Chereads / Bos, Kawin Yuk! / Chapter 2 - Bos, Ayo Kawin!

Chapter 2 - Bos, Ayo Kawin!

Syifa... pasti sudah gila.

Matanya seketika memejam rapat. Langsung menyesali apa yang baru saja ia katakan. Kalau bisa, ia mau menggali tanah sekarang juga dan masuk ke dalamnya untuk mengubur dirinya sendiri. Mau hilang saja dia ke antartika, mati membeku di makan beruang putih sekalian.

Suara ramai riuh memenuhi ruangan. Bukan hanya Dimitri yang terkejut, tapi juga seluruh peserta rapat di ruangan itu. Syifa adalah karyawan yang tegolong baru. Belum sampai satu tahun bekerja. Bagaimana mungkin dia bisa mengakui dirinya sebagai kekasih dari bos besar di kantor?

Syifa kemudian membuka matanya lagi, malah tersenyum canggung karena tidak tahu harus mengatakan apa lagi untuk menyelamatkan situasi yang kadung ia buat berantakan. Ia tarik napasnya pelan, sebelum ia embuskan... tidak, dia tidak jadi embuskan, berharap mati sekarang saja kehabisan napas. Tapi beberapa detik kemudian, perempuan itu mengembuskan napasnya juga karena merasa sesak.

"Astaga! Serius!" pekik Marissa sambil ia pegangi kedua pipinya dengan telapak tangannya sendiri. Senyum di bibirnya merekah melihat wajah Syifa, buru-buru perempuan paruh baya itu mendekat ke arah kursi tempat Syifa duduk, "Cantiknya!"

Kini Syifa malah semakin mau mati. Terperangah dia melihat reaksi tak terduga yang ditunjukkan Ibu dari bosnya itu.

"A-Apa?" tanya Syifa tergagap.

"Serius ini pacar kamu, Dimitri? Kenapa gak dikenalin ke Mama, sih? Lihat! Lihat dia! Imut banget, kayak barbie."

Dimitri berdiri kikuk dengan situasi yang seperti dipelintir ke arah tidak terduga ini. Wajahnya kemudian berkeliling melihati peserta rapat yang lain, "Semua keluar!"

Orang-orang di sana menyempatkan saling menolah-noleh sebelum menuruti perintah Dimitri. Satu persatu keluar dari ruang rapat itu, meninggalkan Syifa yang seperti terjebak dalam ranjau yang ia buat sendiri.

Sedangkan di tempatnya, Dimitri termenung melihati wajah perempuan yang kini tengah diusap-usap kepalanya oleh sang Mama, persis seperi sedang mengelus kepala anak kucing.

Nama perempuan itu saja, Dimitri bahkan tidak tahu, membuat ia mengerutkan dahinya yang mendadak sakit karena terlalu keras berpikir.

"Benar, Ma. Dia pacar aku," ungkap Dimitri pada akhirnya.

Pria itu tidak punya pilihan lain. Belum lama tadi, ia baru saja menyaksikan kemarahan terbesar yang pernah ia lihat dari sang Mama. Marissa, selama ini dikenal sebagai perempuan lembut dan penyabar. Seingat Dimitri, Mamanya bahkan hampir tidak pernah marah-marah sejak ia kecil dulu. Sebaik dan selembut itu.

"Siapa namanya, Dim?" tanya Marissa masih dengan mata melihati Syifa dengan tatapan mengagumi, "Matanya bahkan indah banget. Anak kalian pasti nanti sangat rupawan."

Syifa seperti layaknya patung sekarang. Terdiam dia dengan senyum getir tergambar di bibirnya. Benar-benar takut dia untuk buka suara. Dalam hati, ia sedang berpikir caranya buat keluar dari perusahaan ini tanpa harus Dimitri tuntut.

"Namanya... dia namanya..." ujar Dimitri pelan agak tergagap. Matanya melirik-lirik ke arah Syifa yang tidak juga melihat ke arahnya sedari tadi, benar-benar membuat pria itu kelabakan karena frustasi, tidak bisa dia memberi perintah dengan gerakkan matanya.

"Syifa..." ucap Syifa kemudian pelan sekali, suaranya serak hampir hilang, jadi terdengar seperti anak curut yang terjepit kaki pintu, "Nama saya Syifa."

"Syifa, Ma! Namanya Syifa!" seru Dimitri kemudian menyambar, "Syifa sayangku. Hahaha."

"Ya ampun! Namanya bahkan sangat cantik!" puji Marissa dengan senyum lebar tak kunjung padam, "Nama panjangnya siapa, sayang?"

"Syifa Maureen," jawab Syifa lagi.

"Syifa Mauris!" seru Dimitri mengulang.

Wajah Syifa akhirnya bergerak, melihat ke arah bosnya dengan kening mengerut samar, "Maureen, Bos. Bukan Mauris."

"Iya. Saya bilang Maureen tadi," timpal Dimitri cepat agak kikuk, "Mama dengar, kan? Aku tadi bilang Maureen, kan?"

