"Hei, Irmela gadis sombong! Kau kembali ke Mostar tapi tidak memberitahuku!" suara Sila terdengar galak dari seberang telepon.
Dikatai sombong, alih-alih tersinggung Ella malah terkekeh. "Cepat sekali gosip sampai ke telingamu," dia menanggapi.
Suara 'kriuk kriuk' terdengar. Ella tebak saat ini Sila sedang mengunyah chiki, kebiasaan gadis itu dari dulu.
"Salahkan pamanmu untuk itu. Pamanmu tadi bertemu dengan ayahku di toko," balas Sila santai di antara kunyahannya.
Sila, gadis itu adalah teman Ella sejak SMP. Rumah Sila hanya beda gang dengan rumah pamannya. Ayah Sila dan pamannya saling mengenal karena pamannya merupakan pelanggan di toko sembako milik keluarga Sila.
"Tidak heran," Ella mengomentari. "Padahal aku hendak memberi kejutan pada kalian," akhirnya Ella terpaksa mengaku. Dia lupa kalau pamannya kerap bertemu dengan ayah Sila. Kalau tidak lupa, pasti dia sudah memberitahu pamannya untuk tidak menceritakan tentang kedatangannya.
"Ya, sayang sekali kami sudah tahu," kata Sila.
'Kami' yang dimaksud Sila adalah dirinya dan teman satu geng mereka yang satu lagi. Namanya Mirzeta. Ella juga mengenal Mirzeta di bangku SMP. Namun karena rumah gadis itu agak jauh dari tempatnya, Ella tidak bisa menemuinya seleluasa saat menemui Sila.
"Kalau begitu aku tidak punya kejutan lain untuk kalian," aku Ella. Dia tetap mengedikkan bahu meskipun kini mereka berbicara melalui sambungan telepon biasa, bukan video call.
"Tidak masalah," Sila menanggapi. Suara kecap turut terdengar dari mulutnya. "Kami punya kejutan untukmu."
"Benarkah? Apa?" Ella antusias.
"Cek pesan WhatsApp-mu," suruh Sila.
Tak lama, muncul notifikasi WhatsApp dari atas layar ponselnya. Sila mengirimkan sebuah foto padanya. Ella segera mengunduhnya dan melihat gambar tiket di sana. Tertulis Mostar Summer Festival di atas tiketnya.
"Kami tahu kau tidak suka konser," kata Sila sebelum Ella sempat mengatakan apapun.
Bukan hanya konser tapi Ella tidak menyukai keramaian secara keseluruhan. Berbanding terbalik dengan kedua sahabatnya itu.
"Uh, kalian membeli untuk diri kalian sendiri!" Ella protes.
"Dasar gadis tidak tahu berterimakasih! Apa kau tahu betapa susahnya mendapatkan tiket itu di saat mendadak begini? Atau kau lebih baik diam di rumah seperti nenek-nenek ketika kami pergi bersenang-senang?" cecar Sila. Kata-katanya meluncur begitu cepat. Ella yakin pasti saat ini chiki yang tengah dikunyah oleh Sila sudah tersembur kemana-mana dari mulut gadis itu.
"Nenek-nenek palamu!" seru Ella sewot. Di seberang sana, Sila tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
"Tapi aku benar, kan? Anak muda seperti kita seharusnya menikmati hidup," celetuk Sila mengejek Ella.
"Baiklah aku akan ikut bersama kalian. Setelah makan malam nanti jemput aku," putus Ella yang kesal dikatai seperti nenek-nenek.
Suara tawa Sila kembali terdengar. Kemudian dengan semangat berseru, "Okay, Bestie!"
***
Ella mengumpulkan semua rambutnya melalui tengkuknya. Setelahnya dia membawa rambut hitam panjangnya melewati sisi kiri lehernya dan mulai menyisirnya. Anak rambutnya yang saling bertautan satu sama lain pun sedikit demi sedikit mulai terurai.
