"Kamu nggak perlu minta maaf, justru yang harusnya minta maaf itu aku. Karena aku kamu jadi begini," balas Anes sambil menundukkan kepalanya ketika air matanya akan menetes kembali.
"Udah ya, jangan nangis lagi. Kayaknya kamu banyak nangis hari ini," ucap Deska sambil mengusap air mata Anes.
Entah sejak kapan mereka berdua menjadi sedekat ini, Anes mulai membuka dirinya. Dan mulai bersikap seperti biasa pada saat pertemuan pertama mereka. Rencana untuk mengantarkan Anes pulang sepertinya di tunda sampai kondisi dan mobil Deska membaik. Mobil Deska tidak begitu rusak parah di bagian mesin, hanya di bagian kaca.
Polisi yang sudah berhasil menangkap Andri atas tindakan penculikan langsung di masukkan ke penjara dalam beberapa tahun ke depan. Polisi menawarkan untuk mengantar Anes pulang, namun Anes menolak tawaran polisi dan lebih memilih untuk merawat Deska sampai sembuh.
***
Beberapa hari kemudian.
"Aku udah sembuh, nanti besok pagi aku antar kamu pulang ke rumahmu, lagi pula. Kamu udah lama nggak masuk sekolah," ucap Deska kepada Anes yang sedang memainkan ponselnya.
"Iya, sih. Teman-temanku juga nyuruhin aku supaya cepet-cepet masuk sekolah lagi," balas Anes sambil meletakkan ponselnya di atas meja, dan bangkit dari duduknya membalikkan badannya berjalan ke arah kamar mandi. Deska menunjukkan senyuman manis dari bibir ranum itu.
***
Keesokan harinya.
"Semoga perjalanan kali ini ngga ada kendala lagi," Deska berucap sambil memakai masker bewarna hitam senada dengan Hoodie yang dia kenakan.
"Aamiin," ucap Anes sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya.
Mereka mengisi perjalanan dengan canda dan tawa yang sesekali di lemparkan Deska, dia hanya ingin melihat Ames terus tersenyum ketika bersamanya dan melupakan kejadian-kejadian yang cukup membekas di ingatan. Deska juga mulai menceritakan soal kehidupan pribadinya kepada Anes.
"Dulu, aku itu korban kekerasan di keluargaku," celetuk Deska setelah beberapa saat terdiam.
Ucapan Deska sontak membuat Anes terkejut, dia monoleh ke arah Deska dengan raut wajah tidak percaya dengan apa yang di dengarnya, "K-kamu serius?" tanyanya kepada Deska yang masih terus menatapnya dengan tatapan berubah menjadi sendu.
"Iya, aku serius. Kondisi di keluargaku cukup rumit, aku tiga bersaudara dari dua kakak laki-laki. Mereka membenciku. Sehingga nggak ada tempat bagiku untuk berlindung, ketika ayah memukuliku. Entah sebagai luapan emosi yang terpendam atau memang mereka membenciku," jelasnya dengan mata berkaca-kaca ketika menceritakan sedikit tentang masa lalunya yang cukup kelam.
"Setiap malam ketika ayahku pulang dengan keadaan mabuk, dan tentunya aku yang menjadi sasarannya. Entah apa yang membuatnya marah, mungkin dia kalah dari taruhan," lanjutannya dengan tatapan mata yang lurus ke depan memperhatikan jalan, sementara itu Anes terpaku mendengarkan cerita tentang masa lalu Deska.
"Apa yang membuat mereka membencimu?" Anes bertanya dengan raut wajah sedih, menahan air matanya yang ingin menerobos keluar dari pelupuk matanya.
"Mereka bilang nggak mengharapkan anak perempuan di lingkungan keluarga, mereka hanya ingin anak laki-laki." Ucapnya lirih.
"Jadi, ini alasan di balik penampilanmu sampai sekarang?" Anes bertanya lagi.
"Benar, aku memutuskan merubah penampilanku sejak duduk di bangku SD. Aku melakukan semuanya semata-mata agar ayah menyukaiku, sama seperti dia menyukai kakak-kakakku, namun apa yang aku dapat. Mereka semua malah mencemooh aku di depan banyak orang ketika umurku menginjak usia remaja. Usahaku selama ini sia-sia, mereka tetap membenciku meskipun aku anak kandungnya, mereka bilang kalau bukan karena aku mungkin ibuku masih hidup sampai sekarang," Deska hanya bisa terisak menelan kesakitan, kepahitan, kelam masa lalu dalam hidupnya.
