Mostar, Bosnia, 1937
Angin berhembus pelan. Menyenggol dedaunan pada pohon yang mulai meranggas. Sebuah daun yang telah coklat dan mengering, tanggal. Perlahan jatuh dengan gerakan zig-zag yang gemulai sebelum akhirnya menyentuh bumi. Satu dua daun lainnya pun menyusul. Jatuh bersusulan menutupi rerumputan di lapangan itu. Menandakan bila musim gugur sudah tiba.
Di sana, seorang lelaki tengah memasukkan peluru ke dalam pistolnya. Bunyi 'cklek' terdengar begitu ia menyelesaikannya. Dari pistolnya ia beralih pada papan sasaran yang diletakkan beberapa meter di hadapannya. Matanya memicing karena sinar matahari yang berlawanan dengan posisinya.
Ia lalu mengangkat kedua lengannya. Dalam sekali tekan, pistolnya melontarkan peluru yang segera menembus udara dengan gerakan memutar. Seorang pria lain yang berdiri di belakangnya dan sedari tadi memperhatikannya, bertepuk tangan.
Peluru berhasil menembus tepat di tengah sasaran. 10 poin.
"Seperti biasa, Letnan Safan kita memang luar biasa!" seru pria itu mengungkapkan kekagumannya seraya berjalan mendekati Safan.
"Jangan berlebihan, Muris," balas Safan.
Safan lalu memperhatikan pistol di tangannya. Dia memutar benda tersebut, mengamati setiap fiturnya.
"Bagaimana? Kau menyukainya? Barang baru itu," Muris bertanya.
Ini pertama kalinya Safan menggunakan pistol jenis FEG 37M. Benda buatan Hungaria itu baru saja diproduksi tahun ini. Karenanya jumlahnya masih terbatas di Bosnia. Belum semua markas tentara memiliki pistol jenis terbaru tersebut dan Safan sudah seharusnya merasa terhormat karena diberikan kesempatan untuk menjajalnya.
Safan menatap Muris dari balik bulu matanya. Sebelah alisnya menjengit saat dia menjawab, "29M dengan body baru?"
"Apakah itu artinya kau menyukainya atau tidak menyukainya?" kejar Muris.
"Aku menyukai wanita, Muris," jawab Safan yang memancing tawa kawan letingnya itu.
Keduanya lantas bercengkrama seperti saat mereka masih di akademi militer dulu. Tanpa mereka sadari, dari kejauhan dua orang pria sedang menatap ke arah mereka. Pria yang berdiri paling depan menggunakan setelan jas sedang pria yang berdiri agak di belakangnya merupakan tentara berpangkat mayor.
"Prajurit yang baru saja menembak tadi adalah Safan, Tuan," kata mayor pada pria di depannya.
"Kau ambil dia," pria berjas memberikan perintah. Statusnya boleh jadi hanya seorang warga sipil namun pangkatnya lebih tinggi daripada siapapun di tempat itu. Karenanya, perintahnya adalah mutlak bagi si mayor.
"Siap laksanakan, Tuan!"
***
"Lettu Safan!"
Safan yang sedang mengantre untuk mengambil jatah makan siangnya menoleh ke arah sumber suara. Berlari-lari mendekatinya adalah seorang prajurit berpangkat sersan dua yang selama ini menjadi anggotanya. Tentara itu memberi hormat pada Safan setelah berdiri di depannya.
"Ada apa?" Safan bertanya.
"Mayor Borya memanggil Anda, Komandan," terang anggotanya itu.
"Apa ada sesuatu?" tanya Safan.
"Saya tidak tahu, Komandan. Anda diminta untuk segera menghadap. Beliau menunggu Anda."
"Pergilah. Aku akan ambilkan jatahmu," kata Muris yang sedari tadi mendengarkan percakapan keduanya.
Safan pun meninggalkan antreannya. Dengan langkah tegap dia berjalan menuju ke ruangan Mayor Borya yang berada di gedung seberang. Beberapa kali dia berpapasan dengan tentara yang pangkatnya yang lebih rendah darinya dan menerima salam dari mereka.
Keluar dari gedung itu, Safan melewati jalan beraspal yang berada di antara rerumputan. Dia menengadahkan wajahnya pada gedung yang ditujunya. Matanya memandang pada jendela ruangan Mayor Borya yang sedikit tertutup oleh tirai.
Ini bukan pertama kalinya sang mayor memanggilnya. Pria itu bukan atasan yang meresahkan. Sebaliknya, merupakan salah satu dari segelintir perwira menengah dengan perangai tenang. Namun kali ini instingnya bergeliat risau sejak anggotanya memberitahu bila atasannya itu mencarinya. Kerisauannya semakin bertambah saat dia mengetuk pintu sang mayor.
"Masuklah!" seru Mayor Borya dari dalam.
"Lettu Safan menghadap, Mayor!" Safan memberi hormat setelah memasuki ruangan tersebut.
Mayor Borya yang duduk di balik mejanya lalu memanggil Safan untuk mendekat. Dengan langkah lebar Safan berpindah dari dekat pintu tepat ke hadapan atasannya itu.
"Kau sudah mencoba 37M-nya?" Mayor Borya bertanya.
Sepasang mata Borya berpendar dengan sorot yang berat, seperti ada pertikaian dalam diri pria tersebut. Hal itu tentunya tak lepas dari pengamatan Safan yang semakin memperkuat dugaan Safan bila ada 'sesuatu'.
"Sudah, Mayor," jawab Safan.