Sambil menyisir, sambil dia memikirkan mau diapakan rambutnya itu. Akan dikuncir ekor kuda kah, dikepang tungal kah, atau dibiarkan terurai saja kah?
Berkali-kali sisirnya bergerak dari pucuk kepala hingga ujung rambutnya, Ella tak kunjung menemukan jawabannya. Akhirnya dia memutuskan untuk mengurai rambutnya saja.
Rambut hitam lurusnya itu kemudian dia bawa kembali ke belakang dan tersibak turun melewati punggungnya. Tidak terlalu panjang, hanya sebatas dada. Tetapi terlihat sangat cocok dengan blus lengan balon berwarna gading dan celana jeans high waist yang dikenakannya saat ini.
Sepasang mata hitamnya memandang pada pantulan dirinya di cermin. Semuanya sudah sempurna. Ella terlihat seperti gadis-gadis seumurannya dengan bedak tipis di wajahnya dan lipcream berwarna nude yang hanya setingkat lebih gelap dari warna bibirnya. Selain itu, dia tidak memoles apapun di wajahnya.
Bukan karena tidak mau. Seperti halnya perempuan pada umumnya, dia pun tertarik untuk merias wajahnya secara keseluruhan. Tetapi karena dia akan keluar malam hari, lebih aman baginya untuk menjaga penampilannya agar tidak terlalu mencolok. Dia khawatir kalau akan ada yang memandangnya seperti tante-tante atau bahkan wanita panggilan. Meskipun secara keseluruhan dunia bukan merupakan tempat yang aman namun malam hari tingkat ancaman lebih meningkat bagi perempuan. Bukankah begitu?
Dari dulu Ella selalu menghindari untuk keluar malam-malam kecuali bila terpaksa. Atau ketika ada temannya seperti saat ini barulah dia mau. Mungkin karena selama ini dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup konservatif sehingga dia terlihat lebih kuno dibandingkan dengan anak-anak seusianya.
Masih berdiri di depan cermin, Ella melihat bayangan ponselnya yang berada di atas kasur menyala diiringi oleh dering panggilan. Buru-buru dia berbalik dan meraih benda tersebut. Muris meneleponnya.
"Ya, Kak. Ada apa?" tanyanya segera setelah mengangkat teleponnya.
"Ibu bilang kau akan pergi ke Summer Festival?" Muris meminta konfirmasi.
"Ya. Bersama Sila dan Mirzeta, Kak," dia memberitahu. Sudah hafal dengan sifat Muris yang protektif itu.
"Naik apa?"
"Naik bis, kak."
"Baiklah. Jaga dirimu. Jangan pulang terlalu larut," pesan Muris.
"Jangan khawatir, Kak," jawab Ella sambil tersenyum.
"Ya sudah. Aku tutup dulu, ya? Bosku resek."
Telepon terputus.
Mendengar Muris menyebut bosnya tadi, dalam hati Ella refleks mengulang nama pria itu.
Safan.
Nama pria itu tidak hanya terdengar indah namun juga maskulin di telinga Ella. Membuatnya penasaran akan bagaimana rupa pemiliknya.
Selama ini Ella hanya tahu bila Muris kerja sebagai supir yang meskipun bosnya tidak ada di Bosnia selama setahun pun gajinya tetap dibayar. Tetapi melihat rupa bosnya Muris, jangankan Ella, paman dan bibinya pun juga belum pernah.
Kata bibinya, beberapa kali mereka ingin mengundang Safan untuk makan malam di rumah. Sayangnya belum pernah terlaksana. Safan selalu sibuk. Masih dari bibinya, Ella tahu bila Safan yang berprofesi sebagai cybersecurity engineer itu selalu diperebutkan oleh perusahan-perusahan besar mancanegara. Hari ini pun pria itu baru saja pulang setelah setahun berada di Bulgaria.
'Heh, pasti sibuk sekali', batinnya.