Hatinya terasa seperti di cubit setelah mendengar semua cerita yang menyakitkan itu. Anes ikut meneteskan cairan bening dari pelupuk matanya.
"Ayahku bilang, ibu mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan aku. Aku nggak begitu tau jelas soal kejadiannya, tapi yang pasti keluargaku membenciku, aku juga harus membiayai hidupku sendiri serta membayar uang sekolah yang nggak sedikit. Aku bekerja paruh waktu di restoran makan, sampai pada akhirnya kebutuhanku tercukupi dan aku memilih untuk meninggalkan keluargaku pada umur sembilan belas tahun," jelasnya sambil mengusap air matanya yang masih menetes ketika menceritakan hal itu.
Deska hidup jauh dari kata mewah sejak saat dia kecil, bahkan dia tidak mendapatkan perhatian serta kasih sayang dari sosok ayah. Dia bertahan hidup meski keadaan untuk menyuruhnya menyerah, berhenti, tapi dengan tekad dan semangat yang kuat. Deska bisa sampai di titik sekarang dengan kehidupan yang sangat tercukupi.
"Setelah aku melewati masa-masa sulit, kedua kakakku ternyata mencari-cari aku selama ini." Lanjutnya sambil menghentikan laju mobilnya karena terhalang dengan lampu merah.
"Mereka mau apa?" Anes bertanya, keningnya beraut penuh tanda tanya.
"Mereka mau minta uang aku, mereka bilang kalau ayahku sakit dan butuh biaya. Meskipun mereka bersikap jahat kepadaku, aku tetap menganggap mereka keluarga meski aku memilih pergi. Tapi setelah tiga bulan mereka meminta transfer uang, ternyata itu bukan untuk pengobatan ayah. Ayahku sehat-sehat aja waktu itu. Mereka sengaja memanfaatkan kebaikanku dan memakai uangnya untuk berjudi, Yah.. semenjak saat itu aku nggak mentransfer uang, sampai pada akhirnya mereka terlilit hutang dan berakhir di penjara. Bukannya aku tega, hanya saja anggap itu semua sebagai balasan atas perlakuan mereka, dan tentunya mereka bisa hidup gratis di penjara," jelasnya sambil menjalankan mobilnya ketika lampu sudah berganti warna.
"Jadi begitu ya, aku turut prihatin, Des." balas Anes, tangannya terulur memegang pundak Deska. Mata mereka saling bertemu dan menunjukkan senyum.
"Terima kasih, ya. Tapi itu cuma masa lalu, sekarang aku udah baik-baik aja," ucap Deska kepada Anes.
"Em, terus kalau hubungan kamu sama cewek kemarin itu apa?" Anes bertanya sambil menggaruk pipinya dengan satu jari.
"Cie, mau tau banget apa mau tau aja?" Deska kembali bertanya sambil mencolek dagu Anes dengan kedipan sebelah mata.
"Cih, udah ah." balasnya cuek sambil menyilangkan tangan di depan dada dengan raut wajah cemberut.
"Lah, jangan ngambek dong. Nanti aku ceritain lagi, sekarang coba liat kita ada dimana," ucapnya sambil menunjuk ke arah depan.
Anes melihat nama desa di pinggir jalan yang tidak asing lagi baginya, "Sepertinya kita mau sampai, lewatin dua desa lagi nanti sampai di rumahku," ucap Anes kepada Deska sambil mengeluarkan kepalanya dari jendela kaca mobil.
"Baiklah, ngga sabar aku liat raut wajah keluargamu," Deska berucap sambil tersenyum setelah beberapa saat dia meneteskan air mata.
Mungkin pertemuannya dengan Anes bukanlah suatu kebetulan, dengan adanya Anes, Deska bisa lebih menghargai hidupnya dan bersyukur bisa bertemu dengan Anes. Dia berharap hubungannya bisa lebih dari seorang teman, namun apapun keputusan Anes, Deska akan tetap menerimanya.
Bersambung...