Chereads / His Beautiful Curse / Chapter 9 - Yang Diinginkan

Chapter 9 - Yang Diinginkan

Ella merasakan kehangatan membelai wajah sebelah kirinya. Dia mengerjapkan mata. Nampaknya matahari memilih untuk membangunkannya melalui jemari cahayanya pagi ini.

Masih belum berniat turun dari peraduannya, Ella memiringkan tubuhnya ke kiri. Sekarang wajahnya menghadap langsung ke jendela kamarnya yang semalam sengaja dibiarkannya tanpa tirai. Matanya memandang menembus kaca jendela lalu dia tersenyum. Memang hanya atap-atap apartemen di bawah langit biru yang dilihatnya namun pemandangan itulah yang dirindukannya selama tiga tahun ini. Bisa melihatnya lagi sungguh merupakan pembuka yang baik bagi harinya.

Setelah puas memandang, Ella berguling ke sisi lain kasurnya. Dia mengangkat punggungnya dan duduk di tepian ranjang. Lalu melalui cermin yang menyatu dengan lemari pakaiannya, dia memandang pada bayangan dirinya sendiri.

Helainnya rambut hitamnya acak-acakan di bagian pucuk kepalanya. Matanya masih tampak sedikit sayu. Kedua pipinya yang memiliki sedikit bintik-bintik coklat bersemu kemerahan. Membalut tubuhnya, piyama baby doll vintage berwarna putih gading membuat kulit putihnya menjadi lebih bersinar.

Mungkin penampilannya saat ini memang bukan versi terbaik darinya. Namun secara keseluruhan, Ella menerimanya. Kecuali rambutnya yang berantakan. Bagian tubuhnya yang itu membuat dirinya merasa risih sehingga dia merasa lebih baik untuk mengikatnya saja.

Dengan setengah menunduk, dia mengumpulkan rambutnya ke sisi tengah tengkuknya. Kedua lengannya terangkat dengan tangan kirinya yang memegang rambutnya dan tangan kanannya bergerak memasang kuncir. Saat itulah Ella menyadari bila ada sesuatu yang terlepas darinya.

"Gelangku!" serunya. Bergegas dia mencari-cari di atas kasur. Tak menemukannya, dia menyibak selimutnya. Tak ada juga, dia mulai mencari ke sekeliling ranjang kalau-kalau gelangnya itu terjatuh.

Ella menghembuskan nafasnya dengan mimik muka kecewa ketika akhirnya dia tak berhasil menemukannya. Dia benar-benar menyukai gelang itu dan harus kehilangannya dalam semalam.

"Ke mana kira-kira jatuhnya?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Tanpa disadarinya, semalam saat dia tidur sesuatu yang ghaib terjadi pada dirinya. Gelang berbatu merah delima tersebut berpendar dengan cahayanya yang merah keunguan.

Semakin lama cahaya itu semakin terang dan bersulur. Di mulai dari lengan kanannya, sulur-sulur tersebut merambat melingkupi seluruh tubuhnya dengan gerakan melingkar bak sepasang manusia yang sedang berdansa. Gelangnya lalu pecah dan cahaya yang melingkupi tubuh Ella pun menghilang, tersedot masuk ke dalam jantungnya.

Tubuh Ella terlonjak saat prosesi terakhir itu terjadi. Dia pun sempat melenguh karena sengatan yang tiba-tiba terasa pada jantungnya. Namun dia tetap terlelap. Tepatnya, dibuat terlelap oleh kekuatan apapun itu yang kini bersemayam dalam tubuhnya.

***

Pagi itu dimulai Ella dengan membantu bibinya menyiapkan sarapan. Setelah menyeduh teh, dia mulai meletakkan satu per satu menu sarapan mereka ke meja makan.

"Suasana rumah ini jadi hidup kembali karena kedatanganmu," ucap sang bibi dengan senyum tulus penuh kasih sayang.

"Aku juga semakin hidup karena berkumpul dengan kalian lagi," balas Ella sambil memeluk pelan leher bibinya.

Bibinya menepuk-nepuk punggungnya. "Bagaimana tidurmu?" tanyanya setelah Ella melepaskan pelukannya.

"Nyenyak untuk pertama kalinya setelah tiga tahun. Aku benar-benar merindukan tempat ini," jawabnya diikuti dengan senyum yang terkembang.

