Kalau tidak ingat bahwa situasi saat itu sedang genting, ingin sekali rasanya Vika mengajukan banding pada Bobon. Bagaimana bisa pria paruh baya itu mengatakan hal sedemikian rupa di depan vampir calon majikannya? Tidak bisa dibiarkan. Harkat, martabat dan harga diri Vika jatuh tidak terkira.
Dan Bobon yang paham pun buru-uru menutup mulutnya. Sadar kalau dirinya baru terlepas mengatakan sesuatu yang membuat Vika mendelik padanya.
'Mampus deh. Beneran bakal ngamuk jadi kayak orang gila nih Dek Vika.'
Rasa-rasanya Vika memang mau mengamuk. Tapi, saat ini baik Vika ataupun Bobon sama-sama tau bahwa ada yang lebih penting ketimbang mempermasalahkan soal vonis gila sebelah pihak tadi. Yaitu, Arjuna.
Vika dan Bobon dengan kompak beralih pada Arjuna kembali. Dengan mata yang sama-sama mengobarkan semangat, jelas mereka bertekad untuk meluluhkan vampir itu. Arjuna mundur.
"Saya nggak mau ngambil risiko," lirih Arjuna menatap Vika dan lalu beralih pada Bobon. "Dan Pak Bobon, ini terakhir kali saya menginjakkan kaki di sini."
What?
Vika melihat wajah Bobon yang seketika memucat. Tidak bisa tidak, tentu saja perkataan Arjuna membuat Bobon lemas jiwa raga.
"P-Pak, jangan gitu. Saya mohon. Saya minta maaf untuk yang sudah-sudah. Tapi, percaya sama saya, Pak. Dek Vika ini kandidat darah terbagus tahun ini."
Vika buru-buru mengangguk. "B-benar, Mas. Darah saya darah bagus. Dijamin."
"Nggak," tolak Arjuna. "Saya nggak mau punya makanan simpanan kayak dia. Kalaupun darahnya bagus, tapi dia nggak memenuhi kualifikasi untuk jadi makanan simpanan saya."
"K-kualifikasi?" tanya Bobon bingung. "Dek Vika ini sehat, Pak. Dia juga bersih. Dia---"
"Dia ngomong bahasa krama itu bahasa Yunani!"
Ketika Arjuna menjeritkan hal itu, Vika dan Bobon sontak menutup telinga mereka. Mata mereka pun refleks memejam. Seolah tak ingin melihat bagaimana ruangan itu yang seketika bergetar. Efek dari suara Arjuna yang melengking tak terkira.
Arjuna terengah-engah. Menyadari bagaimana getaran-getaran itu tidak hanya merambati ruangan beserta isi-isinya, alih-alih tubuhnya pula.
"P-Pak."
Bobon memberanikan diri. Walau takut, tapi bayangan komisi yang menghilang jelas lebih membuat ia takut lagi. Terlebih lagi ketika Arjuna mengancam untuk tidak datang ke sana lagi, itu artinya Bobon bisa kehilangan sumber uang dari keluarga vampir ningrat.
"S-saya nggak mau dengar alasan apa-apa lagi, Pak."
Arjuna kembali menolak. Ia menggeleng beberapa kali hingga ia merasa kepalanya berputar lagi. Buru-buru ia bertahan pada meja. Hal itu membuat Bobon segera menghampirinya.
"I-ini bulan keenam, Pak?"
Rahang Arjuna tampak mengeras dan cengkeramannya pada meja menguat. Matanya menatap Bobon tajam. "Bapak senang karena ini baru bulan keenam?"
"M-maaf, Pak."
Vika ingat penjelasan Bobon tempo hari dan segera mengaitkannya dengan percakapan mereka. Tak sulit untuk Vika kemudian menarik kesimpulan. Sepertinya Arjuna keliru memilih makanan simpanan hingga ia terpaksa menjalani puasa selama tujuh bulan.
'Ehm ... pantasan tadi pas aku pegang tangannya kerasa banget lemes. Ternyata ini vampir ningrat kena anemia.'
Mengingat hal tersebut, Vika baru menyadari kejanggalan itu. Harusnya tidak akan sulit bagi seorang vampir untuk melepaskan diri dari genggaman seorang manusia. Seharusnya bila vampir itu dalam keadaan normal.
'Apalagi manusianya kayak aku. Cewek lemah lembut yang tenaganya nggak seberapa.'
Jujur saja, Vika merasa iba juga. Selama tujuh bulan tidak bisa makan pasti akan sangat menyiksa. Itu mengingatkan Vika akan dirinya sendiri yang selalu puasa saat akhir bulan.
