"Astaga! Kamu mau ke makam eyang pakai gaun kayak begitu?" tanya Marti sambil di tangannya ia jinjing keranjang berisi sayur mayur bahan gado-gado untuk dijual besok siang, "Pakai kemben!"
"Aduh! Syifa bukannya mau ke makam Eyang!"
"Terus kemana?" tanya Marti dengan suara lebih melengking sekarang, "Kalau gak penting, gak usah lah kamu main-main, nak! Ibu ini khawatir. Mending kamu sering-sering ke makam Eyang, minta bantuan. Kamu ingat apa kata Mbah Surtinah kemarin? Dua minggu lagi..."
Kepala Syifa menoleh saat isakkan tangis Ibunya terdengar. Terduduk lemas perempuan berumur lima puluh delapan tahun itu di sofa robek-robek di ruang tengah, "Ah! Ibu! Kenapa malah nangis lagi? Bukannya semalam juga Ibu sama Bapak udah ikhlas?"
Keluarga Syifa memang percaya takhayul. Menurut mereka adanya jin dan setan erat kaitannya dengan kehidupan mereka sehari-hari. Apalagi Marti, Ibunya dulu—Eyangnya Syifa—memiliki kemampuan melihat mahluk halus, yang kemudian diturunkan pada Syifa.
Siapa yang tidak kenal Mak Gede di kawasan tempat tinggal mereka dua puluh tahun lalu? Mendengar nama itu saja, semua orang bisa merinding karena segan. Jadi dukun di kampung, membuat Mak Gede kemudian bisa jadi kaya karena banyak orang datang minta bantuan. Membuat Marti bisa hidup nyaman dari hasil pekerjaan Ibunya itu.
Sampai kemudian Ibunya meninggal, hidupnya kembali susah.
"Sudah kandas harapan Ibu ngelihat kamu kaya raya sebagai dukun," lirih Marti dengan air mata berurai.
"Ya ampun! Ibu, kalaupun Syifa gak dibilang bakal mati dua mingga lagi..."
"Meninggal!" sentak Marti membenarkan.
"Iya meninggal. Kalaupun aku gak dibilang bakal meninggal, aku gak mau jadi dukun. Jaman gini, siapa yang masih percaya hal gituan seperti keluarga kita, Bu? Ibu mau aku dianggap gila nanti sama orang-orang? Mereka lebih percaya Mbah Google sekarang daripada Mbah dukun!"
Marti tidak menggubris, masih saja dia tersedu-sedu di tempatnya duduk sekarang, "Ibu mau beli tanahnya Bu RT yang di pinggir jalan itu lho, Nak. Biar dagangan Ibu bisa kelihatan."
Kening Syifa mengerut samar, "Apa hubungannya sih, Bu? Kok jadi ngomongin tanah Bu RT?" tanyanya sambil mengeluarkan sepatu baru dari kardus, "Astaga!" serunya berbisik saat melihat sepatunya.
Ini serius Bos Dimitri mempersiapkan gaun dan sepatunya dalam beberapa jam saja? Kok bisa bagus dan sesuai selera aku sih? Tanya Syifa dalam hati.
Syifa lupa, kalau tempatnya bekerja adalah perusahaan franchise toko pakaian yang sangat tersohor khususnya di pasar Asia. Tidak ada mall di Jakarta yang tidak terdapat store StyleMe di dalamnya. Seharusnya Syifa tidak kaget dengan selera fashion bosnya itu.
"Mau kemana, sih?" tanya Marti yang kesal karena tangisannya tidak lagi menjadi perhatian sang putri, matanya melirik gaun dan sepatu berhak yang tengah putrinya itu pakai, "Kamu sudah gajian ya memang? Kok beli pakaian sama sepatu baru? Uang bulanan ibu mana?"
Syifa berdecak pelan dengan mata berputar jengah, "Belum. Ini dikasih sama Bos aku."
Mata Marti terbelalak, kemudian ekspresinya tampak seperti tertarik, "Bos kamu bukannya masih muda, ya? Ibu dengar dia belum nikah, lho."
Senyum sungging di bibir Syifa terbentuk. Mengibas tangannya kemudian ke arah sang Ibu, "Ya ampun. Makanya apa-apa gak usah nangis dulu. Aku tadi mau bilang, kalau... aku diundang makan malam di rumah bos aku itu."
Marti seketika berdiri, berjalan cepat kemudian mendekati sang putri, "Serius? Ajak kawin cepat!"
Lirikkan sinis Syifa kirim kemudian, "Memangnya putri ibu ini kucing ya? Main kawin-kawin aja! Harus ada prosesnya dulu, Bu. Ini makanya aku mau usaha, Ibu doain. Bantu siapain sajen di kamar Eyang, deh. Biar Eyang juga bantu."
"Oke! Oke!" seru Marti sambil mengusap-usap tangannya tampak antusias.
Senyum Syifa tidak bisa hilang dari bibir. Ia periksa kembali gaun yang tengah ia gunakan, menepuk-nepuknya pelan agar tidak kusut.
