Suasana mereka berdua menjadi sedikit canggung ketika Anes sudah mengetahui siapa Deska yang sebenarnya. Mereka berdua masuk ke kamar Deska setelah beberapa saat berada di dalam lift.
Deska mempersilahkan Anes untuk masuk duluan ke dalam kamarnya, ekor matanya menyapu setiap sudut ruangan dan memperhatikan semuanya cukup lama.
"Duduk, jangan cuma diam aja. Anggap aja rumah sendiri," Deska berucap sambil melepaskan jaketnya lalu meletakkannya di atas kasur.
Tanpa sepatah katapun Anes duduk di atas kasur dengan raut wajah sedikit murung, karena sebelumnya Anes mengira Deska itu adalah laki-laki, dan amat sangat romantisnya kehidupan Anes jika memiliki cerita bahwa dia pernah di selamatkan oleh seorang pangeran yang tampan.
Namun alur cerita yang dia buat langsung menghilang begitu saja ketika dia mengetahui Deska adalah perempuan sama seperti dirinya .
"Apa yang harus kulakukan," batin Anes sambil menggigit ujung jarinya dengan raut wajah sedikit gelisah.
Deska berjalan ke arah lemari es mengambil dua kaleng minuman segar dan memberikannya kepada Anes untuk menghilangkan dahaga.
"Kenapa?" Deska bertanya sambil memberikan satu kaleng minuman.
"Kamu bilang mau kasih bukti?" Anes kembali bertanya sambil bangun dari duduknya dan kini mereka berdua saling berhadapan.
"Suaraku ngga cukup membuktikan kalau aku cewek?" Deska melemparkan pertanyaan lagi kepada Anes yang saat itu berdiri di depannya dengan raut wajah kesal.
"Nggak ya, suaramu itu ngga ada cewek-ceweknya!" ucap Anes sambil menunjuk wajah Deska dengan raut wajah kesal.
"Loh," ucapnya diiringi tawa dan berjalan ke arah meja menaruh kaleng miliknya yang belum di buka.
Deska kembali lagi ke hadapan Anes sambil membuka kaos yang bergambar tengkorak, Deska tersenyum setelah melepaskan kaosnya di depan Anes.
"Aku cewek," ucapnya kembali tertawa ketika melihat reaksi Anes yang cukup Aneh.
"Ah sial," ucap Anes sambil duduk di kasur.
Sepertinya harapan Anes langsung memudar, karena setelah melewati kejadian yang cukup menegangkan seharian ini membuatnya memilik sedikit i perasaan terhadap Deska. Tapi Anes berniat membuang perasaannya setelah mengetahui jati diri Deska yang sebenarnya.
"Kamu kenapa?" Deska bertanya sambil mendekatkan wajahnya ke arah Anes dan Anes menjadi terpojok sehingga badannya jatuh ke atas kasur yang empuk.
"Cantik juga," Deska berucap sambil tersenyum ketika dia berada di atas tubuh Anes dan wajah mereka sangat dekat.
Beberapa saat Anes terdiam sambil menatap wajah Deska yang sangat dekat sehingga Anes bisa mendengar nafasnya, dia melihat bibirnya yang mungil dan juga merah alami berada tepat di depan bibirnya. Kesadarannya langsung kembali ketika Deska hampir menciumnya, Anes mendorong Deska sampai terjatuh ke lantai dan Anes pun bangun dari tidurnya.
"Ih! Jauh-jauh lo!" Anes berucap sambil mendorong Deska, "Pake baju lo," lanjutannya sambil bangun dan melipat kedua tangannya dengan raut wajah marah.
"Haha! Maaf, cuma bercanda doang loh," Deska berucap sambil memakai kembali kaosnya dan mengambil sekaleng minuman yang dia taruh di atas meja tadi.
"Gue mau ke toilet," Anes langsung pergi meninggalkan Deska sendirian tanpa menatap wajahnya seperti biasa.
"Emangnya kamu tau, dimana letak toiletnya?" Deska bertanya dan tidak lupa juga dia tertawa dengan raut wajah sumringah.
"Diem lo!" ucap Anes sambil mencari-cari dimana letak toiletnya.
Karena ini baru pertama kalinya Anes masuk ke apartemen Deska, tentu saja dia tidak mengetahui dimana letak toiletnya. Sampai beberapa saat dia baru menemukannya tanpa bantuan dari Deska sedikitpun.