"Tidak ada yang tidak merindukan rumahnya, Ella," sahut pamannya yang baru saja memasuki rumah. Pria itu tadi keluar sebentar untuk membeli gula pasir yang kemarin lupa dibelinya dari toko ayah Sila.

"Tentu saja, Paman," Ella menyetujui. Teringat akan kakak sepupunya, dia lalu bertanya, "Apa Kak Muris akan pulang hari ini?"

"Ya. Dia tadi menelepon. Memberitahu kalau sudah memasuki Mostar. Mungkin sepuluh atau dua puluh menit lagi akan sampai," terang pamannya.

"Kalau begitu kita akan menunggunya," ucap Ella yang sebenarnya lebih ke meminta persetujuan.

Bibinya lalu mengibaskan tangan kananya. "Tidak usah. Paling dia juga akan melewatkan sarapannya seperti biasanya," tolak sang bibi.

Ella memandang bingung pada pamannya. Mencari tahu apakah pamannya itu juga memiliki pemikiran yang sama dengan bibinya.

Sang paman tersenyum lembut sambil menganggukkan kepalanya. "Duduklah. Mari kita sarapan," kata pria itu.

Akhirnya mereka memulai sarapan tanpa menunggu Muris. Sebenarnya Ella merasa tak tega dan tak enak hati pada kakak sepupunya tersebut. Namun karena paman dan bibinya memilih untuk tidak menunggu Muris, Ella jadi sungkan untuk menolaknya.

Tak lama, suara bel yang ditunggu pun tiba. Ella yang antusias menyambut kedatangan Muris hendak berdiri untuk membukakan pintu. Namun dicegah oleh bibinya.

"Kau lanjutkan sarapanmu. Biar aku yang membukanya."

Ella tidak membantah karena setelahnya sang bibi berjalan meninggalkan meja makan sambil mengomel kembali mengenai hobi berjudi Muris dan uang yang dihabiskannya untuk itu.

***

"Safan, Bos... Kita ke rumahku dulu, ya?" pinta Muris saat mobil mereka telah memasuki Mostar.

Safan yang dari tadi terpejam dengan kepala sedikit menengadah menjawab, "Tidak."

Muris menekuk wajahnya. Dia sudah menduga kalau Safan akan menolaknya. Bosnya itu memang tak pernah mau diajak ke rumahnya. Namun Muris tidak tersinggung karena pada kenyataannya Safan memang tidak suka ke manapun dan terkesan menjauh dari kehidupan sosial.

"Kau di mobil saja. Biar aku yang turun ke rumah. Setelah itu aku akan mengantarkanmu pulang," Muris mencoba menawar.

"Tidak," Safan tetap pada penolakannya. Tujuannya hanya rumahnya dan dia tidak ingin mampir ke manapun. Sudah cukup kepulangannya tertunda selama satu malam karena mobil butut Muris.

Waktu Safan sudah semakin menipis. Sebentar lagi akan memasuki hari pertama musim gugur dan Safan harus mempersiapkan dirinya untuk itu.

"Tapi aku sudah kebelet!" rengek Muris dengan kakinya yang mulai tremor.

"Aku tidak peduli. Kau harus mengantarku dulu," Safan tidak mau tahu.

"Rumahmu lebih jauh dari rumahku. Apa kau ingin aku kencing di sini saat ini juga?" Muris berseru kesal.

Safan membuka kedua matanya. Dia menghela nafas. Kemungkinan bila Muris akan kencing di tempat sangat mengusiknya. Tepatnya, membuatnya jijik.

'Pagi-pagi dia sudah merepotkanku dengan pipisnya!', rungutnya.

"Baiklah," Safan terpaksa menyetujuinya. Pasalnya tubuh Muris saja baunya sudah tak karu-karuan, apalagi kotoran yang keluar darinya. Bisa-bisa identitasnya sebagai vampir ketahuan saat dirinya berusaha melarikan diri dari bau tersebut.

'Dasar Muris si manusia bau!', tak lupa Safan mengumpat dalam hati.

Sekarang Muris tampak lebih lega. "Terima kasih, Bos!"

