Wajah El datar ... tanpa satu ekspresi pun terlihat di sana.
Laki-laki yang biasanya menghadapi berbagai karakter orang itu berusaha menahan diri untuk terlihat tidak sedang merasa terancam dengan ancaman halus itu.
"Aku harus berterima kasih dengan kepedulianmu, Madam. Tapi, sekali lagi, aku minta maaf karena tidak dapat menjanjikan apapun."
El Thariq menyamarkan getaran hatinya yang mungkin menjalar dalam suaranya.
Wanita yang terlihat berwibawa itu tersenyum penuh arti.
Kemudian ia bertingkah seperti ibu yang bijaksana dengan menatap dengan sorot mata yang lembut. Ekspresi keibuan itu berubah menjadi penuh perhatian.
"Ah ... aku harap, arti jawabanmu cenderung ke arah iya daripada ke arah sebaliknya, El," ucap Madam Golda dengan tekanan pada setiap kata.
El Thariq mengangguk pelan, kemudian menyunggingkan senyum seringai.
"Sampai saat ini aku belum melihat ke mana arah kecenderungan itu, Madam. Em ... apa ada yang masih ingin disampaikan?" ucap El dengan suara rendah.
"Ah ... beginilah jika aku hanya nomer sekian dari kesibukanmu. Aku menerima sinyal-sinyal ingin mengakhiri percakapan ini. Oke, El, pergilah! Kamu bisa melanjutkan kesibukanmu," serang Madam Golda dengan nada lembut tapi ... sedikit menusuk.
"Aku hanya akan pergi dengan seizinmu, Madam Golda, karena aku hadir di sini karena memenuhi panggilanmu," ucap El dengan tenang.
"Pergilah, El! Kita cukupkan pembicaraan kita kali ini, kita bisa menyambung pembicaraan kita lain waktu. Aku mengizinkanmu pergi, pergilah, El!" ujar wanita itu dengan wajah cerah.
El mengangguk, pamit dan dengan tenang keluar dari ruang kerja pemilik rumah bergaya Eropa klasik itu.
Pegawai berseragam yang semula mengambil alih mobil milik El sudah standby di depan pintu utama, pegawai itu menyerahkan kembali kunci mobil kepada pemiliknya.
Kemudian, El mengendarai kendaraan roda empat itu dengan pelan menuju gerbang.
Beberapa meter dari batas luar gerbang rumah megah itu, kecepatan mobil El masih sama, tetapi, begitu jarak itu makin jauh, mobil itu melaju dengan cepat.
El mengendarai mobil itu dengan wajah membesi. Warna merah mulai mendominasi wajahnya. Tapi, laki-laki itu menahannya dengan keras agar kemarahannya itu tak meledak.
El Thariq menyalurkan kemarahan itu dengan menekan pedal gas hingga kendaraan itu melejit dengan kecepatan setan membuat pengguna jalan yang lain terpaksa menyingkir.
Roda-roda mobil itu berdecit bersamaan dengan rem yang diinjak dengan kasar.
Mobil hitam El akhirnya berhenti di ujung sebuah dermaga yang sepi.
Matahari yang bersinar dengan terik mungkin membuat ujung dermaga itu dihindari banyak orang.
"Agh!" teriak El Thariq akhirnya.
Laki-laki itu memukul stir mobilnya dengan keras. Dua tangannya mencengkeram stir mobil itu.
Beberapa saat kemudian laki-laki berambut hitam itu melakukan tarik embus napas untuk mengikis amarahnya.
Sesaat kemudian, ketenangan laki-laki itu kembali, ekspresi dingin dan datar kembali meraja di wajahnya.
El kembali menyalakan mesin dan membuat mobil itu berputar seratus delapan puluh derajat.
Gerakan setengah lingkaran itu membuat jejak samar di aspal. Debu-debu membentuk jalur memanjang searah gerakan roda.
Mobil itu terus bergerak dan satu jam kemudian, sampai akhirnya berhenti di sebuah tempat mewah mewah di pinggir jalan.
Sebuah bangunan tingkat tiga dengan jendela kaca besar-besar terlihat berdiri dengan anggun. Tulisan yang terbaca sebagai Silver Glass dengan warna perak memantulkan sinar matahari yang membuat mata silau. Diujung tulisan itu sebuah gambar cawan perak dibentuk dengan artistik.
El masuk ke bangunan mewah itu dan naik ke lantai tiga.
