"Pindah ke store di Bali?" tanya Syifa pada kepala HRD pagi itu, "Ya ampun, Bu! Saya aja tinggal di Jakarta. Lahir besar di sini. Ibu tahu Mak Gede? Yang dulu pegang daerah Kebayoran. Itu nenek saya."
Kening perempuan tambun di hadapan Syifa itu mengerut bingung. Matanya yang memang terkenal sinis di kalangan karyawan yang lain makin memicing, "Kamu pikir saya lagi ngebanyol ya sekarang? Ini perintah atasan, kamu harus pindah tugas buat urus store di Bali. Kamu bakal jadi head office di cabang sana. Kamu naik jabatan, tahu!"
"Tapi..." Syifa tergagap. Teringat kemudian dia pada semua rencannya untuk menikahi Bos besar di perusahaan tempat bekerjanya itu, "Tapi Bos Dimitri gak mungkin izinin saya, Bu."
Mata perempuan itu melebar marah kemudian, "Kurang ajar! Kamu pikir siapa bisa bawa-bawa nama Bos kayak gitu?" tanyanya murka, "Lagi pula, ini perintah dari Pak Dimitri, kok!"
Mungkin karena sudah merasa di atas angin akibat suksesnya rencana dia di jamuan makan semalam, Syifa berpikir kalau Dimitri tidak akan bisa berbuat apapun, dan melihatnya sebagai perempuan penting kalau ingat Mamanya sudah sangat suka dengan dirinya.
"J-Jadi... saya bakal dipindah?" tanya Syifa tergagap, "Bu, bisa saya tetap di kantor ini? Kalau saya harus turun jabatan ke staf biasa atau bahkan cleaning service juga gak apa-apa, deh, Bu. Yang penting jangan pindahtugaskan saya ke Bali."
Aura seram menguar dari perempuan tambun itu kemudian. Syifa bisa melihatnya dengan jelas, langsung membuat tubuhnya bergidik ngeri.
"Atau mau dipecat?" tanya perempuan itu pelan penuh tekanan, "Tinggal pilih, mau pindah ke Bali atau berhenti kerja? Kamu tahu? Ada empat ratus tiga puluh sembilan ribu sembilan ratus lebih pengangguran di Jakarta. Mencari ganti kamu itu gak susah. Besok juga saya bisa langsung dapat!"
Mata Syifa menanar, bergerak-gerak maniknya dengan bibir tiba-tiba terasa kelu. Kini sudah jelas terasa, kalau situasinya sangat genting. Bukan lagi ancaman gagal melanjukan rencananya, kini datang ancaman menganggur di akhir hidupnya.
"I-Ibu yakin ini perintah langsung dari Bos Dimitri?" tanya Syifa dengan suara gemetar mulai ketakutan, "Tapi saya... saya yakin Bos Dimitri gak bakal mindahin saya di situasi kayak begini."
Wajah perempuan di hadapan Syifa itu tampak berkspresi remeh. Mulai sibuk matanya melihati layar komputer di mejanya kemudian, "Keluar! Saya banyak kerjaan sekarang. Semua sudah saya sampaikan ke kamu. Kamu hanya punya waktu tiga hari dari sekarang buat pikirkan tawarannya. Pindah... atau berhenti."
***
"Syifa!"
Kepala Syifa menoleh ketika suara nyaring terdengar memanggilnya. Itu Intan, satu-satunya rekan kerja yang bisa dibilang luamayan punya hubungan akrab denganya. Walau begitu, sebenarnya Syifa tidak terlalu suka dengan Intan. Perempuan itu bisa Syifa rasakan niat buruknya. Dia selalu cari perhatian ke semua karyawan yang dia kenal. Suka cari muka juga.
"Memang benar kamu pacarnya Pak Dimitri?" tanya Intan lantang ketika perempuan itu sudah duduk di kursi kosong tempat Syifa tengah menikmati makan siangnya di kantin.
Benar, kan? Intan itu pencari perhatian. Apa lagi niat perempuan itu menanyakan pertanyaan tadi dengan suara sekencang pemimpin upacara? Sudah jelas untuk mempermalukan Syifa di tempat umum seperti ini.
Sejak aksi nekatnya mengaku-ngaku sebagai pacar dari Dimitri di rapat kemarin, nama Syifa tampaknya jadi gunjingan panas di seluruh kantor. Semua mencibir, kalau Syifa sama sekali tidak pantas bersanding dengan Dimitri yang sudah dianggap sebagai dewa oleh para karyawan perempuan.
Bahkan ada yang menduga, kalau kemarin adalah akal-akalan Syifa untuk memanfaatkan situasi sulit bos besar mereka. Yang memang benar adanya. Dan Syifa baru sadar sekarang, kalau semua tindakannya benar-benar sudah membunuh citranya di kantor.
