Chereads / Santri Mbeling / Chapter 13 - PANJI DI RUMAH NYAI NUR SA'ADAH DI ALAM RUHANIAH

Chapter 13 - PANJI DI RUMAH NYAI NUR SA'ADAH DI ALAM RUHANIAH

Jam 3 Sore, ada suara uluk salam dari teras rumah Kyai Nuruddin. Mendengar ada orang untuk salam di halaman ndalem... Ustadz Bakri bergegas menuju halaman ndalem.

"Maaf Pak, Kyai-nya lagi bepergian dari jam 02 tadi," ucap Ustadz Bakri.

"Kemana ya kang, kyai bepergian?" tanya sang tamu cemas.

'Tadi pamit sama saya pergi ke Jakarta pak, dan pulang hari senin," kata Ustadz Bakri,

"Ini hari sabtu, jadi... Kira - kira 2 harian di Jakarta, katanya menghadiri pernikahan saudaranya."

"Aduuuh! Lama juga ya," ujar sang tamu agak kebingungan,

"Ya sudah Kang, saya akan pergi ziarah ke makam Kyai Jabat dulu, insallah senin saya kembali lagi.

Assalamualaikum,"

'Waalaikumsalam Pak," jawab Ustadz Bakri.

Tak lama kemudian mobil sang tamu terpakir di halaman makam dekat gapura masuk. Setelah turun dari mobil, dengan langkah gontai sang tamu tadi berjalan mendekati, kemudian uluk salam dan duduk bersilah menghadap makam Kyai Jabat.

Sementara Panji masih tertidur sangat lelap sekali. Waktu terus merambat dan Magrib pun terdengar dari toa masjid kampung. Tak lama kemudian adzan Isak berkumandang, namun Panji masih terlelap tidur.

Jam 08 Malam, Nyai Nur Sa'adah datang lalu memegang pundak Panji, dan berkata,

"Gus... Bagunlah!!!"

Begitu ada yang menyentuh pundaknya... Panji langsung terbangun. Begitu melihat hari sudah gelap... Panji kaget sekali, kemudian berdiri hendak beranjak pergi ke pondok. Panji takut kalau di marahi sang Kyai, karna tidak menyapu halaman rumah juga tidak mencuci piring.

"Kyai Nuruddin sedang bepergian ke Jakarta selama 2 atau 3 hari Gus," ucap Nyai Nur Sa'adah,

"Jadi... Kamu jangan takut, istirahatlah dengan tenang."

"Iya Nek, ucap Panji,

"Kok Nenek tau kalau kyai bepergian?"

"Iya, Nenek tadi melihatnya, dan Kyai pamit sama Nenek.

Gus... Mandilah di rumah Nenek, terus kamu makan dan kamu boleh main di makam lagi," jawab Nyai Nur Sa'adah

"Baiklah Nek," ucap Panji,

"Panji juga ingin tau rumah Nenek."

Ketika Panji keluar dari gerbang gapura makam... Panji melihat rumah gubuk terbuat dari ayaman bambu.

"Apakah itu rumah Nenek?" tanya Panji sambil menunjuk rumah bilik yang berada di bawah pohon bambu.

'Iya Gus, itu rumah Nenek," jawab Nyai Nur Sa'adah.

Tak lama kemudian,

"Silahkan masuk Gus, kamu mandi dulu, Nenek akan siapakan makan untuk mu. Kamar mandinya ada di belakang rumah. Gunakan saja lampu tempel untuk penerangan," ujar Nyai Nur Sa'adah.

Sambil mandi... Panji berkata lirih,

'Sabun ini cap mahal, odol sikat juga ber-merk, sampo juga yang biasa di pakai oleh orang - orang kaya?

Hemmm... Nenek ini Gaul sekali! Airnya sangat sejuk sekali."

Setelah mandi... Nyai Nur Sa'adah berkata,

"Gus, pakailah sarung dan baju ini, ini Nenek beli untuk mu. Taruh situ saja bajumu, biar Nenek cucikan besok."

Setelah ganti baju... Nenek berkata,

"Ayoo, makan dulu, duduklah di kursi dan makan yang banyak ya."

"Iya Nek," kata Panji kemudian duduk menghadap meja makan.

Sambil makan... Panji berkata dalam hati,

"Ini makanan favorit ku, nasi pecel ikan ayam goreng dan sayur lodeh. Selama kurang lebih 3 bulan... Baru kali ini aku makan nasi pecel dan sayur lodeh. Rasanya seperti masakan ibu ku."

Setelah selesai makan... Panji duduk di sebuah bangku atau amben yang berada di teras.