"Sebaiknya Bapak istirahat dulu, Pak. Sepertinya Bapak benar-benar lemas," bujur Bobon. "Untuk yang terjadi hari ini kita bicarakan nanti saja, Pak. Yang penting Bapak bisa pulih terlebih dahulu."
Sebenarnya itu memalukan. Tapi, layaknya makhluk lainnya, vampir yang terkenal superior pun masih memiliki masa di mana mereka bisa lemah. Terutama bila itu menyangkut puasa selama berbulan-bulan lamanya.
Arjuna mengangguk. Berusaha untuk berdiri dengan tegap lagi, ia tidak ingin terlihat benar-benar lemah di hadapan manusia biasa. Tapi, nahas. Ketika ia baru saja menguatkan pijakannya, mendadak saja Vika muncul di depan matanya.
"Astaga."
Jangankan Arjuna, Bobon saja sampai kaget mendapati Vika yang datang tiba-tiba.
"Ngapain lagi kamu?"
Vika tersenyum. Kedua tangannya saling meremas satu sama lain dalam gestur menggoda. "Mas lemes ya? Karena puasa darah berbulan-bulan?"
Tidak menjawab pertanyaan Vika, Arjuna justru melirik Bobon dengan sorot tajam. Pria paruh baya itu sontak meneguk ludah. Ketar-ketir seketika.
"D-Dek Vika---"
"Karena Mas lemes ...," ujar Vika memotong perkataan Bobon. Ia tak peduli bagaimana wajah Bobon yang semakin memucat. "... gimana kalau Mas isap darah saya aja?"
Arjuna tak bereaksi. Tapi, Vika tidak menyerah. Ia tau bahwa ini adalah satu-satuya kesempatan yang ia miliki. Tidak akan biarkan lepas begitu saja.
"Seperti yang saya bilang, Mas. Darah saya itu manis. Bahkan sirup cocopandan dan senyum Maudy Ayunda kalah manis kalau dibandingkan dengan darah saya."
Arjuna memejamkan mata. Mengatupkan mulut rapat-rapat dan rahangnya tampak mengeras.
"Pak Bobon."
Irama dari suara Arjuna membuat Bobon bergidik. Itu peringatan, tentu saja. Bobon paham.
"Mari kita pergi, Pak."
Vika tidak akan membiarkannya. Ia mengadang jalan dan merentangkan kedua tangannya. Saat itu, kaki Arjuna kembali goyah. Senyum pun tersungging di wajah Vika.
Mendekati Arjuna, Vika tampak mengusap lehernya berulang kali. Dengan teramat sengaja memberikan godaan pada vampir yang tengah lemah.
"Mas beneran nggak mau nyoba ngisap darah saya? Ehm ... saya itu beneran sehat lahir batin. Saya nggak ada kelainan dan nggak mengonsumsi narkoba. Dijamin deh darah saya itu halal dan menyehatkan."
Mata Bobon terpejam dramatis. Dalam hati mau tak mau ia akhirnya sependapat dengan Arjuna.
'Kayaknya Dek Vika ini memang ada kelainan deh. Kelainan otak tepatnya.'
Namun, itulah yang namanya penyesalan. Pasti selalu datang terlambat. Sekarang Bobon hanya bisa pasrah kalau dirinya kehilangan sumber pendapatan CV terbesarnya. Karena Bobon tau dirinya bukan hanya kehilangan Arjuna. Alih-alih kehilangan satu keluarga vampir ningrat.
Hanya saja di mata Vika hal itu tidak akan terjadi. Ia yakin seratus persen. Arjuna hanya perlu mencicipi setetes darahnya saja untuk menarik kata-katanya tadi.
"Mas belum tau aja rasa darah saya gimana," ujar Vika meyakinkan. "Kalau Mas udah nyicip setetes aja, dijamin. Mas pasti ketagihan."
Arjuna menggeleng. Ingin membalas perkataan Vika, tapi ia merasa tak sanggup. Ia merasa tubuhnya kian lama kian tak bertenaga. Dan itu pastilah karena ia terlepas emosi hingga berteriak di luar kewajaran.
"Tuh kan! Mas udah lemes gini."
Mengabaikan Bobon, Vika menghampiri Arjuna. Meraih tangan vampir itu dan menatap padanya.
"Timbang jadi anemia akut loh, Mas. Mending nih!"
Vika menyodorkan lehernya. Dengan kaki yang menjinjit, ia berusaha menempatkan lehernya tepat di depan mulut Arjuna. Membuat kilat di mata vampir itu berubah. Dan tanpa sadar, Arjuna meneguk ludah.
