Chereads / Tuan Vampir dan Darah Kesayangannya / Chapter 23 - Harusnya Nggak Usah Jujur Deh!

Chapter 23 - Harusnya Nggak Usah Jujur Deh!

"Kamu mau ngapain?"

Satu sambaran dengan cepat meraih tangan Vika. Menyentaknya hingga Vika menoleh.

"M-Mas Arjuna?"

Itu adalah Arjuna. Yang entah kapan dan dari mana datangnya, eh mendadak saja sudah berdiri di sebelah Vika. Dengan dasi yang belum terpasang rapi di lehernya.

Vika mengerjap. Mengabaikan dasi yang longgar itu. Alih-alih ia menunjuk pada Krisna.

"Mas," ujar Vika dengan panik. "Mas Krisna pingsan. Dia nggak bisa napas."

Arjuna menarik Vika. Membawanya untuk sedikit menjauh dari Krisna yang terlihat megap-megap.

"Dia nggak pingsan."

Tentu saja. Mana mungkin orang pingsan masih bisa megap-megap seperti itu. Terlebih lagi dengan tangannya yang berusaha untuk menggapai tas kerjanya.

Arjuna meraih tas Krisna. Mengeluarkan inhaler dari sana dan membantu sang asisten pribadi untuk menggunakannya. Vika yang diam di tempatnya berdiri hanya bisa melihat dengan kedua tangan yang naik di depan dada.

'Oh. Asma toh. Aku pikir kenapa.'

Selang beberapa menit kemudian Krisna tampak pulih seperti sedia kala. Walau wajahnya terlihat lelah, tapi ia sudah bisa duduk dengan punggung yang kembali tegap. Kala itu Arjuna menghampiri Vika. Dengan kedua tangan yang bersedekap di dada, ia bertanya.

"Kamu ngapain Krisna sampe asma dia kambuh?"

Mata Vika membelalak. Tangannya langsung naik dan ia menunjuk hidungnya sendiri dengan raut syok.

"Saya?" tanya Vika tak percaya. "Saya ada ngapain dia, Mas?"

"Mana saya tau. Kan saya nanya kamu. Apa yang sudah kamu lakuin ke dia?"

Vika mendengkus. Decakan samar meluncur dari bibirnya.

"Seolah-olah kayak saya ini cewek yang suka ngapa-ngapain cowok aja," gerutu Vika tampak kesal. "Saya nggak ngapa-ngapain dia, Mas."

Mata Arjuna menyipit. Tentu saja ia tidak percaya.

"Kamu nggak mau jujur?"

"Jujur?" tanya Vika bingung. "Memangnya saya harus jujur apa?"

Tangan Arjuna terangkat. Menunjuk pada Krisna sementara matanya menatap pada Vika.

"Kamu tadi mau melecehkan Krisna kan?"

Vika melotot.

"Kamu tadi mau cium dia kan?"

Mungkin saat ini bola mata Vika akan melompat, alih-alih sekadar hanya melotot.

"W-wah! Mas, saya---"

"Saya nggak tau gimana kehidupan kamu di luar sana," potong Arjuna cepat. "Tapi, saya harap jaga sikap kamu. Rumah ini ada aturan dan tata kramanya. Jangan sembarangan melakukan pelecehan seksual."

Seumur hidup Vika memang sering dituduh gila atau tidak waras. Sudah tak terhitung lagi berapa jumlah tuduhan yang ia dapatkan. Tapi, sumpah! Baru kali ini Vika dituduh melakukan pelecehan seksual.

"P-pelecehan seksual?" ulang Vika dengan napas megap-megap. Sial! Sepertinya ia mendadak kena asma juga. "Siapa yang melakukan pelecehan seksual, Mas?"

Tangan Arjuna yang menunjuk Krisna berpindah. Kali ini beralih pada Vika.

"Bukannya kamu sendiri yang ngomong mau ngasih ciuman buatan untuk Krisna? Padahal dia sesak napas, tapi kamu malah mau ngasih ciuman buatan? Kamu memang tipe cewek yang suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ya?"

Mendengar tuduhan panjang lebar itu Vika mendapati napasnya kian lama kian terasa payah juga. Bagaimana bisa? Arjuna yang bicara tanpa henti, tapi seperti Vika yang kehabisan napas.

"C-ciuman buatan?"

Dahi Vika mengerut mengulang satu kata itu. Sepertinya ia menyadari sesuatu.

"Mas denger omongan kami?"

Arjuna diam. Tidak mengatakan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi, Vika tentu bisa menyimpulkannya.

Vika membuang napas tak percaya. Ia geleng-geleng kepala. Merasa percuma saja bicara bisik-bisik kalau Arjuna nyatanya memiliki kemampuan untuk mendengar apa pun.

"Wah! Mas ada bakat jadi stalker ya?" tanya Vika dengan nada sinis. "Berarti apa pun yang saya omongin bisa Mas dengar dong?"

Mata Arjuna terpejam dengan dramatis. Ia bukannya ingin jadi penguntit. Tapi, memang begitulah kepekaan indranya. Tidak bisa diubah.

"Termasuk kalau saya lagi pipis? Mas juga bisa dengar?"

Mata Arjuna seketika membuka kembali. Melotot melihat Vika dengan wajah yang memerah.

"Ngapain juga saya dengerin suara kamu pipis?"

Vika terkesiap. Syok. "Mas kok tau kalau pipis saya ada suaranya?"