"Ellaaa! Geng kepompongmu sudah datang," suara panggilan bibinya memutus Ella dari pikirannya mengenai Safan.
"Iya, Biii," jawab Ella seraya meraih tasnya. Lalu sambil keluar kamar dia mencangklongkan benda itu ke bahu kirinya.
Di depan pintu rumah, Sila dan Mirzeta sudah menunggu. Keduanya histeris saat melihat Ella lagi untuk pertama kalinya setelah tiga tahun. Ketiga sahabat itupun saling berpelukan dengan tawa dan wajah sumringah.
"Akhirnya aku bisa melihatmu sungguhan! Tidak hanya di video call," ucap Mirzeta seraya melepaskan pelukannya.
"Kau semakin cantik saja," celetuk Sila. "Katakan padaku, apa kau berhasil menemukan pria tampan di Zenica sana?" tanyanya kemudian sambil menyenggol lengan Ella penuh makna.
Ella tersenyum kaku. Teman-temannya itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya di Zenica. Mereka hanya tahu Ella pindah karena ingin tinggal bersama ayahnya.
"Kalau ada aku pasti takkan kemari," jawab Ella asal.
"Hah, benar juga. Kalau begitu cari di sini saja. Pria -pria di Mostar juga tak kalah tampan," kata Sila sambil cekikikan.
"Ee sudah, ayo. Kenapa kalian jadi membahas lelaki? Konsernya akan mulai," Mirzeta mengingatkan.
Setelah berpamitan dengan paman dan bibi Ella, ketiganya lantas menaiki bis ke lokasi festival diadakan. Jaraknya sekitar 30 menit dari rumah Ella.
Festival yang diadakan setiap musim panas itu tidak pernah tidak ramai. Mayoritas yang datang tentu saja anak-anak muda seperti mereka.
'Tetapi mereka orang-orang yang menyukai keramaian', keluh Ella.
Rasa tidak nyaman langsung menyergapnya begitu dia melihat lautan manusia di sana, tumpah ruah di satu tempat. Hanya karena menghargai temannya dia berada di tempat itu. Itupun tidak bertahan lama karena setelah 20 menit konser berlangsung, Ella memilih untuk memisahkan diri.
Pada sahabatnya, Ella beralasan ingin buang air kecil. Padahal sebenarnya dia butuh mencari tempat yang tenang demi mengambil nafas.
Band ibukota yang dipanggil bahkan tidak dapat menarik perhatiannya. Kadang dia tidak tahu bagaimana bisa merasa cocok dengan kedua gadis yang seleranya berbanding terbalik dengannya tersebut.
'Setidaknya Mirzeta masih memiliki kesamaan dengan Sila', pikirnya sambil menjauhi lokasi konser.
Penuhnya tempat itu membuat Ella harus berjalan lambat mengikuti orang-orang dalam jalur yang sama dengannya. Baginya, ini seperti barisan semut yang merambat di dinding. Ella pun jadi sangsi apakah dia bisa menemukan tempat yang diinginkannya di sana tanpa harus keluar dari area festival.
Ella berjalan sambil sesekali melihat pada stand-stand yang ada di sana. Tak sekalipun dia berhenti meski ada barang-barang yang menarik perhatiannya. Dia enggan berdesak-desakan.
Ella terus melangkah seperti itu sampai barisan yang diikutinya perlahan mengurai. Awalnya dia tidak terlalu memperhatikannya. Begitu menyadari bila suasana semakin sepi, Ella membalikkan badan ke arah datangnya. Dia mengedarkan pandangannya. Nampaknya orang-orang sudah terdistribusi pada stand-stand di sana. Dia pun merasa lega.
Tepat saat dia berbalik, hendak melanjutkan langkahnya, matanya menangkap sebuah stand yang berada paling ujung. Stand itu lumayan terpisah dengan stand lainnya dan tidak ada satu pengunjung pun yang meliriknya. Melihatnya, Ella merasa iba. Terlebih karena penjualnya adalah seorang kakek tua yang sepertinya berusia sekitar 70 tahunan. Ella pun tergerak untuk mendekatinya.
