Chereads / Running Time / Chapter 3 - The Door of Death's Messenger

Chapter 3 - The Door of Death's Messenger

"Oh, Tuhan ... Hanxel!"

Amru bergegas menuju ke arah Hanxel, meletakan kepala pria botak itu di pangkuannya. Jeritan tadi cukup untuk membuat kelima pria lain tersadar dari trans. Dengan kecepatan kilat, Rayyan dan Fattah berjongkok memeriksa kondisi teman baru mereka.

Di sisi lain, Varen mematung di tempat, menatap ngeri bekas luka tembakan di pelipis Hanxel. Reaksi sama sama terjadi pada Shuura yang bergetar hebat, tubuhnya menggigil dan berkeringat dingin. Pandangan mata tampak terpokus menatap darah segar yang mengotori seragam tahanan Amru.

Menyadari kegelisahan si pirang, Cakra menggenggam tangan kanan Shuura yang terkepal kuat. "Tenanglah ... Aku berjanji semua akan baik-baik saja."

Shuura tersentak, menoleh ke arah sahabatnya. "Tapi itu ____"

"Tidak masalah. Aku menjagamu," sela Cakra.

Keduanya saling bertukar pandangan selama beberapa detik. Sebelum akhirnya Shuura mengangguk pelan yang dibalas senyum tipis oleh Cakra. Pria bersurai hitam sebahu itu lalu menepuk punggung tangan si pirang kemudian melepaskan cengkramannya.

"Bagaimana keadaan Hanxel, Fattah?"

Cakra mengajukan pertanyaan saat melihat pria yang lebih tinggi darinya menyentuh pergelangan tangan Hanxel. Sebuah tindakan medis yang dilakukan untuk mengecek denyut nadi.

"Dia ... dia sudah meninggal," gumam Fattah terbata-bata. Ekspresi wajahnya berubah horor.

DEG!

Seketika itu juga suasana membeku. Keenam pria yang tersisa di ruangan sibuk dengan pikiran masing-masing. Ada ketakutan tersembunyi di sana. Bagaimanapun satu teman mereka telah mati dengan cara mengenaskan.

"Tembakan tadi mengenai titik syaraf di otaknya, ya?"

Cakra mengamati luka dahi Hanxel yang berlubang. Tidak ada ekspresi ngeri maupun jijik dalam raut wajahnya yang senantiasa datar tanpa emosi.

"Lalu, bagaimana ini?" panik Amru menatap telapak tangannya yang berlumuran darah. Pahanya masih menopang tubuh tak bernyawa Hanxel. "Apa yang harus kita lakukan padanya?"

Varen berdecak. "Ini semua salahmu Cakra. Kalau saja kamu tidak mencurigai kami sebagai pengkhianat, Hanxel tidak akan mati."

Mendengar tudingan itu, Cakra tersinggung. "Tapi aku tidak pernah menuduh kalian seperti itu. Kamu yang salah paham padaku."

"Alah, alasan. Bilang saja kamu iri padaku, kan?"

"Benar. Aku iri padamu, Varen."

"Nahkan ...." Varen menjetikkan jari, menatap sinis pengakuan Cakra tadi.

Cakra sendiri tidak merasa gentar apalagi takut dengan aura permusuhan dan intimidasi dari teman-teman barunya. Dengan tenang ia membalas. "Aku iri ... bagaimana caramu mendapatkan revolver itu, Varen? Di antara semua tahanan, kamulah satu-satunya yang bersenjata."

DEG!

Varen terperanjat, emosi terkejut di wajahnya dilihat oleh semua orang. Tak ayal kecurigaan pun beralih padanya. Bagaimanapun yang dikatakan Cakra adalah kebenaran.

"Mau menjelaskan kepada kami, kenapa kamu memilikinya?" desak Cakra bersedekap dada, melirik senjata api di saku pakaian Varen.

"Ya, itu ... Itu karena ...." Varen tergagap, gugup setengah mati. Iris matanya pun bergerak canggung, menambah tingkat keanehan. Merasa tersudutkan, ia pun hanya bisa membentak. "Apa, sih? Kamu masih menuduhku pengkhianat?"

"Jika iya. Maka jawaban pertanyaanku!" bentak Cakra tak kalah tegas. Suasana di sekitar keduanya menegang, membuat keempat pria lain segan untuk turut campur.

"Aku ...." Varen menggigit bibir bawahnya. " Ck, yah sudahlah aku jujur padamu. Aku mendapatkan ini dari Sipir Penjaraku."

"... kenapa dia memberikannya padamu?"

"Tidak gratis. Aku membelinya."

"Membeli?"

Varen mengangguk, lalu menceritakan bahwa sebelum menjadi narapidana dirinya seorang pengusaha kaya raya yang terlibat skandal dengan akrtis. Tidak ingin kejahatannya diketahui, Varen lalu membunuh para korbannya.

"Jadi ... kamu ini penjahat kelamin?!" Fattah terbelalak, terkejut bukan main dengan pengakuan itu.

"Sudahlah. Kita ini sama-sama penjahat. Tidak perlu menghakimiku." Varen berbalik menatap Cakra. "Lagi pula jika aku ini pengkhianat. Hanxel seharusnya tahu ada bahaya di balik pintu itu, bukan?"

Semua orang terdiam, beberapa dari mereka ikut menyetujui pendapat Varen. Kecurigaan berbalik menyerang Cakra saat pria berambut merah menyeru. "Justru kamu yang mencurigakan di sini."

"Hm ... Kenapa aku?" tanya Cakra menunjuk dirinya sendiri. "Aku tidak bersenjata sepertimu."

"Lupakan tentang senjataku! Toh, ini hanya revolver biasa. Senjata ini bebas dijual belikan," terang Varen memberitahu. Meski demikian Cakra terus mengamati body revolver dengan lambang angka 07.