"Bagaimana menurutmu?" Mayor Borya bertanya lagi.
Pertanyaannya sama dengan Muris. Bedanya, Muris menanyakannya karena murni ingin tahu pendapatnya. Kawannya itu sama sekali belum pernah menggunakan pistol jenis baru tersebut. Sedangkan Mayor Borya, atasannya itu tidak mungkin memanggilnya hanya untuk membicarakan masalah pistol. Sebelum pistol itu dijajal olehnya, para perwira tinggi dan menengah sudah pasti telah mencobanya terlebih dulu. Jadi pasti ada sesuatu.
Baiklah, Safan mungkin bukan tentara terbaik di negerinya. Tetapi selama bertahun-tahun dilatih menjadi seorang prajurit, instingnya pun ikut berkembang. Lama-kelamaan dia mampu merasakan bila ada sesuatu yang bergerak secara tersembunyi. Pun begitu, Safan tetap menjawab pertanyaan atasannya sesuai dengan konteksnya.
"Bagian pistolnya memang lebih mudah dirakit, Mayor. Tapi karena pelontar pelurunya berada di bawah gagang pistol, harus menggunakan dua tangan untuk dapat mengeluarkan peluru hampa dan menurut saya itu agak memperlambat proses reloading. Lalu kecilnya v-notch di bagian belakang pistol berpotensi membuat pengguna lebih susah memfokuskan arah tembakannya ketika harus menembak dengan cepat atau dalam kondisi pencahayaan yang rendah."
Mayor Borya menganggukkan kepalanya mendengar penjelasan Safan. "Aku yakin itu bukan isu besar bagimu. Kau adalah salah satu penembak terbaik yang dimiliki Bosnia," pria itu menanggapi.
"Saya rasa ini lebih praktis daripada 29M, Mayor."
Mayor Borya menatapnya dengan pandangan yang dalam. Lalu dengan suara yang sama dalamnya berkata, "Kau bisa membawanya bersamamu, Safan."
Setelah pertemuannya dengan Mayor Borya, Safan tidak senaif itu untuk berpikir bahwa hidupnya tidak akan berubah. Namun tetap ada sebersit harap bila itulah yang akan terjadi, bila dia akan tetap bisa menjalani hidupnya seperti biasa.
'Kau akan dipindah ke Sarajevo setelah melaksanakan tugasmu ini', Safan kembali menggaungkan ucapan Mayor Borya itu dalam kepalanya.
Kawan-kawannya bersukacita mendengar bila dia akan dipindah tugaskan ke Sarajevo. Tentu saja, karena dapat bertugas di ibukota merupakan sebuah prestasi. Safan juga berpikir demikian. Tapi itu sebelum hari ini.
Seketika terbesit sesal kenapa dia tidak menjadi prajurit biasa saja. Prajurit yang tidak menonjol dalam hal apapun dan lambat atau bahkan stagnan dalam pangkatnya. Memikirkannya dia tersenyum kecut. Mayor Borya memang menjanjikan kenaikan pangkatnya tetapi atasannya itu tak pernah menjanjikan kalau hidupnya akan berjalan seperti biasa lagi setelah hari ini.
'Tidak ada yang bisa menjanjikannya', pikirnya.
Tapi prajurit adalah prajurit. Safan harus menerima tugasnya apapun resikonya. Dan di sanalah dia sekarang. Berada di antara kerumunan, seorang diri. Sebenarnya tidak benar-benar sendirian karena dia bersama 37M-nya. Sebuah kawan yang dikirim oleh Mayor Borya untuk menemaninya.
Safan membaur. Dia bersikap seperti penduduk lainnya yang tengah menikmati pemandangan kota Mostar pada malam hari. Kecuali fakta bahwa dirinya mengenakan pakaian serba hitam untuk berkamuflase dengan kegelapan malam. Wajahnya pun tertutup oleh topi kap yang dikenakannya.
Dia menunggu seseorang keluar dari sebuah restoran yang berada di seberangnya. Sepasang mata birunya yang keabu-abuan tak lepas memperhatikan orang-orang yang keluar masuk ke restoran mewah tersebut bak seekor elang.
Sepanjang yang Safan ingat, dia sudah disiapkan untuk menjadi seorang penembak jitu sejak pendidikannya di akademi militer. Senjata dan peluru sudah menjadi bagian dari hidupnya. Namun kali ini akan menjadi tembakan paling susah yang harus dia lontarkan dalam hidupnya. Dia bahkan tidak bisa menentukan apakah itu akan menjadi pengalamannya yang pertama atau terakhir kalinya -- keduanya sama buruknya. Bila yang pertama, artinya akan ada selanjutnya. Bila yang terakhir, artinya dia akan berpindah alam segera setelah tugasnya selesai. Dia tidak ingin mati namun juga tidak ingin mematikan.
Waktu berselang. Matanya menangkap apa yang diburunya. Dengan sangat menyesal, Safan harus menjadi penyebab malam yang terang tersebut berlumur darah.
Suara tembakan memecah ketenangan di malam itu. Disusul oleh suara pilu jeritan burung-burung yang terbang memenuhi langit.
Di sana, di depan restoran mewah itu, seorang pria seketika jatuh terkapar. Ia harus merelakan tubuhnya membusuk di dalam tanah setelah ini. Tetapi ruhnya akan membawa Safan dalam keabadian waktu.
Itulah hukuman bagi Safan.
Sebuah kutukan.
---
V-notch adalah pengarah fokus bidikan pada senjata api.