"Hukuman lainnya yang akan kalian terima, di setiap hari Jumat, kelas agama dan moral kalian terpisah dari teman yang lain. Kalian akan belajar di ruangan pak Yohan dan beliaulah yang akan mengajari kalian." Lihatlah, hukuman ini bahkan lebih mengerikan lagi. Bukan karena mereka takut kepada pak Yohan. Beliau bukanlah tipe guru killer di sekolah, sikapnya sangat jauh dari julukan itu.
Pak Yohan sudah 3 tahun belakangan ini berhenti untuk mengajar lagi dan sekarang bertugas di perpustakaan. Mengingat beliau memang sudah tua. Bahkan, beliau akan pensiun beberapa bulan lagi. Beliau hanya akan mengajari murid-murid yang permasalahannya sudah sangat melampaui batas. Pak Yohan adalah guru yang sangat berkompeten disini. Beliau selalu mendapatkan penghargaan sebagai guru terbaik selama beberapa tahun.
Sekarang, jika beliau sudah turun tangan untuk menangani kedua murid ini, sudah dipastikan sikap keduanya memang tidak dapat tertolong lagi. Brian dapat membayangkan saat belajar dengan pak Yohan nantinya. Beliau sudah pasti akan memberikan ceramah panjang lebar yang bisa membuat mereka takut akan dosa.
Mereka berdiam beberapa saat setelah kepala sekolah memberitahu hukuman apa yang diterima keduanya. Saat itu pintu diketuk dari luar. Papa Andre masuk ke dalam ruangan tersebut setelah diberi izin kepala sekolah. Brian dan Andre disuruh untuk berdiri di luar ruangan sebentar sembari kepala sekolah membicarakan masalahnya kepada Papa Andre.
Papa Andre mendengarkan semua ucapan kepala sekolah. Beliau merasa sangat malu atas perbuatan anaknya. Setelah mereka selesai berbicara, papa Andre meminta maaf kepada kepala sekolah, pak Anton, dan wali kelasnya.
Kemudian, Andre dan Brian diminta untuk masuk kembali ke dalam ruangan. Papa Andre menatap anaknya sebentar, kemudian berbicara dengan tenang. "Minta maaf sama Brian dan guru-guru kamu."
Andre menatap papanya tidak percaya. Dia akan senang hati meminta maaf kepada guru, hanya saja jika kepada Brian, untuk apa dia melakukan semua ini jika ujung-ujungnya malah dialah yang meminta maaf. Tetapi karena tatapan tajam dari papanya, Andre hanya bisa menurut dan meminta maaf kepada Brian.
"Maaf" ucap Andre singkat. Bisa dibilang, permintaan maafnya itu sangat tidak ikhlas. Brian hanya mendengus melihat sikap Andre ini.
"Brian, kamu juga salah. Kamu harus maafin Andre dan kemudian kamu minta maaf sama Andre." Ucap wali kelasnya setelah berdiam diri cukup lama.
Dengan malas, Brian mengulurkan tangannya. "Iya, maafin aku juga."
Sebenarnya, kondisi saat ini sangat lucu. Mereka meminta maaf hanya sekedar formalitas. Tatapan mereka sangat bertolak belakang dengan mulut mereka yang meminta maaf.
"Saya sebagai wali kelas Brian dan Andre meminta maaf atas kegagalan saya untuk menuntun anak didik saya ke jalan yang lebih baik." Wali kelas mereka membungkukkan badannya selama beberapa saat setelah mengucapkan maaf.
Setelah itu mereka semua pergi meninggalkan kantor kepala sekolah kecuali kepala sekolahnya sendiri.
Akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang menimpa anak didiknya. Bahkan masalahnya bertambah besar. Sekarang malah ditambah lagi dengan masalah Andre dan Brian. Beliau sangat lelah dengan semua ini. Tetapi ia tidak bisa mengabaikan semua permasalahan yang terjadi. Anak didiknya membutuhkannya saat ini.
*
Pukul 3 lebih 47 menit, Bu Clara—wali kelas 12 IPA 1—sudah berada di sebuah cafe yang letaknya tidak jauh dari SMA Lavender. Beliau merasa bahwa untuk berbicara secara langsung kepada mamanya Mikha terkait kondisi Mikha sangatlah penting. Semua ini pula demi kebaikan dan kesehatan Mikha.
