Chereads / Menjadi Tumbal Makhluk Tampan / Chapter 9 - Sembilan

Chapter 9 - Sembilan

Pramudja menggebrak dinding di sampingnya. Semua yang ada di ruangan balai desa itu terkejut. Wajah Pramudja memerah menahan marah, matanya menatap satu per satu anak buahnya. Mereka dikirim untuk mencari keberadaan raya, tapi tak satu pun yang pulang membawa info menyenangkan.

"Saya tidak mau tau! Cari sampai dapat. Walau ke lubang semut sekali pun!" suara Pramudja menggelegar, semua anak buahnya saling pandang.

"Tapi, pak! Kami sudah menelusuri lereng gunung dan hutan sekitar sini. Tetap saja tidak ada" bela santo.

"Kalian tidak becus! Mencari satu orang saja tidak bisa!"

"Pak! Sudah lima hari kami keluar mencari. Mulai dari hutan sebelah barat, sungai daerah timur, kaki gunung beserta lerengnya, bahkan di goa-goa pun kami tetap tak bisa menemukannya, Pak"

Pramudja mendengus kesal, ia menghela nafas berat. Kemudian menatap Santo, anak buahnya.

"Santo, kau baru keluar 5 hari. Masih panjang waktu untukmu mencari! PERGI SEKARANG!" Bentak Pramudja.

Ketika Santo dan anak buahnya beranjak untuk pergi, rombongan para tetua datang. Para tetua adat yang berjumlah 13 orang itu berjalan memasuki ruangan balai desa dengan langkah tergesa.

Pramudja menatap takut pada rombongan para tetua. Tenggat waktu yang mereka berikat sudah sangat dekat. Namun hasil belum terlihat hilalnya.

"Sudah Petang, Pram. Kau masih saja tak menunjukkan perkembangan" 1Nyiak Ani bersuara begitu seluruh Tetua duduk. Pramudja menghela nafas, melirik kesal pada anak buahnya.

"Waktu yang kalian berikan masih ada 3 hari lagi, Nyiak" Pandangan pram tertunduk, bola matanya sangat segan menatap langsung pada gerombolan orang tua yang sangat dihormati itu.

"Mencari anak kecil saja tidak becus kau, Pram!. Jika kau gagal, terpaksa kita harus sembah darah" Seketika jantung Pramudja berhenti berdetak, hal yang sangat ia takutkan keluar dari bibir orang yang dihormati itu.

"Aku pasti menepatinya, Nyiak. Tenang saja"

"Sudahlah! Kita sembah darah saja. Desa sudah sangat kekeringan" semua mata langsung tertuju pada Nyiak Jintan yang bersuara dari sudut ruangan. Terdengar beberapa tetua berbisik satu sama lain, merundingkan beberapa pendapat berbeda di antara mereka.

"Ada benarnya itu. Sudah tidak ada lagi waktu untuk mencari Raya" Para tetua yang lain pun bersuara, membenarkan penuturan tersebut. Pramudja dan anak buahnya saling pandang.

"Baiklah. Beri kami waktu sampai matahari terbit esok hari! Jika kami tetap tak bisa membawa Raya esok hari, kita lakukan sembah darah" Ujar Pramudja lantang.

Para tetua kembali berbisik, merundingkan hal tersebut. Kemudian pertemuan pun berakhir dengan keputusan memberikan waktu untuk Pramudja. Kekesalan yang dirasakan ayah Dani itu memuncak. Perjanjian awal yang seharusnya diberi waktu 8 hari malah didesak pada hari ke lima. Demi jabatan dan keselamatan anaknya, Pramudja menyanggupi tenggat waktu yang terbaru.

"Rombongan satu ke lereng gunung, romongan dua ke rawa-rawa perbatasan, Rombongan tiga ke Lembah Racun Hitam!" mendengar titah Pramudja, seluruh anak buahnya segera berdiri dan pergi bersama rombongan masing-masing tanpa banyak tanya lagi.

Pramudja pun memandang kepergian anak buahnya sembari memikirkan rencana berikutnya.

"Pokoknya aku harus jadi kepala desa!"

Dani keluar dari persembunyiannya, ia mendekati Ayahnya.

"Yahh" panggil Dani. Pramudja menoleh pada anaknya.

"Kau tenang saja, sembah darah tak akan terjadi"

Dani menautkan kedua tangannya, raut takut dan khawatir tak pernah hilang dari wajahnya sejak hari itu. Bayangan Intan menghantuinya, rasa bersalah itu kian hari kian besar. Apalagi Intan adalah sosok yang sangat ia kasihi.