Reaksi alamiah itu membuat harapan Vika sontak tumbuh. Ia yakin ia masih ada kesempatan. Dan yang perlu ia lakukan kini adalah memberikan percikan-percikan yang bisa menyulut Arjuna.
"Langsung isap aja darah saya!"
Kali ini bukan hanya Arjuna yang tampak meneguk ludah, alih-alih Bobon pun juga. Tapi, ini bukan karena Bobon ingin ikut-ikutan mengisap darah. Bukan. Melainkan karena Bobon tak habis pikir.
'Gimana bisa aku ketemu sama cewek modelan gini ya?'
Karena tentu saja Vika tidak main-main ketika menawarkan lehernya pada Arjuna. Ia bahkan kembali memprovokasi vampir itu.
"Ayo, Mas. Dicoba aja dulu setetes. Kali aja Mas suka. Dan kalaupun Mas nggak suka, tenang. Jangan khawatir," ujar Vika seraya menggerling pada Arjuna. "Saya masih punya stok darah yang lain kok."
Arjuna yang tampak mulai terengah-engah lantaran godaan leher di depan mulutnya, mengerjap. Wajahnya terlihat gelisah.
"D-darah yang lainnya?"
Tentu saja. Tidak ada hal yang lebih menggoda dan menggiurkan bagi seorang vampir selain darah. Dan ketika ada seseorang yang mengatakan dirinya punya stok darah yang lain, tentu saja refleks alamiah Arjuna menjadi tertarik.
Vika mengangguk. "Iya, saya punya darah lain selain darah di leher ini," jawabnya dengan tersenyum lebar. "Yaitu, darah menstruasi dan darah perawan."
"Huuuk!"
Bobon langsung menyingkir dari sana dan terbatuk-batuk. Sementara Arjuna terlihat megap-megap. Hanya Vika yang tampak biasa-biasa saja melihat bergantian pada Bobon dan Arjuna. Ia melirih pelan.
"Yang aku bilang kan bener."
Kembali pada Arjuna, Vika mendapati vampir itu berusaha untuk melepaskan diri darinya. Dan itu membuat Vika sedih. Dorongan Arjuna terasa lemah sekali.
"Mas, yakin nggak mau nyoba darah aku? Darah yang mana aja boleh deh dicoba dulu."
Arjuna menggeleng. Bahkan untuk membalas perkataan Vika pun sekarang ia sudah tidak mampu lagi. Tubuhnya benar-benat tak bertenaga.
'A-aku harus pulang sekarang. A-aku udah nggak sanggup lagi.'
Berusaha untuk pergi dari sana, Arjuna mendapati tangan Vika memegangnya dengan amat kuat. Ia ingin mendorong cewek itu, tapi Vika kembali menyodorkan leher tepat di depan mulutnya.
Mata Arjuna berkilat. Ia berusaha menahan, tapi makin lama dorongan alamiah itu makin kuat. Dengan udara yang kemudian bergerak membawa aroma samar itu masuk ke indra penciumannya, Arjuna mendapati bagaimana tubuhnya merespon di luar kendalinya.
Taringnya terasa gatal. Perlahan muncul menampakkan diri. Dan di depannya, Vika yang tak menyadari perubahan itu, tampak santai dan tanpa beban masih menawarkan lehernya.
"Nih, Mas. Gigit aja. Isap aja. Dijamin kok kalau Mas ntar ba---"
Perkataan Vika menggantung di udara. Matanya mengerjap gamang beberapa kali. Ada rasa dingin yang mendadak menjalari tubuhnya. Sontak ia menahan napas dan tangannya yang memegang Arjuna berubah menjadi mencengkeram pria itu.
"M-Mas."
Suara Vika terdengar putus-putus. Tepat ketika ia merasakan satu tangan Arjuna lepas dari cengkeramannya dan lantas ia mendapati pinggangnya ditarik. Membuat ia mendarat seketika di dada Arjuna.
Sensasi dingin makin kuat terasa. Berasal dari lehernya dan merambati tiap sisi tubuh Vika. Menghadirkan degupan yang membuat jantung cewek itu kian terpacu seiring dengan desir yang perlahan meninggalkan dirinya. Dan lantas fokus mata Vika memudar.
Tak yakin, tapi Vika merasa hal terakhir yang ia lihat adalah wajah Arjuna yang berubah menyilaukan. Berikut dengan setetes darah yang tertinggal di sudut bibirnya. Setelah itu ... semua gelap.
*
bersambung ....