Di saat yang bersamaan dengan kedatangan Safan ke Sarajevo, sebuah bis baru saja sampai ke terminal bis bagian barat Mostar. Seorang gadis muda dengan tas ransel yang tersangga di punggungnya turun dari dalamnya. Wajahnya terlihat begitu kalem dan teduh. Berbanding terbalik dengan isi hatinya.
Gadis itu lalu menunggu di samping bis. Mengantre gilirannya untuk mengambil kopernya yang masih berada di badan bis. Sesekali ia menyingkap helaian anak rambut yang terbang ke sisi tengah wajahnya saat dihembus angin.
"Yang mana koper Anda, Nona?" seorang pria yang bekerja di armada bis itu bertanya padanya.
"Yang biru itu, Tuan," gadis itu menjawab sembari menunjuk pada koper yang diletakkan melintang di atas sebuah koper hitam. Ia lalu memperhatikan bagaimana pria itu dengan cekatan menurunkan kopernya yang berat itu dari badan bis dalam sekali angkat.
"Terima kasih, Tuan," ucapnya.
"Terima kasih kembali, Nona," balas pria itu sopan.
Gadis itu pun berlalu dari sana. Kopernya yang cukup berat membuatnya harus menggunakan kedua tangannya untuk mendorong benda itu. Benar-benar mendorongnya dari belakang, bukan menariknya. Meski roda kopernya ada empat toh tetap saja tidak meringankan bebannya untuk menyeretnya hanya dengan satu tangan.
Sambil mendorong kopernya ke tepi terminal, sambil matanya menyapu ke sekeliling. Ia mengamati di antara orang-orang yang berada di sana. Mencari seorang pria berusia mendekati 30-an dengan tubuh sedikit berisi yang seharusnya menjemputnya saat ini. Sayangnya ia tidak menemukan pria itu.
'Apakah dia terlambat lagi seperti kebiasaannya?', gadis itu bertanya-tanya.
Tak lama, sebuah suara memanggil namanya. "Ella!"
Ella -- nama gadis itu -- menoleh. Dia tidak mendapati pria yang barusan dicarinya namun menemukan pamannya di sana, berdiri beberapa meter darinya.
"Paman," panggilnya dengan senyum terkembang. Wajahnya begitu sumringah melihat satu-satunya saudara ayahnya itu berada di sana. Segera Ella menyeret kopernya mendekati pamannya, begitu pula dengan pamannya yang berjalan mendekatinya.
"Selamat datang, Ella," sambut sang paman sembari mengulurkan kedua lengan untuk memeluknya.
Ella menyambut pelukan pamannya. "Terima kasih, Paman," balasnya dengan kedua lengannya memeluk erat pamannya.
Tiga tahun tidak bertemu, Ella rupanya sungguh merindukan pamannya itu. Perasaan campur aduk yang sempat dirasakannya tadi sebelum dan selama perjalanan sekarang menghilang digantikan oleh kesyahduan.
Ella lantas memperhatikan penampilan pamannya setelah melepaskan pelukannya. Wajah pamannya masih tampak sama seperti terakhir kali mereka bertemu, tidak menua. Begitu pula dengan postur tubuhnya yang masih sama tegapnya meski usianya semestinya sudah mencapai 60 tahun. Hanya rambut pria itu saja yang semakin memutih dan berkurang.
"Aku mencoba untuk meneleponmu tadi tapi ponselmu tidak aktif," kata sang paman sembari meraih koper milik Ella. Keduanya lantas berjalan beriringan ke arah mobil sambil berbincang.
"Ah ya, aku lupa untuk mengisi batrainya. Jadi ponselku mati beberapa menit sebelum aku naik bis dari Zenica. Aku pikir Kak Muris yang akan menjemputku? Dari tadi aku mencarinya," ucap Ella dengan pandangan mencari. Kalau-kalau pamannya datang bersama kakak sepupunya itu. Sesuai rencana, Murislah yang seharusnya menjemputnya hari ini.
"Kau tidak perlu mencarinya. Muris tidak datang kemari," pamannya memberitahu. "Tadi aku meneleponmu untuk mengatakan kalau aku yang akan menjemputmu. Bosnya Muris tiba-tiba saja merubah jadwal penerbangannya sehingga Muris harus menjemputnya di Sarajevo sekarang," terang pria itu.
"Oh, begitu... Pantas saja tadi aku mencarinya dan tak menemukannya. Kedatangan paman benar-benar suatu kejutan!" ucap Ella riang diikuti oleh seulas senyum.
Pamannya membalas senyumannya. Lalu bertanya, "Apa tadi kau menunggu lama?"
"Tidak, Paman. Aku baru saja datang, kok."
"Baguslah. Aku khawatir kalau kau hilang," pamannya merespon dengan sedikit mengejek.
"Mana mungkin, Paman. Aku bukan anak kecil," Ella menanggapi dengan nada memprotes.
"Kau satu-satunya anak gadis di keluarga kita. Tentu saja kau akan jadi anak kecil selamanya," pamannya mengingatkan.