"Nek, apakah Nenek tinggal di sini sendirian?" tanya Panji kemudian menyulut rokok surya 16.

"Nenek tinggal berdua Gus, sama Kekek."

"Di mana Kakek, Nek," tanya Panji.

"Kakek lagi mengajar ilmu kanuragan," ucap Nyai Sa'adah berbohong.

"Ilmu kanuragan itu apa Nek?" tanya Panji.

"Ilmu kanuragan itu ilmu kesaktian Gus," ucap Nyai Nur Sa'adah,

"Kakek mengajarkan ilmu Cakra Harimau."

"Apa Kekek itu bisa berubah menjadi harimau Nek?" ujar Panji penasaran.

"Iya, Kakek kadang sering merubah wujudnya menjadi harimau," kata Nyai Nur Sa'adah,

"Biasanya... Kalau duduk di teras ini, kakek merubah wujudnya menjadi harimau."

Mendengar pengakuan Nyai Nur Sa'adah... Panji setengah tidak percaya, namun Panji tetap mengiyakan sambil mangut - mangut.

"Siapakah Nek, nama Kakek Suami Nenek itu?" tanya Panji.

"Namanya Kakek Jabat Al Fattah," jawab Nyai Nur Sa'adah.

"Namanya sama yaa Nek, kayak nama Kyai Jabat yang makamnya ada di seberang jalan desa," kata Panji.

"Iya Gus, sama namanya," jawab Nyai Nur Sa'adah,

"Kalau Gus mau kembali ke pondok... Silahkan, mumpung belum terlalu malam. Kalau Gus mau ke makam... Bawalah segelas kopi ini, biar besok Nenek ambil gelasnya."

"Baiklah Nek, aku mau ke main ke makam saja," kata Panji kemudian sungkem mencium tangan Nyai Nur Sa'adah,

"Nek, terimakasih telah di beri makan minum, juga di persilakan mandi. Assalamualaikum..."

"Iya Gus, waalaikumsalam," jawab Nyai Nur Sa'adah,

"Gus... Bungkusan ini bawalah, berikan kepada orang yang sedang duduk di depan makam itu ya... Terus, suruh dia pulang."

"Iya Nek," jawab Panji remaja.

Ketika Panji berdiri di depan makan... Panji melihat seorang bapak setengah tua duduk bersila menghadap makam,

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam," jawab orang tua yang duduk di depan makam sambil terkejut.

"Pak, ini ada titipan buat Bapak," ujar Panji.

Mendengar ucapan Panji... Bapak itu berdiri, kemudian mendekati Panji, lalu berkata,

"Titipan apa kang?"

"Gak tau isinya apa, saya hanya di suruh memberikan kepada orang yang duduk di depan makam saja," ucap Panji sambil menyodorkan bingkisan,

"Bapak juga di suruh segera pulang."

Setelah memberikan bingkisan kecil... Panji duduk di pinggir lantai makam, kemudian menuangkan kopi hitam.

Karena di cuekkin Panji... Bapak itu penasaran, kemudian mendekati Panji dan berkata,

"Kang, terimakasih ya, bingkisannya... Kalau boleh tau, kamu di suruh siapa?"

"Saya di suruh Nenek Sa'adah Pak," jawab Panji,

"Bapak orang mana? Dan siapa nama Bapak?"

"Namaku Pak Samat, dari Cirebon Kang, saya tadi bertamu ke rumah Kyai Nuruddin, tapi Kyai Nuruddin pergi ke Jakarta. Katanya di Jakarta 2-3 harian."

"Rokok Pak, silahkan," kata Panji sambil menyodorkan rokok surya 16,

"Kalau boleh tau... Ngapain Bapak menemui Kyai Nuruddin."

"Saya lagi susah Kang, istri saya sakit keras, sudah berobat ke singapura juga belum kunjung sembuh.

Kata seorang Kyai Cirebon... Saya di suruh minta tolong sama Kyai Nuruddin.... Saya juga di suruh ziarah ke makam Mbah Wali Jabat. Jadi... Saya ke makam ini sambil menunggu Kyai pulang dari Jakarta."

"Coba Bapak buka, apa isi bungkusan kertas itu?" kata Panji santai.

"Baiklah Kang," ucap Pak Samat kemudian perlahan - lahan membuka bingkisan kertas yang berada di kantong plastik.

"Isinya satu sendok gula, yang satunya lagi satu sendok garam Kang," kata Pak Samat.

