"Ehm ... maaf, Mas. Omongan saya mungkin agak ngelantur."
Melihat ekspresi melongo Krisna membuat Vika buru-buru meminta maaf. Sedikit, ia merasa tak enak juga.
"Nggak usah dilupain ya?"
Eh?
Krisna mengerjap. Begitu pula dengan Vika. Lagi! Ia segera meralat perkataannya.
"Maksudnya nggak usah dipikirin. He he he he."
Krisna meringis. "Aaah! Iya iya iya. Nggak bakal saya pikirin kok."
Tentu saja. Lagipula seperti Krisna tidak ada hal lain saja yang bisa ia pikirkan ketimbang memikirkan perkataan Vika. Terlebih lagi sebagai asisten pribadi Arjuna tentu saja ada banyak hal yang bisa menjadi pikirannya.
'Bahkan kalaupun dia nyuruh aku mikirin omongan dia ... aku juga ogah. Mending aku mikir ikan itu sebenarnya tidur atau nggak?'
Kali ini Krisna berniat untuk segera beranjak dari sana. Khawatir bila Vika mengatakan hal aneh lainnya. Sungguh. Mendadak teringat perkataan Arjuna membuat ia jadi was-was pula pada cewek itu.
'Kasihan. Padahal kelihatan seperti normal, tapi ternyata nggak.'
Krisna meraih tas kerjanya. Bangkit dan berencana untuk mengucapkan permisi pada Vika. Tapi, tangan cewek itu terulur. Menahan tas kerja Krisna yang belum benar-benar terangkat dari meja tersebut.
"Mas, bentar."
Enggan sebenarnya, tapi Krisna tidak punya pilihan lain. Ia tetap mencoba untuk bersabar.
'Yang waras harus sabar ngadepin yang nggak waras.'
Senyum mengembang di wajah Krisna. "Ada apa, Mbak Vika?"
"Ada yang mau saya tanyain, Mas," kata Vika kemudian. "Duduk dulu deh, Mas. Kali ini yang mau saya tanyain memang penting banget."
Krisna membuang napas panjang. Mau tak mau ia akhirnya duduk kembali. Dalam hati ia menggerutu.
'Semoga nggak nanyain yang aneh-aneh deh.'
Duduk kembali, Krisna menyisihkan kembali tas kerjanya. Tetap dalam ekspresi ramah, ia bertanya.
"Apa yang mau Mbak Vika tanyakan?"
Saat itu Vika tidak langsung menjawab pertanyaan Krisna dengan pertanyaan yang sudah ia persiapkan dari tadi. Alih-alih ia memutar pandangan terlebih dahulu. Melihat ke sekeliling. Demi memastikan bahwa tidak ada yang mendengar pembicaraan itu selain mereka berdua.
Krisna menangkap sesuatu yang mencurigakan. Dan itu terbukti tepat setelah Vika melayangkan pertanyaannya.
"Mas, apa benar?" tanya Vika dengan suara rendah. "Katanya gempa itu bentuk kemarahan Mas Arjuna ya?"
Tuntas Vika menanyakan itu maka ekspresi wajah Krisna benar-benar berubah. Tampak memucat seketika. Vika yang menyadarinya langsung teringat akan respon Gendhis tadi.
Astaga. Naga-naganya emang benar ya?
Vika meneguk ludah. Sebenarnya ia tidak ingin benar-benar mendengar jawaban bila itu adalah jawaban yang tidak ia inginkan, tapi Krisna sudah keburu mengangguk. Berikut dengan penjelasan yang membuat bulu kuduk Vika merinding.
"Memang. Dan seingat saya Tuan Arjuna itu orang yang paling sabar dan lembut yang pernah saya temui. Tuan Arjuna itu jarang marah."
Sepertinya Arjuna memang layaknya Arjuna yang terkenal di pewayangan. Berwajah tampak dan memiliki sikap penuh budi pekerti. Marah itu adalah hal yang nyaris tidak pernah ia lakukan.
"Sebisa mungkin Tuan Arjuna itu akan bersabar dan memaafkan siapa pun yang berbuat kesalahan. Dan terakhir kali saya melihat Tuan Arjuna marah hingga menimbulkan gempa adalah ...."
Krisna menjeda sejenak ucapannya. Berusaha mengingat dan itu amat susah lantaran saking jarangnya Arjuna marah.
"Ah! Saat Tuan Arjuna melihat ada seorang bapak yang memukul istrinya. Di jalan saat kami sedang dalam perjalanan ke kantor."
Vika merasa sebulir keringat dingin terbit di dahinya. Tapi, ia mencoba tenang. Berusaha berpikir positif.
"T-tapi, itu kan bisa saja memang gempa bencana alam. Bu---"
"Memangnya gempa bencana alam itu bisa terjadi di tempat bapak itu saja?" tanya Krisna langsung memotong perkataan Vika. "Hanya di tempat bapak itu berdiri. Dan dia langsung amblas ke dalam tanah."
Bukan hanya sebulir, kali ini berbulir-bulir keringat yang terbit di dahi Vika. Bahkan punggungnya pun mendadak terasa basah seketika.
'Astaga. Jangan sampe aku pipis juga di celana.'
Yang dikatakan oleh Krisna memang benar. Bukan kebohongan atau sesuatu yang dilebih-lebihkan. Hanya saja setelah menceritakan itu Krisna lantas terpikir sesuatu.