"Sebentar lagi usiaku 20 tahun, Paman. Dan aku baru saja datang. Jadi bisakah paman tidak memulai topik ini? Kita punya pandangan berbeda mengenainya," Ella menegaskan dengan tatapan kesal yang setengah dibuat-buat.
Sebenarnya sangat menyenangkan menjadi satu-satunya anak perempuan di keluarga besar mereka. Itu artinya perhatian keluarga mereka akan terarah untuknya. Terlebih dia merupakan yang paling muda dan kakak sepupunya Muris sangat-sangat tidak bisa diharapkan dalam banyak hal. Maka tak heran bila paman dan bibinya seperti lebih menyayangi Ella. Bahkan kepindahannya ke Mostar pun, paman dan bibinya yang merencanakannya. Ella takkan ada nyali bila tidak didukung oleh keduanya.
"Baiklah. Kita simpan untuk nanti. Bibimu sudah menunggu dengan tidak sabar di rumah," kata pamannya yang lalu tertawa menyaksikan Ella yang seperti tak mau kalah.
***
"Ah, Ella sayang! Akhirnya kau datang juga!" seru sang bibi. Wanita bertubuh agak tambun itu segera menyeret Ella ke dalam pelukannya begitu melihatnya di depan pintu. Seperti biasa, bibinya memeluknya dengan heboh sehingga rasanya Ella akan terpelanting entah ke sisi kanan atau sisi kiri.
Ella membalas pelukan bibinya. Agak kesusahan dia mencoba mengimbangi bibinya (bukan dalam kekuatan karena sudah pasti bibinya lebih bertenaga darinya). Namun mengimbangi dalam atmosfer yang diciptakan oleh sang bibi.
"Ah, aku sangat merindukanmu, Bibi!" seru Ella sembari memeluk erat-erat punggung bibinya. Wajahnya sampai mengernyit saking bahagianya dirinya.
"Tentu saja kau merindukanku. Kau kan putriku!" balas sang bibi tak kalah bahagianya.
Bibinya itu dari dulu selalu menginginkan anak perempuan. Karena Muris yang lahir dan setelah itu bibinya tak dapat hamil lagi karena kondisi jantungnya yang sangat lemah, jadi Ella lah tempat kerinduan wanita itu bermuara.
Sejak Ella masih bayi bibinya sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri. Bibinya itu kerap mengirimi mainan maupun baju-baju bagi Ella. Saat keluarga pamannya mengunjungi Zenica, bibinya juga selalu membantu dalam merawat Ella. Terlebih setelah ibu Ella meninggal, bibinya benar-benar mengambil peran sebagai ibu bagi Ella agar Ella kecil tak kekurangan kasih sayang.
Ella kecil yang saat itu masih berusia tujuh tahun dibawa ke Mostar dan tinggal bersama keluarga pamannya. Ayahnya akan mengunjunginya di Mostar saat sedang cuti. Semuanya baik-baik saja sampai sepuluh tahun kemudian ayahnya mengalami kecelakaan tunggal saat bertugas.
Mobil yang dikendarai ayahnya terguling karena jalanan yang licin. Akibatnya ayahnya mengalami lumpuh total di lengan kiri dan kaki kirinya harus diseret saat berjalan. Karenanya sang ayah terpaksa harus mengundurkan diri dari kesatuan. Dengan kondisi ayahnya yang seperti itu, Ella pun akhirnya kembali ke Zenica dan tinggal di sisi ayahnya.
Tentu saja Ella bersedih dengan kondisi ayahnya. Namun yang paling menyedihkan baginya adalah kecelakaan itu juga merubah ayahnya menjadi sosok yang tak dikenalnya. Pria yang dulunya penyayang dan ceria itu berubah perangainya menjadi seorang pria dingin dan kasar. Ayahnya jadi tak segan untuk memukulnya.
Ella tahu ayahnya begitu karena mengalami tekanan mental yang sangat hebat. Kondisi fisik yang sudah tak lagi sempurna ditambah dengan statusnya yang pengangguran tentunya sangat sulit untuk diterima oleh sang ayah. Maka Ella menyembunyikan kondisinya setelah beberapa kali babak belur dipukuli ayahnya. Tetapi kabar ini akhirnya sampai juga ke telinga paman dan bibinya. Begitulah bagaimana Ella kembali lagi ke Mostar sekarang.
Untuk sementara waktu Ella merasa harus menghindar dari ayahnya demi kebaikan mereka berdua. Terakhir dia bahkan tak bisa bangun dari kasur setelah dipukuli oleh sang ayah. Saat ini pun masih ada lebam yang tersisa di beberapa bagian tubuhnya dan terasa nyeri saat bibinya memeluknya sedemikian rupa.
Di samping itu, Ella harus bekerja untuk membayar hutang-hutangnya dan ayahnya serta mencukupi kebutuhan hidup mereka. Dia akan mencari kerja di sana setelah ini. Setidaknya Ella beruntung karena masih ada keluarga yang bisa ditumpanginya meskipun dia harus rela tidak melanjutkan kuliahnya selama beberapa tahun ke depan sampai dia punya cukup tabungan untuk itu.