"Itu mungkin untuk obat istri Bapak," kata Panji,

"Gulanya mungkin buat teh untuk minum, dan garamnya mungkin untuk masak buat makannya istri Pak Samat."

"Gitu ya Kang?" tanya Pak Samat ragu.

"Iya paling Pak, saya juga tidak tau persis untuk apa?

Tapi kalau istri bapak sakit... Ya mungkin itu untuk obat," kata Panji asal ngomong.

"Baiklah Kang, saya permisi dulu, mau pulang ke Cirebon sekarang juga," ujar Pak Samat kemudian salaman lalu menghampiri sopirnya yang merokok di samping gerbang makam.

Tak lama kemudian... Pak Samat kembali lagi sambil membawa bingkisan yang di ambil dari dalam mobil,

"Kang, ini ada rokok marlboro kalau mau," kata Pak Samat meletakkan dua bungkus rokok marlboro dan selembar amplop merah putih,

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam, terimakasih ya Pak, sering - sering kasih Panji rokok sama amplop."

Pak Samat berlalu sambil tersenyum mendengar ucapan Panji. Tak lama kemudian mobil mewah itu keluar makam dan berlalu.

Sambil menikmati rokok marlboro yang baru di sulut... Panji membuka amplop, lalu berkata lirih,

"100 ribu... Banyak sekali uang ini, lumayan buat jajan di warung Bela." 😅👍

Malam perlahan merambat semakin pekat, dan dingin pun mulai menusuk tulang. Panji pun memindahkan kopinya lalu duduk bersandar di tiang kayu penyangga makam.

Tak lama kemudian... Panji merebahkan badannya di keramik berwarna coklat.

Tiba - tiba Panji mendengar suara langkah kaki menuju makam. Setelah uluk salam... Kedua orang tersebut duduk di depan makam, lalu bertawasul dan berdzikir.

Panji yang tidur - tiduran berkata lirih,

"Kang soleh dan Ustadz Bakri... Tumben Ustadz Bakri ziarah bareng Kang soleh?"

Melihat Kang Soleh dan Ustadz Bakri berdzikir... Panji cuwek dan tetap santai merebahkan badannya.

Setelah berdoa, kang Soleh dan Ustadz Bakri duduk di tepi lantai tak jauh dari makam.

"Kita santai dulu ya Kang," ujar Ustadz Bakri,

"Kita istirahat sambil merokok, mumpung ngaji Ihya' libur.

Ini aku bawah kopi, tadi minta bungkus di warung Pak Slamet."

"Siap!" ucap Kang Soleh kemudian duduk bersila.

Sambil menikmati kepulan asap rokok inter... Ustadz Bakri berkata,

"Kang, apa kamu gak melihat Panji...? Sejak pulang sekolah diniyah jam setengah 3 Sore tadi... Hingga sekarang belum kembali. Gak kelihatan hidung nya.

Sempat aku tanyakan pada teman karibnya... Mereka juga tidak tau. Aku kuwatir dia pergi dari pondok tanpa pamit."

"Gak mungkinlah kang! Panji walau nakal... Dia tidak mungkin pergi dari pondok tanpa pamit," ucap Kang Soleh,

"Dia itu anak yang cerdas loh Kang! Saya saja sering mendapat pertanyaan yang aneh - aneh! Bahkan dia cerita mimpi bertemu Mbah Wali Jabat."

"Hemm... Laki - laki kok suka ngegosib," ujar Panji lirih.

"Kang... Panji pernah bilang pada ku, kalau solat malam ku itu sia - sia, hanya dapat lelah dan gaya saja," ujar Kang Soleh,

"Karna aku solat tidak tau wujud rupa Allah yang di sembah. Dia juga bilang, buat apa menyembah tembok musollah? Buat apa menyembah tulisan lafat asmak Allah? Kan kurang ajar dia? Tetapi juga benar yang Panji ucapkan Itu, aku mengakui kebenarannya. Hingga... Kadang - kadang aku malas solat malam."

"Kyai juga bilang sama aku, waktu aku ngobrol sama Kyai membahas masalah pondok. Kyai bilang... Irmala santri putri yang kemarin baru mondok! Kemarin lusa sakit parah terkena teluh, kang Panji-lah yang mengobatinya. Kyai juga pesan kepada ku, gak boleh kasar - kasar sama Kang Panji... Walau dia masih kecil dan belum bisa ngaji, karna Panji itu kesayangan Mbah Wali Jabat," kata Ustadz Bakri.

Ketika Panji lagi mendengarkan obrolan seniornya... Tiba - tiba Panji mendengar suara berisik di depan makam sebelah kiri. Suara orang -'orang berdzikir dengan sangat keras dan kompak.