Aku gak bakal mati cepat, ujarnya dalam hati.
Kawin sama Bos Dimitri adalah harga mati!
***
"Bos Dimitri adalah pria paling gagah dan tampan yang pernah saya lihat, Mah!" seru Syifa dengan mata melebar penuh binar, "Kayaknya gak ada satupun pria yang lebih jantan dari Bos Dimitri."
Dimitri mengepal tangannya di atas meja. Melirik Syifa dengan pandangan membunuh.
Kurang ajar, batinnya. Perempuan itu padahal sudah setuju untuk melaksanakan perintahnya tadi siang di kantor.
"Kamu mau saya kawin sama kamu?" tanya Dimitri tadi siang saat tanpa ragu, Syifa mengusulkan untuk mereka kawin betulan, "Saya itu benaran sudah punya pacara tahu!"
"Masa, sih? Bos Dimitri kayaknya jomblo, ah! Saya gak pernah tuh, dengar Bu Nur bilang Bos udah punya pacar."
"Nur siapa?" tanya Dimitri kesal.
"Kepala bagian pemasaran, Bos. Dia itu yang paling tahu semua gosip di kantor. Pokoknya kalau berita dari dia sudah pasti valid. Gak ada debat!"
"Sok tahu dia!" seru Dimitri nyalang, "Udah! Pokoknya saya gak mau nikah sama sembarang orang. Kamu bahkan baru saya ketahui namanya tadi di ruang rapat. Gila, ya?"
Setelah perdebatan panjang, akhirnya Syifa setuju juga untuk menurut, wajahnya lesu sekali tadi.
Dan sekarang, Dimitri merasa sudah sangat bodoh karena percaya pada perempuan itu. Dia berbohong. Di depan sang Mama, perempuan itu malah mengatakan seolah dia dan Dimitri sudah banyak menghabiskan waktu bersama.
"Terus, Ma..." lanjut Syifa akrab sambil ia menarik napas, "Punya Bos keren! Keren banget! Saya suka!"
Astaga! Udah sinting! Hardik Dimitri dalam hati. Kenapa dia punya karyawan gila kayak Syifa di kantor?
Semakin melebar saja mata Dimitri saat respon sang Mama malah diluar dugaan.
"Iya, kan?" tanya Marissa dengan wajah antusias, "Waktu masih bayi, Mama sampai kaget, kok anak bayi ukurannya udah sebesar jempol kaki? Ya ampun! Tapi gak apa-apa, makin besar makin jantan kan?"
Mata Dimitri terpejam rapat. Dengan kesal, ia pukul meja dengan kepalan tangannya. Membuat Syifa dan mamanya yang sedang asyik cekikikan langsung terdiam dengan ekspresi terkejut.
Niatnya mau marah. Tapi saat Dimitri melirik sang Mama yang tampak marah, nyalinya ciut juga. Dari dulu, melawan mamanya tidak pernah Dimitri lakukan. Dia takut.
"Aku malu," gumam Dimitri sebelum ia suap sepotong daging dari piring, "Bisa kita gak usah omongin itu?" tanyanya kemudian sebelum ia alihkan pandangan ke arah Syifa, "Kamu juga! Jangan begitu di depan Mama!"
"Kok malah diomelin Syifanya?" tanya Marissa kesal, "Ini informasi penting, Dim! Karena semua yang Syifa ceritain tadi, Mama jadi tenang sekarang. Keraguan Mama tentang kamu yang mungkin sukanya sama... sama kucing, jadinya hilang sekarang."
Hampir saja Marissa mengungkit orientasi seksual sang putra yang selalu jadi pertanyaan. Dia tahu, kalau Dimitri sebenarnya tidak terlalu suka kalau sudah mendengar dugaan itu.
"Ya sudah! Sekarang kita bahas pernikahannya saja," sergah Marissa kemudian, "Mama suka sama Syifa."
"Suka gimana? Mama bahkan baru..."
"Syifa juga suka sama Mama!" seru Syifa memotong perkataan Dimitri. Sontak pria itu melotot, membuat Syifa membungkam mulutnya sendiri kemudian menundukkan wajah.
"Kamu kenapa sih?" tanya Marissa sebal pada putranya. Kemudian ia beralih ke arah Syifa dengan senyuman manis di bibir, "Jadi kapan enaknya? Kapan Mama bisa ke rumah kamu buat lamaran?"
Mata Syifa berbinar. Rasanya, semakin dekat saja untuk sampai ke tujuannya. Kalau begini, bayang-bayang akan kematian tidak perlu ia takutkan lagi.
"Secepatnya, Ma. Jangan lebih dari dua minggu dari sekarang!" serunya dengan tubuh memaju sampai dadanya menempel pada ujung meja, "Akhir minggu ini gimana?"
Dimitri terdiam di kursinya. Menatap Syifa dengan pandangan murka.
Dalam hatinya, dia berujar....
Perempuan itu cari mati, ya?