Parasku memang rupawan bak pangeran dari negeri barat. Dengan tubuh yang berisi, aku mampu mengayunkan dua pedang dan satu pedan digigit untuk menyerang lawan ataupun hal-hal yang menganggu. Sayangnya, semua wanitaku adalah pembohong ulung. Berapa banyak gadis yang menginginkan untuk aku mencintai mereka, namun itu tidaklah mudah.
Aku tidak tahu apa yang telah membuat orang-orang mudah jatuh cinta denganku—selain wajahku yang tampan. Darah-darah yang menjadi saksi akan cinta itu tidaklah sebanding dengan kejujuran atas ucapan serta perlakuan mereka.
"Aku mencintaimu, Lazh. Dalam setiap napasku selalu menyebutmu. Ingatanku selalu terbayang akan wajahmu. Bahkan namamu terukir di dalam hatiku. Dan aku mengatakan semuanya atas nama kejujuran."
Bah! Tatkala aku melihat paru-paru, otak, dan hatinya, semua ucapannya hanyalah dusta belaka. Tubuh yang telah dingin itu tidak juga meminta maaf atas kesalahannya—membohongiku. Maka jangan salahkan aku jika menuntut sebuah kebenaran.
Aku sudah lama berkelana, mengunjungi berbagai tempat untuk mencari sosok yang setia. Setia dalam berbagai hal, bukan hanya untuk mendapatkan kenikmatan selangkang maupun kesenangan utnuk berhura-hara. Aku hanya ingin mendapatkan wanita yang mampu menerima apa adanya. Tidak ada tuntutan lebih yang aneh-aneh.
Dan yang paling penting adalah jangan berbohong. Aku pernah dibohongi dan itu adalah ibuku sendiri.
Tidak ada yang dimiliki lagi oleh seorang anak jika ditinggalkan pergi oleh ibunya.
"Tenanglah, Lazh." Aku ingat ketika tangan lembut itu mengusap pipiku yang basah. "Ibu tidak akan pergi lama. Dan Ibu tidak berbohong." Dalam sekejap, tubuhnya telah menghilang di balik gunung pasir.
Namun apa yang diucapkannya hanyalah dusta. Hingga setahun, ibuku tidak kembali. Bahkan seterusnya, ibuku tidak pernah kembali. Tidak mungkin jika dia mati, karena tahu jika ibuku adalah orang abadi.
Ketika datang seorang gadis yang mengaku mencintaiku, pedangku yang membuktikan apakah dia berbohong atau tidak.
Hingga bertahun-tahun ke depannya, semua ini tetap aku lakukan. Berusaha mencari pembenaran atas kepergian ibu.
"Maafkan ibu yang tidak bisa selalu berada di sampingmu, Lazh. Ibu pergi bukan karena benci kepadamu. Sama sekali tidak. Namun ada yang mesti dilakukan oleh orang abadi seperti ibu."
Aku terus mendengarnya. Seluruh kesedihan menggumpal hingga membentuk amarah yang besar. Pintu maaf tidak terbuka entah apa sebabnya. Pedangku terus menghunus tubuhnya sekalipun telah kembali utuh.
Tubuh perempuan itu perlahan bangkit. Di wajahnya terlihat dia menahan rasa sakit yang teramat sangat. Tatapannya sangat mengiba, mengharapkan permohonan untuk bisa berbicara barang sebentar.
"Kau tahu, bukan ibu tidak sayang, bukan juga tidak ada cinta lagi untukmu. Ini adalah misi penyelamatan dunia. Kau mestinya sadar dengan keadaanmu sekarang ini. Harusnya kau memahami dirimu lebih dari orang lain memahami diirmu sendiri. Ibu tidak akan menuntutmu atas membunuh perempuan-perempuan pendusta itu, karena mereka layak mendapatkannya. Kau harus mengerti dengan keadaan saat ini dan asal usulmu.
"Ibu masih ada di sini hanya untuk mencari keberadaan Tirta Nirwana. Terakhir kali dia muncul di Pulau Tortuga saat semua naga yang entah dari mana menyerang. Semuanya menghilang sejak kejadian itu. Tidak ada yang tahu kemana. Ibu berada di sini untuk kembali menemukan orang-orang kita dengan Tirta Nirwana."
Aku menatapnya lalu memiringkan kepala. Apa maksudnya?
"Sudah aku duga, kau tidak akan mengerti dengan hal ini. Kau dungu. Tapi kau masihlah anakku. Kau carilah perempuan yang benar-benar jujur, kelak dia akan menuntumu untuk apa yang kau cari selama ini."
"Jadi kau bukanlah perempuan yang jujur, ibu?"
Perempuan itu tergelak. Tubuhnya yang tambun ikut bergetar. "Kau bisa menilainya sendiri."