"Kau tak akan menjadi tumbal"

Dani sedikit tenang mendengar kata-kata ayahnya. Hal yang sangat ia risaukan sekarang adalah itu. Dia menjadi kandidat utama sembah darah. Sembah darah biasanya dilakukan kalau persembahan biasa mengalami kendala atau ditolak hingga menyebabkan kekeringan. Sembah darah mengorbankan seorang perjaka untuk di sembelih di atas batu persembahan. Ada yang hidup, ada yang mati. Tapi sejauh ini Cuma satu orang yang selamat.

Ayah Dani membuka syalnya, terlihat bekas luka yang sangat panjang di lehernya. Dani menatap prihatin pada bekas luka itu, ia pun mengelus lehernya sendiri. Merasa ngeri dengan apa yang aka terjadi.

"Cukup aku, ayahmu yang merasakan sakitnya. Berjuang antara hidup dan mati. Bahkan sampai sekarang aku masih sering memimpikan penyembelihan itu. Semua gara-gara kakeknya Raya! Aku harus membalaskan dendamku!" Sorot mata Pramudja memerah sekilas, Dani terperanjat kaget melihat itu.

Sementara itu, Rombongan satu yang berjalan ke lereng gunung berpencar mencari keberadaan Raya. Rombongan yang terdiri dari 4 orang dewasa itu sangat kesulitan untuk menelusuri sudut-sudut area. Mereka tak mau melewatkan satu hal pun.

"Woiiii!"

Semua rombongan menoleh pada sumber suara. Salah satu dari rombongan itu, yang berada dibalik batu besar mengangkat sebuah kain hitam. Seketika anggota rombongan lain berlarian ke arah orang itu.

"Ini bukannya kain yang di pakai Leslie?"

Yang lain mengangguk. Seketika mereka antusias, memandang satu sama lain.

"Apa mungkin Leslie masih hidup?"

"Entahlah. Bisa jadi masih, karna tak ada bekas darah pertanda luka di sini"

"Kita harus menemukan dua kakak beradik itu"

Rombongan tersebut kembali menelusuri area lereng gunung dengan semangat. Barang yang mereka pegang sekarang bisa membuat senang Pramudja. Ya, Pramudja pasti senang karna akan segera menghabisi keturunan asli kepala desa. Sehingga ia bisa menjadi pencetus baru keturunan berikutnya.

Sedangkan rombongan yang di rawa-rawa terlihat sangat kesusahan. Akar-akar teratai sangat menghambat pergerakan mereka. Belum lagi beberapa binatang mengganggu. Bahkan seekor ular terlihat melintas dan menggigit salah satu dari mereka.

"Arrrkhhhhh!"

Semua anggota rombongan berlari ke temannya yang terluka. Ular yang menggigit terlihat melesat cepat hingga hilang.

"Itu ular air, tidak berbisa. Tapi lukanya cukup dalam" ucap salah satu dari mereka.

"Ayo cari sesuatu untuk menghentikan darahnya"

Orang yang di pojok kiri segera mencari sesuatu dalam rawa-rawa. Menginjak-injak dasarnya lalu mengambil sesuatu yang menurutnya menarik itu. Sebuah tengkorak kepala manusia muncul begitu orang tersebut mengangkat tangannya. Rombongan yang terdiri dari 4 orang itu seketika saling panjang.

"Ini tengkorak asli?"

Yang lain mengangguk.

"Asli ya? Aku ambil dari dalam sini" ucapnya lagi sembari melihat arah bawahnya.

Yang lain mengangguk lagi. Mereka kembali saling pandang, kemudian memandang ke sekelilingnya. Seketika suasana menjadi mencekam. Aura hitam menyelimuti rawa-rawa tersebut. Angin bertiup, bersamaan dengan terbangnya burung-burung.

"Arrrrkhhhh!" Teriak seorang lagi, dia mengangkat tulang kerangka dada. Yang lain seketika menoleh. Kemudian mereka berteriak bersama, melempar semua yang mereka pegang dan berlari menyeberangi rawa-rawa dengan cepat.

"Arrrrkhhhhh!!!!" teriak mereka lagi.

Seiring dengan perginya rombongan dua, terlihat sesosok makhluk hitam memandangi mereka. Makhluk itu bertubuh besar berbulu lebat. Ketika ia memutar tubuh, terlihatnya kepalanya menyerupai monyet. Matanya memerah, dengusan nafasnya berasap. Ia mencabik daun teratai di sana dengan kukunya.

Tubuh besar dan menyeramkan itu sangat mirip dengan yang ada di rumah Dani. Lukisan yang di percayai bernama Ragon.