Karna penasaran... Panji berdiri kemudian melihat dari samping.

"Kapan datangnya rombongan itu? Tau - tau sudah duduk berdzikir? 1,2,3,4... 50 orang lebih, banyak sekali?" ucap Panji,

"Apakah mereka bangsa jin ya...? Seperti kang Akra Mujib khodamnya kyai Najib."

Baru duduk bersandar... Panji melihat lagi sekelebat orang - orang duduk di depan makam, kemudian berdzikir dengan kompak dan berirama.

"Ada dua rombongan," kata Panji heran.

Tak lama kemudian... Kang Soleh dan Ustadz Bakri pergi tanpa melihat keberadaan Panji di dekatnya.

Setelah selesai berziarah... Ketua rombongan dari bangsa jin itu melihat Panji yang duduk bersandar tiang kayu, lalu berkata dalam hati,

"Manusia itu bisa melihat bangsa jin. Dia sangat pemberani sendirian di makam Mbah Wali Jabat yang agak gelap. Siapa dia? Baru kali ini aku melihatnya! Ternyata dia masih anak - anak remaja... Coba aku dekati dan aku ajak ngobrol."

"Assalamualaikum," salam ketua rombongan.

"Waalaikumsalam salam," jawab Panji santai.

"Siapa nama mu?" tanya ketua rombongan.

"Namaku panji Pak. Bapak siapa?"

"Aku Syeh Jamali, mursid Torekot Banjaryyah. Mengapa kamu main di makam Mbah Wali Jabat sendirian? Apa tidak takut?"

"Ya, ingin main saja Pak, enak sepi di sini," jawab Panji,

"Tidak takut, aku sudah biasa sendirian dan terbiasa di tempat sepi. Pak... Mursid itu apa?"

"Mursid itu guru nya para Kyai atau guru yang mengajari santri untk menjadi Waliyullah, atau kekasih Allah," ucap Syeh Jamali.

"Berarti bapak ini Kyai nya Kyai ya?" ujar Panji,

"Berarti bapak ini lebih alim dari pada Kyai Nuruddin guruku? Karna guruku hanya mengajar ngaji para santri saja."

Sebagai seorang mursid dari bangsa jin... Sekali melihat diri Panji... Syeh Jamali langsung mengetahui siapa sebenarnya Panji itu, dan siapa yang melindungi Panji.

"Pak Jamali... Apakah Bapak itu bangsa jin atau manusia?" tanya Panji.

"Aku dari bangsa jin Gus," ucap Syeh Jamali tiba - tiba sangat sopan terhadap Panji.

"Kalau bapak dari bangsa jin... Pasti sakti seperti kata temanku," ucap Panji,

"Bolehkah aku minta uang 1 juta sekarang juga!"

"Hee! Anak manusia...! Yang sopan kamu kalau bicara sama Kyai kami!" sahut salah satu murid Syeh Jamali.

"Diam kalian!!" Bentak Syeh Jamali ke muridnya,

"Kamu tidak tau siapa dia! Maafkan murid saya Gus, dia belum tau tata krama juga sopan santun," ucap Syeh Jamali.

"Iya Pak, tidak apa - apa, aku hanya ingin membuktikan kalau kalian semua adalah bangsa jin," kata Panji kemudian berdiri lalu pergi meninggalkan makam.

Setelah sampai di pondok... Panji masuk kamar, kemudian merebahkan badannya dan memejamkan kedua matanya.

Setelah agak lama... Walau berusaha memejamkan mata, Panji tetap saja tidak bisa tidur dan akhirnya kembali duduk bersandar tembok.

"Masih jam 12 Malam," ujar Panji lirih,

"Tak kira udah jam 3 Subuh, ternyata masih jam 12.

Lebih baik aku tidur - tiduran di musholla saja."

Ketika berjalan di musholla... Panji heran, karna hanya ada santri satu, dua orang saja.

"Kemana para santri ini ya...? Apa mereka ngopi sambil lihat Tv?" gumam Panji.

Melihat jam dinding di musollah... Panji iseng naik kursi kemudian mengubah jarum jam ke angka 4:10 menit.

Kemudia Panji berjalan ke kamar Ustadz Bakri, kamar Kang Soleh lalu mengubah jarum jam dinding menjadi jam 04:10.

Setelah menganti jarum jam dinding di beberapa kamar... Panji pun tidur merebahkan badannya di teras musollah.

Tak lama kemudian... Banyak santri kembali berdatangan ke pondok untuk istirahat.