberapa saat kemudian ....
"Kita sepertinya telah mendekati tujuan."
Cakra melangkah beriringan dengan Fattah. Di belakang mereka ada Shuura yang mengobrol seru dengan Rayyan. Sedangkan tiga anggota lain sibuk dengan urusan masing-masing.
"Kenapa begitu?" tanya Fattah menengok ke samping.
"Hanya firasat."
Meski menjawab demikian, tetapi tatapan mata Cakra berkata sebaliknya. Dalam pikiran pria berparas rupawan itu sibuk menganalisis keadaan sekitar. Hanya ada ruang bercat putih tanpa perabotan seperti di tempat sebelumnya.
"Menurutmu Varen mengambil jalan yang benar?"
Fattah melirik punggung pria yang dibicarakan. Memang sebelumnya Varen mengambil alih tugasnya dalam memimpin perjalanan. Ketika ditanya kenapa, Varen tidak menjawab dan bersikap sangat otoriter.
"Iya."
"Berapa persen kemungkinannya?"
"80%."
Fattah tertawa. "Tidakkah kamu berharap terlalu tinggi?"
Cakra terdiam.
"Kita baru mengenal Varen 15 menit lalu. Dan kamu sudah sangat mengandalkannya?!" Kedua alis Fattah menukik tajam. "Kenapa? Apa ada alasan di balik itu?"
"Hm ...."
"Apa? Beritahu aku!" desak Fattah.
"Kamu akan mengetahuinya nanti."
"Maksudmu?"
"Tidak. Lihat ke depan!"
Fattah mengikuti arah telunjuk Cakra, terlihat Amru dan Hanxel berdiri di depan sebuah pintu. Fattah mengernyit. "Lho, apa yang mereka lakukan di sana?"
Mengabaikan pertanyaan itu, Cakra berjalan mendekati Varen dan bertanya. "Apa yang terjadi?"
"Pintunya terkunci," jawab Varen.
"Lho, kok bisa?" Fattah yang baru tiba bersama Shuura dan Rayyan ikut menimbrung.
"Entah." Varen mengangkat bahu, menoleh ke arah dua rekannya yang tengah melakukan gerakan pemanasan. "Tapi mereka akan membukanya dengan paksa."
Dalam hitungan ketiga, pria yang dibicarakan membenturkan diri pada body pintu berbahan dasar kayu. Bunyi benturan papan bergema kuat saat aksi pendobrakan. Barulah di percobaan kelima engsel pintu terlepas, menunjukkan penampakan penuh misteri.
DEG!
***
"Apa-apaan ini?!"
Shuura terperanjat begitu melihat isi dalam ruangan, terdapat tiga pintu bertuliskan Neraka, Surga dan Dunia. Belum lagi tulisan tersebut dilukis dengan tinta merah, tak lupa aksen cipratan darah turut menghiasi, menambah kesan horor dan teror kematian.
Sangat gelap dan menakutkan ....
"Jadi maksudmu tadi ini, Cakra?"
Fattah adalah orang pertama yang membuka topik baru, disusul oleh Rayyan, Amru dan Shuura, sedangkan sisinya hanya menjadi pengamat.
"Iya."
"Coba jelaskan," pinta Fattah.
"Tentu." Cakra menyanggupi. "Saat berdiskusi tadi, aku menyadari ada sesuatu yang aneh."
"Aneh bagaimana?" tanya Shuura.
Cakra berbalik menatapnya. "Tentang titik pusat yang disinggung oleh sipir kantor kita, Shui."
"Ng ... Ya? Apa hubungannya?"
Cakra menarik napas, kemudian menerangkan. "Jika apa yang dikatakan oleh kelompok Fattah benar, bahwa gedung ini akan meledak. Kenapa para sipir mengarahkan petunjuk untuk pergi ke tengah gedung, alih-alih mencari balkon atau jendela?"
"Maksudmu sejak awal kita digiring untuk berakhir di ruangan ini?!" tebak Rayyan.
Cakra menjentikkan jari. "Tepat! Dan itu berarti ada tiga kemungkinan."
"Apa?" tanya Shuura waspada.
"Pertama, itu membuktikan bahwa di Labirin Of The Death ini tidak memiliki jendela dan balkon."
Keenam pria lain saling pandang, meneguk saliva kasar akan fakta yang terungkap ke permukaan.
"Lalu yang kedua?" tanya Amru penasaran.
"Kemungkinan besar jalan keluarnya harus melewati salah satu pintu ini." Setelahnya, Cakra menoleh pada pendatang baru. "Bukan begitu, Hanxel?"
"Huh? Kenapa kamu bertanya padaku?" Hanxel terperangah. Sontak seluruh perhatian tertuju pada pria tanpa rambut alias botak or plontos.
"Aku tidak sengaja mendengarmu bergumam tentang kunci tadi," ungkap Cakra. "Berarti sejak awal kamu tahu tentang situasi ini, bukan?"
"Hah? Apa maksudmu? Aku tahu informasi itu dari sipir penjara kami. Iyakan, Varen?"
Secepat tanggapan itu datang, pokus pun beralih pada si pria berambut merah yang mengangguk. Sekilas ada ekspresi lain tersembunyi. Sayangnya itu hanya disadari oleh satu orang.
"Oh, begitu." Sekali lagi, Cakra melirik revolver yang ada di saku pakaian Varen.
"Kenapa, Cakra? Kamu seperti mencurigai sesuatu?" sinis Varen. "Apa kamu pikir aku dan Hanxel ini pengkhianat?"
"Bukan aku yang mengatakannya," jawab Cakra membela diri.
"Tapi sikapmu menunjukkan itu semua."
"Aku tidak______"
"Mengaku saja! Kamu tidak suka kami bergabung ke kelompokmu, bukan?" sela Varen menuduh, menunjuk-nunjuk wajah Cakra yang memiliki tinggi badan tiga senti di bawahnya.
"Hei, sudahlah. Kenapa kalian malah bertengkar?" Fattah melerai, berdiri di antara dua kubu. "Kita seharusnya berkerja sama, bukan saling mencurigai."
"Cih, katakan itu pada temanmu," decih Varen melirik tajam Cakra.
"Hei, Cakra kan hanya ______"
"Oh, ayolah. Berhenti berdebat," sela Hanxel memotong pembelaan Shuura.
"Kita hanya perlu melewati pintu-pintu ini saja, kan?!"
Hanxel beranjak mendekati pintu bertuliskan 'Surga'. Ia sangat percaya diri sampai mengabaikan peringatan Cakra yang meminta untuk tidak gegabah. Ketika pintu terbuka ....
BANG!
... tembakan bergema, cipratan darah pun mengotori dinding. Dunia seakan membeku, tetapi waktu terus berjalan.
Tik ....
Tik ....
Tik ....
Bersambung.