Pukul 4.12 waktu setempat, mama Mikha sudah sampai di cafe tersebut dan sekarang duduk di hadapan Bu Clara. Mereka awalnya berbicara sekedar basa-basi sebelum memulai pembicaraan yang serius.
"Begini mama Mikha, maksud saya bertemu dengan Anda di sini adalah terkait masalah yang Mikha hadapi akhir-akhir ini. Saya melihat, Mikha belajar terlalu berlebihan hingga melupakan dunia." Kalimat Bu Clara sama sekali tidak dilebih-lebihkan. Mikha memang belajar hingga lupa dengan dunia.
"Itu memang kewajiban dia untuk belajar. Memang apa yang salah dengan itu?"
"Sama sekali tidak ada yang salah. Hanya saja, masalahnya disini Mikha sangat berlebihan. Jangankan untuk orang di sekitarnya, untuk dirinya sendiri saja dia sudah tidak memikirkannya lagi. Di jam istirahat, Mikha hanya akan belajar di dalam kelas. Dia hanya akan meminum air mineral tanpa memakan apa pun, walau hanya sepotong roti saja tidak." Bu Clara menyesap kopi yang dipesannya. "Apa mama Mikha tau kalau selama ini Mikha meminum obat pereda sakit kepala setiap harinya?"
Mama Mikha sangat terkejut mendengarnya, kemudian beliau menggelengkan kepalanya, "Tidak. Saya lihat dia sehat-sehat saja."
"Mikha selalu mengonsumsi obat pereda sakit kepala karena dia selalu mengeluhkan sakit di kepalanya itu. Saya sudah meminta Mikha untuk tidak terlalu sering mengonsumsinya. Tetapi Mikha akan mengatakan bahwa dia bisa mati kalau tidak meminum obat tersebut. Itu disebabkan sakit di kepalanya yang tidak tertahankan." Bu Clara menghela napasnya sejenak.
"Saya juga sudah mengetahui alasan Mikha belajar dengan begitu keras. Itu karena Anda 'kan? Begini mama Mikha, harapan orang tua ke anaknya memang tidak salah. Hanya saja, jika harapan yang kita berikan malah menjadi tekanan bagi anak, itulah yang salah. Bukannya saya ingin menggurui Anda dalam mendidik anak. Saya juga seorang ibu sekaligus seorang anak dari seorang ibu. Saya tau betul bagaimana perasaan Mikha. Saya melihat ketakutan yang dia rasakan saat berhadapan dengan Anda."
"Tidak bisakah Anda sedikit saja memahami Mikha? Saya tidak menyalahkan atau menuduh Anda sebagai seorang ibu yang tidak mengerti anaknya. Saya sangat berharap Anda dapat menjadi teman bagi Mikha, tempat Mikha mencurahkan segala isi hatinya. Tadi, dokter sekolah bilang bahwa Mikha pingsan karena stress. Tidakkah Anda kasihan?" Nada suara Bu Clara sedikit meninggi. "Maaf karena saya meninggikan suara saya. Dokter sekolah menyarankan agar Mikha bertemu dengan psikiater untuk mengetahui kesehatan mentalnya bermasalah atau tidak. Demi kebaikan Mikha."
Mama Mikha hanya bisa terdiam dan menyimak apa yang dikatakan Bu Clara. Jika boleh jujur, beliau sungguh terkejut saat mengetahui anaknya mengonsumsi obat setiap harinya hanya untuk meredakan sakit kepala yang selalu muncul. Ia sangat terkejut ternyata anaknya malah merasa tertekan karena tuntutannya. Saat Bu Clara menceritakan apa yang dialami Mikha selama disekolah, apa yang dirasakan Mikha selama ini, membuat hatinya serasa diremas dan ditusuk ribuan pisau secara bertubi-tubi. Apakah Mikha semenderita itu karena aku? Pikir mama Mikha.
Setelah itu, Bu Clara tidak melanjutkan obrolannya lagi dan memilih diam. Mengakhiri kalimatnya dengan sebuah pertanyaan yang tepat sasaran itu sudah cukup baginya. Ia berharap agar mama Mikha terketuk pintu hatinya dan membuka matanya untuk melihat kondisi putrinya. Ia sangat mengharapkan itu.