"Selamat malam, Nona. Silakan aksesorisnya. Semuanya buatan tangan," sapa kakek itu ramah saat Ella tiba di hadapannya. Senyum terulas di wajahnya.
Ella membalas senyum kakek itu. "Selamat malam, Tuan. Boleh saya lihat-lihat dulu?"
"Tentu saja, Nona. Kita memang harus mencari untuk menemukan yang tepat, bukan?" kata pria tua itu penuh makna -- sesuatu yang tak disadari oleh Ella.
Sepasang mata hitam Ella kemudian mengamati barang-barang yang dijual oleh si kakek. Melihat begitu cantiknya semua aksesoris itu, Ella tidak tahu bagaimana orang-orang bisa melewatkan stand tersebut.
Tangannya lalu terulur. Hendak meraih sebuah jepit rambut berwarna emas dengan hiasan mutiara di atasnya. Dia memperhatikan bagaimana elegannya jepit rambut itu yang akan mempercantik penampilan dirinya.
"Selera Anda bagus sekali, Nona. Mata Anda jeli dalam melihat hal-hal yang indah," puji kakek itu.
"Ah, benarkah?" respon Ella malu-malu.
"Ya. Tapi kalau saya boleh menyarankan sesuatu, ada benda yang sepertinya akan sangat sesuai untuk Anda," kakek itu menawarkan.
"Tentu saja. Bisakah saya melihatnya?" Ella tertarik.
Kakek itu kemudian mengambil sebuah gelang. Batu merah delima berbentuk hati menjadi intinya dengan kawat tembaga yang terpilin membentuk badan gelang. Bola mata Ella berpendar tatkala melihatnya. Dia belum pernah melihat sesuatu yang seindah itu sebelumnya. Ella kemudian meletakkan jepit rambut yang tadi dipilihnya dan mengambil gelang tersebut.
"Apa Anda menyukainya?" tanya kakek itu.
"Ya. Sangat cantik," ujar Ella terpukau tanpa melepaskan tatapannya dari gelang dalam genggamannya.
"Secantik hatimu."
Pujian kakek itu tak ayal membuat Ella tersipu.
"Saya akan membelinya, Tuan. Berapa harganya?" putus Ella langsung tanpa berniat untuk mencari yang lain lagi.
"Ini buatan tangan, Nona. Berapapun harga yang Anda pikir layak untuknya, saya akan menerimanya."
Jawaban kakek itu tentu saja membuat Ella tak enak hati. Dia ragu ingin memberikan harga. Khawatir bila akan terlalu murah.
"Tidak perlu risau, Nona. Saya terima berapapun," kakek itu meyakinkannya.
Ella kemudian memberikan uang yang sekiranya pantas untuk benda secantik itu. Si kakek menerimanya dengan senang hati.
"Terima kasih, Nona. Saya akan menganggapnya sebagai kebaikan hati Anda."
"Terima kasih kembali, Tuan. Gelang ini benar-benar indah," Ella kembali memuji sembari mengenakan gelang tersebut di pergelangan tangan kanannya. "Selamat malam, Tuan," salamnya sebelum meninggalkan tempat itu.
"Selamat malam, Nona."
Ella lantas berjalan ke arah dia datang tadi. Keinginannya untuk mencari tempat yang tenang tiba-tiba lenyap. Yang dipikirkannya saat ini adalah betapa cantiknya gelang itu bertengger di pergelangan tangannya. Matanya tak henti-hentinya memandanginya.
Tanpa disadari Ella, kakek itu memandang punggungnya, mengikuti kepergiannya. Senyumnya yang merefleksikan kelegaan sekaligus kegetirannya terulas.
"Ah, Mina... Putrimu sudah tumbuh sebesar itu rupanya."