"Duh, apa yang harus aku lakukan," batin Anes sambil memandangi wajahnya di depan cermin, wajahnya berubah menjadi kemerahan, "Aku nggak boleh suka sama Deska," lanjutannya sambil membasuh mukanya dengan air.
Setelah kembali dari toilet, Anes mengambil ponselnya di dalam tas. Dia meminjam kabel charger milik Deska untuk mengisi daya ponselnya. Deska menawarkan untuk memakai ponselnya terlebih dahulu, karena menunggu ponsel miliknya penuh itu akan memakan waktu cukup lama.
"Nggak apa-apa, pake aja punyaku," ucap Deska mengulurkan tangannya sambil memegang ponsel miliknya.
"Maaf ya, gue pinjam sebentar," balas Anes mengambil ponsel Deska ragu-ragu dan Anes tidak menatap wajah Deska sama sekali.
***
Sementara itu di rumah Anes.
"Siapa ya, yang nelpon," ucap Dewi sambil duduk di teras rumah.
"Assalamualaikum, mba. Ini aku Anes," ucap Anes dari seberang telpon ketika Dewi menjawab panggilannya.
"Wa'alaikumsalam, ya ampun. Anes kamu baik-baik aja kan?" Dewi sontak terkejut mendengar suara Anes langsung memberitahu kepada Ibunya bahwa Anes menelponnya.
"Nes, kamu dari mana aja nak?" ibu berucap dengan nada suara memelas, dia sangat senang sekali bisa mendengar suara Anes meski lewat telpon. Setidaknya mereka tahu Anes masih hidup.
Anes langsung menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya selama 3 hari di tempat yang jauh dari rumah maupun sekolah. Ibunya sangat bersyukur masih ada orang baik yang mau menolongnya, Anes berkata kepada ibunya bahwa dia akan pulang ketika keadaan mulai aman. Ibunya mengerti dan mendoakan Anes serta Deska agar selalu di berikan perlindungan oleh Tuhan.
Setelah beberapa menit menelpon keluarganya, Anes mengembalikan ponsel milik Deska. Dan dia mulai kembali menatap wajahnya.
"Kamu kenapa sih?" Deska bertanya sambil duduk di samping Anes dengan jarak yang sangat dekat hampir tidak ada celah.
"Em, nggak apa-apa," ucapnya menoleh ke arah Deska dan membuat jantungnya kembali berdebar kencang, "Duh, gue kenapa sih. Setiap kali liat mukanya jantung gue kenceng banget," batin Anes sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
"Eh! Kamu nangis?" Deska bertanya sambil memegang bahu Anes memastikan kalau dia tidak menangis.
Anes tidak bisa membohongi dirinya sendiri, perasaan Anes terus berdatangan ketika dia memaksanya untuk membuang perasaan terhadap Deska. Dia bingung harus bagaimana karena semestinya sesama perempuan tidak diperbolehkan untuk menjalin kasih sebagai pasangan kekasih. Begitu juga dengan Deska merasakan hal yang sama ketika dia pertama kali melihat Anes, Deska langsung jatuh cinta di pandangan pertama.
***
"Aku lapar," ucap Deska sambil bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah dapur, tetapi Anes masih duduk di kasur dengan posisi yang sama masih menutupi wajahnya.
"Semoga Deska nggak liat muka gue," batin Anes sambil melepaskan tangannya, dia takut Deska melihat wajahnya yang memerah.
"Hei, bantu aku sini," Deska memanggil Anes dari dapur dengan nada suara yang cukup kencang.
"Gue punya nama, panggil gue Anes bukan hei," balas Anes sambil berjalan ke arah dapur dengan raut wajah yang masih sedikit memerah.
"Oh ya, Anes. Kenapa sekarang bahasanya lo gue? Perasaan waktu masih di sana kamu nggak gitu bahasanya," Deska sengaja bertanya mengenai hal yang sama sekali tidak penting untuk dibahas.
"Y-ya, terserah gue," Anes berucap dengan raut wajahnya yang cemberut, "Lama-lama ngeselin juga ni anak," batin Anes sambil melihat Deska yang lihai dalam memotong bawang merah serta cabe.
Bersambung...