Mobil pun melintasi jalanan di tengah kota Mostar menuju ke arah rumah Muris berada. Awalnya Safan sama sekali tidak tertarik dengan apapun yang dilihatnya. Namun mendekati rumah Muris, indera penciumannya menangkap sesuatu yang asing. Wangi dan sangat menariknya.

Safan menutup kedua matanya. Kepalanya sedikit dia miringkan saat mencoba untuk menghirup aroma tersebut dalam-dalam -- aroma yang tak dapat dicium oleh manusia. Semakin mendekati rumah Muris, semakin kuat aroma tersebut tercium. Ini membuat sesuatu dalam dirinya menggeliat.

'Aroma apa ini?', Safan bertanya-tanya.

Tak lama, sedan butut Muris tiba di depan gedung apartemen tempatnya tinggal. Muris yang sudah tak dapat menahan untuk buang air lalu memarkir mobilnya secara sembarangan.

"Kau tunggu dulu, ya!" serunya pada Safan sebelum menutup pintu mobilnya dengan kencang.

Safan memperhatikan Muris yang berlari tergopoh-gopoh melintasi jalan. Sepasang mata biru keabuannya lantas bergerak memandang pada jendela apartemen di lantai teratas dari gedung yang baru saja dimasuki Muris.

Safan lalu turun dari mobil. Dia memasuki gedung apartemen tersebut dan menaiki tangga dengan langkah yang elegan.

Di lantai tiga -- lantai teratas gedung -- Safan berhenti. Matanya menangkap pemandangan tak biasa di mana seorang penjudi seperti Muris tengah dipukuli oleh seorang wanita paruh baya. Berkali-kali wanita itu membahas mengenai kebiasaan buruk Muris yang tak bisa lepas dari ketergantungan berjudinya.

'Hah, bagus. Hajar saja', Safan mengomentari. Dia menikmati pemandangan di hadapannya itu. Sungguh menggelikan melihat bagaimana Muris terur-terusan meminta ampun pada wanita tersebut.

"Ibu, ampun! Berhentilah memukuliku atau aku bisa kencing di celana sekarang," pinta Muris memelas.

'Ibunya?', batin Safan. Tatapanya lantas terarah pada bagian dalam rumah yang sedikit terlihat. Safan tidak menyangka bila Muris yang bau itu di rumahnya memiliki sesuatu yang diinginkannya saat ini.

"Tuan Safan?" suara ibu Muris mengalihkan Safan.

Safan menoleh. Terfokus pada sesuatu yang berada di dalam rumah Muris membuatnya jadi tidak memperdulikan bila kericuhan antara anak dengan ibu itu telah berakhir.

Muris meringis ke arahnya lalu segera melesat menghilang ke dalam rumah. Pria itu baru saja berterimakasih karena kehadiran Safan telah menyelamatkan dirinya dari amukan lebih lanjut dari ibunya.

Safan tak menggubris Muris. Dia menganggukkan kepalanya kepada sang ibu sebagai tanda hormat. "Selamat pagi, Nyonya," salamnya.

Senyum lebar terkembang di wajah ibu Muris. Lalu dengan ramah dan penuh kehangatan wanita itu mendekatinya. "Akhirnya saya bisa bertemu dengan Anda juga. Ayo silakan mampir, Tuan," katanya menawarkan.

"Kehormatan bagi saya. Terima kasih, Nyonya."

Ibu Muris kemudian membawanya untuk memasuki rumah. Normalnya Safan takkan menerima ramah tamah semacam ini apalagi sampai masuk ke rumah manusia. Tetapi karena dia harus mendapatkan sesuatu yang dinginkannya itu maka Safan menerima tawaran tersebut.

"Ayo masuk saja, Tuan," ucap ibu Muris masih dengan keramahan yang sama. Wanita itu kini sudah berada di dalam rumahnya. Menunggu Safan yang masih berada di ambang pintu.

Safan tanpa ragu melangkahkan kakinya memasuki rumah. Bahkan tanpa perlu ditawarkan pun dia akan melakukannya. Saat ini Safan sedang dituntun oleh instingnya.

Di sana Safan merasakan aroma itu menguar dengan sangat kuat. Bergerak dari satu titik di rumah itu dan mendekat ke arahnya. Membuat sesuatu dalam dirinya semakin keras meronta.

"Bibi, sarapannya..."

Dan gadis itu pun muncul.