"Baik. Lalu kenapa kamu mencurigaiku, Varen?" tanya Cakra bersedekap dada. Sikapnya sangat santai hingga membuat Varen merasa terhina.

"Tentu saja. Karena kamu yang melarang Hanxel membuka pintu. Seolah-olah kamu tahu akan ada tembakan. Apa aku salah?" Varen balik bertanya sinis.

"...." Cakra termenung.

"Kenapa diam? Tidak bisa menjawabkan?"

"Hoy ... Kenapa kamu terus menyudutkan temanku?!" raung Shuura tak terima, merasa kesal sendiri dengan sikap pongah si pria bermanik hitam legam.

"Diam!" bentak Varen. "Aku tidak bertanya padamu, Pirang."

"Sadar diri! Rambutmu juga pirang."

"Kamu buta? Ini merah."

"Sama saja berwarna."

"Cukup! Berhenti bertengkar!" lerai Fattah bangkit berdiri diikuti oleh Rayyan dan Amru yang menggeser tubuh Hanxel ke sisi dinding. Toh, dia sudah tak bernyawa, apapun yang mereka lakukan akan percuma.

"Di situasi saat ini kita seharusnya bersatu, bukan saling menyalahkan," nasehat Fattah berdiri di tengah-tengah dua kubu.

"Fattah benar. Mari berpikir selayaknya orang dewasa. Tidak perlu pakai emosi," timpal Rayyan menenangkan.

"Dia duluan ...," tunjuk Shuura pada Varen. Sementara itu, yang ditunjuk hanya berdecih dan tidak berkomentar apapun lagi.

Fattah menghela napas, menatap pria berambut hitam sebahu. "Cakra, jika kamu tahu sesuatu, tolong jelaskan pada kami!"

"Hm ... Baiklah."

***

Beberapa saat kemudian ....

"Jadi point ketiga yang kamu maksud tentang strategi untuk mengalihkan pokus kita?!" Rayyan terperanjat begitu Cakra selesai memaparkan analisanya.

"Iya. Kemungkinan besar waktu yang tersisa tinggal satu jam lagi," balas Cakra tanpa emosi terlibat. Wajah rupawannya senantiasa mengukir ekspresi dingin.

"Lalu kamu menjadikan Hanxel tumbal untuk mengecek pintu yang benar, begitu?" tebak Varen.

"Bohong jika aku mengatakan tidak," jawab Cakra datar.

DUAGH!

Varen meninju wajah Cakra sambil mengumpat marah. "Brengsek! Kamulah penjahatnya!"

"Jangan munafik!" teriak Cakra meradang. "Dengan pengorbanan Hanxel, kitalah yang diuntungkan. Siapa yang tahu di balik pintu ini ada bahaya apa lagi?!"

"Aku tidak menduga pikiranmu sepicik itu, Cakra."

Fattah berpendapat, menggelengkan kepala tak percaya. Di sisi lain, Shuura pun menatap pria di sampingnya dengan penuh keraguan. Ada kecemasan dan rasa khawatir terselip di raut wajah pria yang memiliki paras baby face tersebut. Namun, ia memilih menutup mulut.

"Memang seharusnya tidak. Tapi kalian memaksaku," pungkas Cakra menuai kernyitan dari Fattah.

"Maksudnya?"

"Lupakan."

Keheningan kembali menyapa sampai Rayyan berkata. "Sebentar ... Lalu apa alasanmu melarang Hanxel membuka pintu?"

"Benar juga. Seharusnya kamu tidak perlu mencegahnya karena ada kemungkinan Hanxel berubah pikiran, bukan?" timpal Fattah menompang dagu. Sementara Amru, terus memperhatikan kegelisahan pria pirang di samping subjek pembicaraan.

"Hm ... tadinya aku ingin bertukar pendapat tentang teoriku. Tapi ..."

"Tapi apa?" desak Fattah tak sabar.

"Itu semua tidak lagi berguna."

"Kenapa?"

"Ya, aku sempat berpikir bahwa 'Pintu Surga' itu jalan keluar yang benar."

"Kenapa begitu?"

"Karena secara teori Surga adalah tempat yang sangat indah. Itu bisa diartikan sebagai sesuatu yang menyenangkan," terang Cakra dengan iris mata menerawang jauh. "Untuk saat ini, arti Senang bagi kita apa? Tentu ... menemukan jalan keluar, bukan?"

"Masuk akal." Fattah menyetujui, di sebelahnya Rayyan ikut membenarkan.

Cakra menghela napas, melirik mayat Hanxel. "Tapi kenyataan tidak seperti itu. 'Pintu Surga' ini memiliki arti secara harfiah ... benar-benar dibawa pergi ke atas langit."

"Huh, sepertinya teorimu terlalu mengedepankan emosi dari pada logika," cibir Varen mengejek. Namun, Cakra tidak menanggapi, justru Shuura-lah yang terlihat panas. Akan tetapi, ia pun tidak berkomentar.

"Lalu, apa Pintu Neraka memiliki arti siksaan?" tanya Fattah melirik dua pintu misterius yang tersisa.

"Entahlah. Belum tentu teori ini sama dengan pintu selanjutnya," balas Cakra menatap objek yang sama. "Bumi belum tentu berarti keselamatan, bisa saja itu jebakan lain."

"Lalu kita harus bagaimana? Jika kita stuck di sini, kita akan tetap mati terkena ledakan, bukan?" panik Shuura menular pada yang lain kecuali Cakra yang tidak peduli dan Varen yang bersikap angkuh.

"Kalau begitu biarkan Cakra yang membuka pintu selanjutnya," seringai Varen kejam.

"Apa?"

Bersambung.