Marissa tampak tidak peduli, masih terpesona dia dengan keluguan yang terpancar dari wajah Syifa. Dalam hati dia tidak sabar, memboyong bakal menantunya ini untuk diajak keliling ke rumah sanak keluarga. Kemudian membungkam mulut mereka yang suka sekali bergunjing tentang orientasi seksual sang putra hanya karena dia belum menikah.

"Ajak Syifa makan malam nanti, ya, Dim. Mama mau kenal sama Syifa lebih jauh lagi."

***

Syifa berdiri diam dengan kepala menunduk di tengah ruang kerja direktur utama. Ruangan yang bahkan baru sekali ini ia masuki. Dan alasan dia harus masuk ke sini siang ini, sangatlah konyol.

"Kamu gila, ya?" tanya Dimitri tampak murka di kursi kerjanya.

Wajah Syifa terangkat dengan sorot mata mengiba, "Maaf, Bos. Saya tadi kayaknya kesurupan," jawabnya asal sebagai jawaban. Matanya terpejam lagi, ia tepuk mulutnya berkali-kali, karena alasannya tadi jelas sangat terdengar tidak masuk akal.

"Kamu lagi becanda sekarang?" tanya Dimitri dengan mata mendelik lebar, "Kamu pikir kerjadian tadi itu lelucon?!"

Kepala Syifa menggeleng cepat, "Enggak, Bos! Saya serius, saya ini memang gampang kesurupan, kok!"

Yang satu itu, memang bukan sebuah kebohongan. Katanya, Syifa adalah titisan Jin perawan. Sejak kecil Syifa sering sakit panas, sampai puncaknya ketika dia berumur tujuh tahun, Syifa mulai bisa melihat makhluk halus. Dia juga gampang dirasuki. Dulu... seminggu dia bisa kerasukkan sampai tiga kali.

Saat kedua orang tuanya kemudian datang ke dukun, katanya semua itu dikarenakan sang Ibu yang tak sengaja meludahi anak Jin saat tengah mengandung Syifa. Membuat perempuan itu harus terkutuk sepanjang hidupnya.

"S-Saya... saya serius, lho, Bos. Sekarang bahkan ada setan di belakang kursi Bos Dimitri."

Mata Dimitri melebar sambil buru-buru ia putar kursinya ke belakang. Panik dia dengan wajah meraut ngeri, "Jangan becanda! Kamu pikir saya takut, ya, sama setan?"

"M-Maaf, Bos," mohon Syifa pelan kemudian.

Sembari ia usap lehernya, Dimitri bangun dari kursi kerja. Berjalan kemudian agak ke depan, memilih untuk menumpu bokongnya pada ujung meja kerja. Dia berdecak kesal kemudian, kembali teringat akan perintah Mamanya untuk mengajak Syifa makan malam nanti.

"Ini kesalahan kamu. Jadi kamu tanggung jawab," ujar Dimitri sambil berdesis, jari telunjuknya kemudian teracung ke arah wajah Syifa, "Nanti malam, kamu harus berakting seolah kamu gak mau menikah sama saya buru-buru. Akting yang natural, nanti saya ngikut alur kamu."

Melihat Syifa hanya diam dengan bahu jatuh lesu, Dimitri melanjutkan, "Kamu gak boleh lari. Harus tanggung jawab sama apa yang kamu lakuin tadi. Paham?" tanyanya dengan nada tajam, "Sekarang keluar!"

Kepala Syifa mengangguk, berbalik kemudian tubuhnya. Langkahnya pelan menuju pintu. Memikirkan kalau apa yang ia lakukan tadi memang benar-benar bodoh. Pada akhirnya, dia tidak mendapatkan apapun dari melakukan hal gila tadi. Hanya malu.

Tapi... bukannya sudah terlanjur dia merasa malu di depan banyak orang tadi?

Dan juga kalau dilihat-lihat, Dimitri jelas pria sempurna seperti yang diinginkan oleh jin di dalam tubuhnya.

Pria itu kaya, tinggi badannya sepertinya lebih dari serus sembilan puluh senti meter. Dan yang paling penting, pria di hadapannya itu lajang.

Mau cari dimana lagi pria lajang dan kaya raya? Malah Syifa semalam hampir berpikir mau menggoda om-om eksekutif yang sering datang ke kantor untuk bisnis. Yang penting tidak mati.

Langkah Syifa kemudian terhenti, kembali menoleh ke arah Dimitri yang tengah melirik ngeri ke arah kursi kerjanya.

"Bos, saya mau nanya," ujar Syifa dengan mata melebar, "Kenapa saya haru akting gak mau nikah nanti?"

Pertanyaan itu sontak membuat Dimitri menegang di tempatnya. Saking lebar dia melotot sekarang, mungkin bola matanya bisa melompat keluar dari kelopaknya tak lama lagi.

"Memangnya kamu mau..."

"Ayo kawin, Bos!" seru Syifa tak tahu malu, sudah tidak ia pikirkan apapun lagi. Dia... tidak mau mati, "Ayo kawin aja beneran!"