"Mbak."
Suara Krisna menyentak Vika. Cewek itu sempat menggigit bibir bawahnya yang sudah berubah pula warnanya. Dari pink-pink manja sekarang menjadi pucat-pucat mayat.
"Y-ya?"
Mata Krisna menyipit. Dahinya mengerut ketika kemungkinan yang satu itu melintas di benaknya. Mencoba menampik hal tersebut, tapi ekspresi takut di wajah Vika memberatkan dugaannya.
"Jangan bilang Mbak ngebuat Tuan Arjuna marah."
Wajah Vika tampak benar-benar nelangsa. Bukannya ia takut dengan kemarahan Arjuna. Bukan. Memangnya selama ini siapa sih yang bisa membuat Vika takut? Bahkan ketika ada penagih utang dengan buldoser datang ke rumahnya saja ia dengan lantang menghadapinya. Jadi untuk masalah takut akan kemarahan jelas bukan level Vika lagi. Hanya saja ....
'Kalau aku dipecat gimana? Masa darah udah diisap sekali, eh ... duitnya belum dapat.'
Melihat Vika yang membeku tanpa merespon perkataannya membuat Krisna yakin dengan dugaannya. Sekarang Krisna hanya bisa menggelengkan kepala. Ekspresi wajahnya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata lagi.
"Memangnya apa yang Mbak Vika lakukan sampai membuat Tuan Arjuna marah?" tanya Krisna lagi. "Setau saya Tuan Arjuna itu cowok yang paling sabar."
Vika menggeleng sekali. "Saya nggak tau. Tiba-tiba ada gempa. Mana sudah dua kali lagi."
"Hah?! Dua kali?!"
Mata Krisna melotot dengan amat besar saking syoknya dengan kejujuran Vika. Itu tentu saja semakin membuat Vika nelangsa. Ia mengangguk.
"Astaga. Ini nggak bisa dianggap main-main, Mbak. Kalau sudah dua kali itu artinya Mbak benar-benar sudah menyentil hal sensitif Tuan Arjuna. Coba diingat-ingat dulu apa yang Mbak lakukan sampai Tuan marah. Biar Mbak bisa menghindarinya."
Perkataan Krisna sungguh ampuh membuat ketakutan pemecatan semakin berputar-putar di benak Vika. Lihat saja. Ia sekarang sudah gemetaran sampai ke ujung kaki.
Namun, bagaimana kuatnya Vika untuk berusaha mengingat, ia tidak merasa melakukan satu kesalahan pun.
"Saya benar-benar nggak ada buat salah apa-apa, Mas."
Krisna tentu saja tidak percaya. Terlebih lagi setelah ia tau kalau Vika sedikit gila. Maka Krisna yakin bahwa sebenarnya Vika memang melakukan salah, tapi ia yang tidak sadar bahwa yang ia lakukan adalah kesalahan.
"Seingat saya gempa yang pertama itu di kantor Pak Bobon. Waktu itu saya baru bertemu dengan Mas Arjuna," ujar Vika mencoba mengingat kejadian itu. "Mas Arjuna ngomong sesuatu yang saya nggak ngerti."
Mata Krisna sedikit menyipit. "Apa?"
"Njing njing apa gitu."
Krisna memutar bola matanya dramatis. "Sugeng enjing?"
"Nah!" seru Vika. "Iya. Sugeng enjing. Saya kan nggak tau bahasa itu. Tapi, walau saya nggak tau tetap saja saya muji Mas Arjuna. Saya bilangin dia keren karena bisa bahasa Yunani."
"A-apa?"
"Setelah itu mendadak saja ada gempa di kantor Pak Bobon walau nggak lama sih," lanjut Vika tanpa sadar bahwa Krisna tak bergerak sedikit pun di kursinya. "Dan terus ... pas semalam. Kami ngobrol biasa saja. Terus pas saya minta sama Mas Arjuna untuk nggak pake bahasa Yunani lagi, eh ... ada gempa lagi. Makanya saya heran. Padahal sebelumnya Mas Arjuna udah janji mau nurutin apa pun permintaan saya. Tapi, kok dia malah marah sih?"
Bicara panjang lebar dengan pandangan mata yang tertuju ke langit-langit dalam upaya mengingat, Vika dibuat syok ketika ia melihat pada Krisna kembali. Cowok itu megap-megap dengan kedua tangan yang memegang leher.
Vika panik. Langsung bangkit dan menghampiri Krisna. Cowok itu kesulitan bernapas.
"Mas! Mas!" seru Vika histeris. Bingung dan gelagapan, ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Krisna. Ia tidak ingin menambah daftar masalahnya. "Aduh! Ini gimana?"
Vika memaksa otaknya untuk bekerja. Keadaan Krisna makin lama terlihat makin memprihatinkan. Hingga pada akhirnya ada satu ide yang ia dapatkan.
Vika meraih Krisna. Walau sorot matanya tampak tak fokus, Vika tetap menatapnya. Vika bertekad akan menyelamatkan Krisna.
"Mas, tenang. Saya akan membantu Mas dengan ..."
Senyum penuh arti tersungging di wajah Vika. Tepat ketika ia berkata.
"... ciuman buatan!"
Vika mengerjap.
"Eh! Maksudnya napas buatan!"
*
bersambung ....