Dengan kasar laki-laki tinggi tegap itu merebahkan tubuhnya ke sebuah sofa dengan ukuran besar yang berada dalam ruang yang dikelilingi kaca.
Ruangan itu terlihat terpisah dari ruang lain yang penuh dengan sofa dan kursi dengan bentuk setengah lingkaran.
Dalam ruangan yang terlihat lebih luas dari ruangan yang lain itu, laki-laki itu menyandarkan kepalanya pada lengan sofa, sebuah bantal empuk berwarna krem mengganjal lehernya.
Laki-laki itu menutup kelopak matanya, napasnya teratur, tapi tetap terjaga.
"Lihat siapa yang siang-siang sudah berbaring di Silver Glass?" seru sebuah suara laki-laki.
Seorang laki-laki dengan tinggi seratus delapan puluh lima centimeter berdiri di ambang pintu ruangan berdinding kaca itu. Laki-laki itu memandang El yang bergeming mengabaikannya.
"Aku tahu Kamu nggak tidur, El?" ucap laki-laki itu datar.
Laki-laki itu berjalan mendekat dan duduk di sofa yang terpisah dengan El.
"El!" panggil laki-laki dari sofa yang dekat dengan kepala El Thariq.
El Thariq hanya menggumam dengan enggan, bergeming dengan kelopak matanya masih tertutup.
"Klub bergengsi Silver Glass dibuka mulai pukul tujuh malam ... dan itu masih lama sekali, jadi apa gerangan yang membuat orang sibuk seperti El Thariq sudah berbaring di ruang VIP Silver Glass saat ini?" ujar laki-laki dengan wajah oriental itu.
"Jangan menggangguku, Nex! Pergilah!" seru El Thariq lirih, matanya masih terpejam dan posisinya tak berubah.
"Ah ... apa yang membuatmu terlihat seperti baru saja kalah perang? Em ... sepertinya masalah di perusahaan nggak ada yang tak bisa Kamu atasi?" ujar Nex datar.
Laki-laki yang kini menjulurkan kaki panjangnya itu mengabaikan seruan El Thariq. Laki-laki itu justru menyandarkan punggungnya hingga posisinya seperti sedang berbaring.
Laki-laki yang dipanggil dengan nama Nex itu memandang lampu kristal yang tergantung tepat di tengah langit-langit.
"Jadi, apa masalahnya? Em wanita? Ah! Enggaklah!" tebaknya asal, laki-laki itu memicingkan mata.
"Taruhan?" lanjutnya tak berhenti.
"Em ...," gumamnya panjang.
Tampak gurat-gurat halus di dahi laki-laki dengan rambut hitam dan manik mata coklat tua itu, seolah ia sedang memikirkan hal yang sangat berat.
"Eng ...." Gumam panjangnya berubah menjadi serupa suara dengungan lebah.
"Nex!" tegur El Thariq terganggu.
Bola mata dalam kelopak mata yang tertutup itu bergerak-gerak tak jenak.
"Em ...." Gumamam Nex terus berlanjut.
"Oh Ibu suri?" cetus Nex dengan suara nyaring. Nada suaranya seperti seseorang yang baru saja menemukan segepok uang di jalan.
Nex menatap wajah El Thariq dengan saksama.
Laki-laki itu memperhatikan bagaimana kedua bola mata yang semula bergerak-gerak dalam kelopak mata tertutup itu berhenti begitu tebakan terakhirnya tercetus.
"Nah! Benar 'kan? Kali ini aku pasti nggak salah tebak, aku tahu itu, El," ucapnya bangga.
Kelopak mata El Thariq terbuka. Laki-laki itu menatap kosong ke langit-langit ruangan itu.
"Kamu dari memenuhi panggilan ibu suri ya?" tebak Nex dengan datar.
El Thariq mengembuskan napas panjang.
"Hem ... lihat! Bagaimana tebakanku benar lagi, aku tahu itu, El," sambungnya ... kembali dengan nada bangga.
"Pasti untuk ditawari wanita 'kan?" lanjutnya ... dengan enteng.
Manik mata hitam El bergerak ke sudut, mengarah pada laki-laki yang duduk di sofa yang ada di dekatnya.
"Hem ... lirikanmu berarti iya," sambungnya dengan riang.
"Kita bertiga mengalami nasib yang sama," ujar Nex dengan sedih.
"Kita bertiga?" Akhirnya satu pertanyaan meluncur dari mulut El.