"Kamu," geram Arjuna. Ia harus meralat perkataannya. "Saya nggak ada dengar kamu pipis. Oke? Nggak ada gunanya untuk saya."

Bibir Vika mengerucut. "Kan siapa tau," gerutunya. "Lagipula ... kalau Mas emang bisa dengar omongan saya, harusnya Mas tau kalau saya tadi nggak melakukan pelecehan seksual. Jelas-jelas tadi itu saya salah ngomong. Maksudnya bukan ciuman buatan. Tapi, napas buatan."

Arjuna mendengkus. Di tempat duduk, Krisna yang semakin membaik keadaannya hanya melongo melihat perdebatan itu.

"Mas terlalu fokus dengan ciuman buatannya kan? Sampe mendadak budek pas bagian napas buatan?"

"N-nggak seperti itu."

Vika mencibir. "Nggak mau ngaku. Katanya rumah ini penuh aturan dan tata krama," sindirnya sambil menunjuk Arjuna. "Bohong itu bukan tindakan yang bertata krama loh, Mas."

Wajah Arjuna semakin memerah lagi. Tampak salah tingkah. Hingga ia buru-buru menciptakan alasan.

"S-saya bukannya mendadak budek. Tapi, karena setelah dengar kamu ngomong gitu ... saya langsung lari ke sini. Makanya nggak terlalu kedengaran."

Vika kembali mencibir. "Iya. Kata lain budek itu emang nggak terlalu kedengaran."

Sudahlah. Arjuna harusnya tau bahwa sekarang ia tidak bisa lepas dari tudingan Vika. Ia benar-benar tersudut.

"Saya ngomong apa adanya," pungkas Arjuna. Walau wajahnya tampak salah tingkah, tapi ia dengan cepat memindahkan topik. "Dan saya harap kamu juga mengikuti aturan dan tata krama di rumah ini."

"Jelas-jelas saya nggak ada ngapa-ngapain loh. Saya baik, penuh sopan santun, dan nggak macam-macam."

"Nggak macam-macam? Ehm ... hobi kamu yang mencari kesempatan di dalam kesempatan itu nggak termasuk ke dalam macam-macam?"

Bola mata Vika berputar dengan dramatis. Ia membuang napas dan menghampiri Arjuna.

"Mas, saya kan udah jelasin kalau saya nggak berniat sedikit pun buat macam-macam ke Mas Krisna. Tadi itu cuma salah ngomong aja. Tapi, kok masih aja dibahas sih?"

Arjuna melakukan hal yang serupa. Membuang napas dan mendekati Vika.

"Yang soal Krisna ... mungkin kamu bisa ngelak," kata Arjuna dengan melihat Vika tanpa kedip. "Tapi, gimana dengan yang malam tadi? Pas kita di kamar kamu?"

"Memangnya malam tadi kita ngapain, Mas?"

Vika mencoba mengingat. Tapi, sepertinya tidak ada satu pun yang terjadi di antara mereka.

"Saya nggak sempat ngapa-ngapain, Mas kan? Karena keburu gempa itu datang?"

"Nggak sempat ngapa-ngapain?"

Arjuna merasa harga dirinya sebagai seorang cowok runtuh seketika. Bagaimana bisa Vika mengatakan bahwa dirinya tidak sempat melakukan apa-apa? Sementara yang terjadi justru sebaliknya?

"Kamu lupa kamu megang-megang saya pas ada gempa?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Vika diam. Mencoba mengingat dan lantas pelan-pelan senyum muncul di bibirnya. Senyum malu-malu yang lantas membuat ia melihat pada dada Arjuna. Sontak saja Arjuna menutupi dadanya dengan kedua tangan, lalu sedikit berpaling.

"Ingat?" tanya Arjuna dengan melotot. "Ingat kan?"

Cengar-cengir, Vika angguk-angguk kepala. Deheman samar penuh irama mengalun dari tenggorokannya. Pada saat itu ia melihat pada Krisna yang sudah duduk dengan tegap lagi. Wajahnya tampak berkeringat, tapi selebihnya ia tampak baik-baik saja.

"Ingat, Mas, ingat," angguk Vika. "Nah! Lihat kan? Saya itu bakal ngaku kalau memang semua terjadi seperti yang saya lakukan. Saya ngaku megang-megang Mas malam tadi. Tapi, saya nggak ngaku kalau melakukan pelecehan seksual sama Mas Krisna."

Krisna yang mendengar itu sontak saja merasa sesak lagi napasnya. Buru-buru ia mengambil kembali inhaler yang sempat ia taruh di atas tas kerjanya.

"Ini jelas kasus yang beda, Mas. Dengan Mas Krisna itu saya nggak sengaja. Cuma kelepasan ngomong saja karena panik. Lagian saya nggak mungkin ngapa-ngapain orang sakit," ujar Vika panjang lebar dengan menatap Arjuna. "Beda dengan Mas malam tadi."

Ada yang beda dari cara Vika memandang Arjuna. Hingga membuat Arjuna sebagai vampir yang seharusnya tidak takut pada apa pun justru merasa bergidik hanya karena digerling manja oleh seorang manusia. Memalukan. Tapi, tanpa sadar Arjuna mundur selangkah. Tepat ketika Vika maju dan mencolek dada Arjuna.

"Kalau yang malam tadi saya emang nyari kesempatan dalam kesempitan. Soalnya ..." Vika mengedip-ngedipkan mata. "... Mas keliatan perkasa."

*

bersambung ....