Dia merentangkan tangannya. Lekuk badannya yang molek tampak jelas. Buah dada yang ranum menggantung dengan menggoda. Aku berjalan mengahampirinya. Menatapmya sekali lagi dari kepala yang memiliki rambut panjang hingga ujung kakinya yang lentik. Aku kian mendekat sehingga bisa merasakan napasnya yang keluar tidak beraturan. Dia terlihat gusar meskipun aku sendiri adalah anaknya.
"Kau tidak berbuat yang aneh-aneh kan?"
Dahi kami beradu. Aku tersenyum. "Tidak ada yang pantas aku lakukan kepadamu selain ini, Ibu."
Dari tangan kananku yang memegang erat kepalanya, perempuan itu berteriak. Meraung sejadinya seperti orang pesakitan.
"APA YANG KAU LAKUKAN?"
Dia terus berteriak dengan tubuh yang mengeluarkan asap. "Kau tidak akan bisa membunuhku! TIDAK AKAN! AKU ABADI. AKU BUKAN MANUSIA DAN KAU JUGA MANUSIA. MANUSIA TIDAK AKAN BISA HIDUP ABADI!"
Dia terus seperti itu dan aku tidak menyangka jika hal ini akan berhasil. Hei, dia adalah orang pertama yang aku lakukan begini. Meletakkan telapak tangan di kepalanya dan berpikir untuk memakannya dan terjadilah.
Aku memakan ibuku sendiri.
Perempuan itu terus meracau tidak jelas dengan menahan tubuhnya yang begitu panas. Asap muncul lebih pekat dari badan moleknya. Ketika tubuhnya menghilang di balik asap, pakaiannya jatuh, dan aku mendapatkan semua isi pikirannya. Apa yang dikatakannya adalah kebenaran dan alasan kenapa dia meninggalkanku dengan landasan kebohongan adalah hal bisa aku maklumi sekarang.
Dan itu terlambat. Terserahlah.
Kini seorang gadis berambut hitam legam tengah berdiri di hadapanku.
"Aku mencintaimu, Lazh. Bukan, bukan seperti mereka yang telah jatuh cinta kepadamu. Tidak sama sekali. Aku akan menunjukkan wujud cinta itu melalui langkah kakiku serta kepalan tangan. Tenang, aku bukanlah orang yang pandai berdusta."
Kedua matanya menunjukkan harapan yang besar. Aku tidak tahu apa yang telah membuat orang-orang mudah jatuh cinta denganku. Tanpa disadari gadis itu, tatapanku tak lepas dari bagian anggota tubuh yang disebutnya. Tangan kananku telah mengangkat pedang. Apakah benar yang diucapkannya? Biarlah darahnya yang menjadi saksi atas kejujurannya.
"Tunggu!" Gadis itu menggenggam tanganku sebelum pedang berayun membelah tubuhnya. "Semudah itu kau tidak percaya padaku, Lazh?"
Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. "Anggap semua ini sebagai pembuktian cintamu."
"Berarti kau tidak percaya padaku, Lazh." Perlahan gadis itu terisak, lantas menangis.
Aku yang tidak tahu mesti bagaimana lagi, berusaha menjauh dari tubuhnya yang memelukku. Kembali mengangkat pedang, lantas menebas tangan dan kakinya.
Apakah benar gadis di hadapanku ini tidak pandai berbohong? Bagaimana jika wanita-wanita yang aku bunuh adalah orang yang paling jujur? Hanya saja butuh waktu untuk bisa mendapatkan kejujuran itu?
Dari tubuh-tubuh yang telah dingin itu, mendadak berubah menjadi binatang seperti ular yang sangat besar namun mampu terbang. Sayapnya yang lebar mengepak dengan sangat kuat. Dari mulut binatang itu keluar api yang membara. Membakar apa pun yang ada di sekitarnya. Api berkobar di mana-mana. Orang-orang berteriak penuh ketakutan.
"Apakah ini akhir dunia?"
"Apa salah kami sehingga berada di tempat seperti ini?"
"Aku ingin mati bahagia dan tenang, bukan sengsara dengan api."
Mayat-mayat yang sudah lelah meraung itu juga berubah menjadi makhluk yang sedang marah. Bukan satu atau dua, kebanyakan orang di sini berubah menjadi makhluk itu. Juga munculnya peri-peri kecil yang entah dari mana yang hanya bisa menangis ketakutan dan berdoa, seperti orang-orang ini.
Aku berusaha menggali pikiran dari ibuku. Semua ini sangat berguna termasuk untuk mencari keberadaannya. Iblis yang menggunakan Tirta Nirwana. Dan iblis tidak seharusnya berurusan dengan benda-benda dari surga.
Ah, tempat ini begitu kacau. Apakah aku bisa keluar dari situasi ini untuk menemukan iblis itu. Ataukah ….
Apakah ini akhir dari pencarianku selama ini?