Matanya melirik ke sekeliling kantin, hampir semua orang tengah meliriknya diam-diam sambil berdesas-desus.
Wajah Syifa tertunduk seketika. Malu sekali. Rasanya mau menangis.
Menyesal sejadi-jadinya dia.
Padahal, aku hanya gak mau mati, ujarnya dalam hati.
Karena ketakutannya akan kematiannya yang diprediksi bakal terjadi dalam dua minggu, Syifa malah jadi melakukan hal paling bodoh dan memalukan. Dia juga sekarang sadar, kalau pemindahannya ke cabang di Bali, jelas merupakan salah satu hukuman Dimitri yang sangat murka karena Syifa sudah membohongi bosnya itu.
"Kok diam?" tanya Intan dengan suara masih kencang, "Jadi benar kamu pacarnya Pak Dimitri?"
Wajah Syifa terangkat, menatap ke arah Intan yang tengah tersenyum lebar dengan pandangan sebal, "Tanya saja sendiri ke Bos!" jawabnya agak menyentak.
Desas-desus kemudian kembali terdengar masuk ke telinga Syifa.
"Tanya saja ke Bos, katanya? Kurang ajar banget, ya?"
"Masa pacaranya tapi manggilnya Bos."
"Dia pikir kita ini orang dungu yang bisa dibohongi, ya?"
"Aduh aku kasihan. Katanya dia mau dipindah ke Bali. Pasti dia kemarin habis dimarahi Pak Dimitri tuh. Kasihan ya. Udah ngaku-ngaku, eh malah dicut secara tidak langsung."
Mata Intan menatap ke arah Syifa dengan penuh kebingungan. Padahal, di dalam hatinya dia senang bukan main mendengar semua orang di kantin kini tengah menggunjing Syifa sekarang. Dari awal, Intan selalu tidak suka kalau ada perempuan yang jadi pusat perhatian melebihinya.
"Kok kamu marah? Aku kan cuma tanya. Kalau memang benar, aku mau kasih selamat," ujar Intan dengan wajah dibuat khawatir, "Kamu baik-baik saja 'kan, Syifa?"
Syifa sempatkan menatap mata Intan lekat-lekat, sebelum ia berdiri dari tempatnya duduk dan berbalik buru-buru. Setengah berlari dia keluar dari kantin, matanya mulai berkaca.
Rasanya kayak ditelanjangi tadi itu. Malu bukan main.
Laju lari Syifa tidak memelan saat dia sampai di lantai loby, justru semakin cepat dia berlari ke arah lift. Mau buru-buru sampai di ruang kerjanya dan menangis di meja.
Namun secara tiba-tiba, tubuhnya terjengkang ke belakang, sampai terduduk dia di lantai. Ketika tubuhnya menabrak seseorang karena berlari dengan wajah menunduk.
Wajah Syifa menengadah kemudian. Terkejut saat melihat gerombolan pria berjas rapi tampak tengah mengawal seorang pria tua dengan tongkat berwarna cokelat di tangannya.
"Siapa itu?" tanya seorang dari arah lift dengan suara lantang.
Dimitri berjalan dengan banyak petinggi perusahaan di belakangnya. Dia turun hendak menyambut pria tua tadi yang merupakan calon investor besar.
Mata Dimitri terpejam sedetik saat melihat wajah Syifa. Dalam hati bertanya, kenapa dari banyak karyawan di kantornya, harus perempuan itu yang selalu buat masalah?
"Singkirkan!" titah Dimitri sebelum ia menatap dengan pandangan tidak enak ke arah pria tua tadi, "Maaf, Pak Abraham. Kedatangan Bapak malah disambut dengan kejadian seperti ini."
Pria itu terkekeh pelan, "Tidak apa-apa," jawabnya maklum. Kepalanya kemudia menoleh ke arah Syifa yang tengah dibantu berdiri sebelum diseret dari sana. Tampangnya melongo, melihati ke arah kaki Abraham dengan mata melebar.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Abraham pada Syifa.
Salah satu tangan Syifa tak lama terangkat, menunjuk ke arah kaki Abraham dengan pandangan ngeri. Karena ia lihat sesuatu yang sangat menyeramkan di sela kaki pria tua itu.
"U-Ular! Ada ular!" pekiknya takut.
Semua orang menoleh-noleh ke lantai dengan panik. Namun tidak terlihat ular seperti yang Syifa bilang.
Tapi di mata Syifa, sosok itu tampak jelas. Ular panjang dan besar, dengan kepala perempuan berambut panjang. Menyeringai ke arahnya.