Chereads / Masa depan yang suram (Dapatkah Aku Mengubahnya?) / Chapter 2 - 2. Menunda Sejenak atau Memutuskan Secara Halus

Chapter 2 - 2. Menunda Sejenak atau Memutuskan Secara Halus

Di desa Pinggirwates di rumah kediaman orang tua Firmansyah. Nampak terlihat kedua muda-mudi duduk berhadapan dengan dipisahkan sebuah meja persegi ditengah mereka, dan seorang lelaki tua berusia 70an (namun masih terlihat bugar) duduk di samping keduanya. Keheningan masih menghinggapi Firmansyah dan Aimee, hingga akhirnya kata-kata Abah memecahkan keheningan itu.

"Jadi sampai di mana perkembangan ta'aruf kalian berdua, le[1] Firmansyah dan nduk[2] Aimee?" Sebuah pertanyaan keluar dari lisan lelaki tua yang mengenakan sarung dan atasan baju Koko.

"Entahlah Abah, mas Firmansyah belum juga memberikan kejelasan", sahut Aimee kepada Abah.

"Aku masih ingin menata hati dulu Abah, terlalu riskan rasanya bila terlalu terburu-buru untuk memberikan kepastian", tukas Firmansyah menanggapi perkataan Aimee, sekaligus menjawab pertanyaan Abah sebelumnya.

"Maksudnya bagaimana, le, Abah kok tidak paham?" kata Abah menanggapi pernyataan Firmansyah.

"Mas, kalau sekedar menata hati selama ini aku sudah cukup menata hati dan bersabar!", "Sebenarnya kamu ini serius tidak sih, mas, dengan hubungan kita berdua?!" Kata-kata Aimee yang berapi-api seketika membuat Firmansyah terkesiap, sekaligus agak naik pitam. Sejenak dia memandang gadis berhijab, yang juga jodoh pilihan abahnya itu.

Sambil meraih segelas kopi hitam di meja di depannya dan menyesap cairan hitam itu perlahan (untuk menghilangkan rasa gugup), Firmansyah menghembuskan nafasnya perlahan bersamaan dengan menaruh gelas kopinya di atas meja.

"Le, Abah harap kamu bisa bersikap tegas sebagai seorang lelaki, jangan bersikap yang seolah-olah hanya memberikan harapan kosong kepada calonmu," kata Abah tiba-tiba yang membuat Firmansyah tidak jadi menanggapi langsung perkataan Aimee.

"Maaf sebelumnya Abah dan dik Aimee, sebenarnya aku sudah berusaha untuk serius sejauh ini", "Bahkan aku sampai rutin bermalam setiap Sabtu dan Ahad di asrama santri Yayasan Mahmudiah di Kota Somarata di Utara Kali Besar, dan juga ikut sholat malam di masjid Yayasan. TAPI, AKU TETAP TIDAK MENDAPATKAN PETUNJUK UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN!" Kata-kata Firmansyah yang semula berintonasi datar dan perlahan meninggi membuat suasana hening itu pecah.

Abah terlihat cukup terkejut dengan nada bicara Firmansyah, sementara itu Aimee tampak menangkupkan kedua telapak tangannya kemuka terisak tertahan.

"LAGIPULA BUKANNYA ABAH SENDIRI TAHU, BERAPA BESARAN BISYAROH[3] YANG AKU TERIMA SELAMA DI YAYASAN? ITUPUN SETIAP MENDEKATI AKHIR BULAN AKU TERPAKSA MENERIMA BANTUAN KEUANGAN ABAH." Sambung Firmansyah lagi, melanjutkan perkataannya.

"Le, Firman, dalam urusan perjodohan apalagi menyangkut pernikahan, harta tidak bisa dijadikan patokan utama", "Abah menganggap dirimu sudah dewasa, jadi bisa menentukan sendiri langkah apa yang harus diambil selanjutnya. Dan untukmu, nduk Aimee, maaf Abah tidak bisa begitu saja memaksakan kehendak kepada Firmansyah agar segera memberikan jawaban kepastian meskipun dia anak kandung Abah." Kata-kata Abah yang tegas cukup meredakan suasana yang sempat tegang.

"Tapi Abah, sebelumnya mas Firmansyah sudah menjanjikan waktu tiga bulan untuk memberikan jawaban mengenai kepastian dalam ta'aruf ini dan hari ini sudah tepat tiga bulan berlalu," "Salahkah kalau misalnya saya sekedar meminta jawaban yang sudah dijanjikan?" Pertanyaan Aimee Kembali menyudutkan Firmansyah, yang seolah membeku seketika.

"Iya bu, ini aku masih berada di rumah Abah Guru," "Ini juga ada mas Firmansyah, disini," tanpa disadari oleh Firmansyah ternyata Aimee sedang melakukan video call dengan ibu kandungnya lewat gawai miliknya. Nampaknya Aimee berusaha memperlihatkan kepada ibunya keadaan di tempatnya sekarang.

"Assalamu'alaikum, apakabar ibu, sehat-sehat saja ya?" Kata Firmansyah dalam Bahasa Jawa, mencoba menyapa dengan ramah kepada sosok Wanita sepuh di gawai Aimee.

"Alhamdulillah, masih sehat walafiat nak Firman," sahut ibu Aime dalam Bahasa yang sama.

"Assalamu'alaikum, bu, maaf belum bisa silaturrahim kesana," kata Abah kemudian diiringi derai tawanya yang khas. Seolah menyambung perkataan Firmansyah.

Selanjutnya terjadi obrolan pribadi antara Aimee dengan ibu kandungnya lewat video call itu, yang pada intinya meminta Aimee untuk segera pulang kerumah menemani ibunya. Dikarenakan saat ini ibunya sedang sendirian dirumah, dikarenakan kakak lelaki Aimee sekeluarga masih di luar kota.

"Abah, mas Firman, saya ijin pamit dulu pulang ke Sogatan, kasihan ibu sendirian menunggu di rumah," Aimee segera berpamitan dengan tak lupa mencium punggung tangan kanan Abah.

"Hati-hati di perjalanan dik," kata Firmansyah kepada Aimee saat keduanya bersalaman. Reaksi Aimee terlihat dingin, meskipun berusaha tersenyum.

"Kalau diperbolehkan, saya ingin sekalian sowan dan sekaligus berpamitan ke ibunya mas Firman, bisakah Abah?"

"Sebaiknya lain kali saja, nduk, Nyai[4] sedang kurang enak badan seharian ini masih beristirahat."

Sejurus kemudian nampak di halaman rumah kediaman Abah Sumarta, orang tua kandung Firmansyah, kedua ayah-beranak itu sedang mengantarkan kepergian Aimee. Gadis berhijab itu, Aimee perlahan meninggalkan halaman rumah dengan melajukan motornya. Sesaat setelah kepergian Aimee, Abah Sumarta dan Firmansyah saling bertatapan mata untuk beberapa detik diikuti tarikan nafas panjang keduanya. Sebuah fenomena khas, kecanggungan diantara lintas generasi. Sementara itu tanpa terasa, cahaya mentari senja semakin meredup, perlahan terbenam di ufuk barat.

***

[1] Le atau Thole panggilan umum untuk seorang anak lelaki dalam budaya masyarakat Jawa.

[2] Nduk atau Genduk panggilan umum untuk seorang anak perempuan dalam budaya masyarakat Jawa.

[3] Upah atau gaji, istilah yang biasa dipakai dikalangan pesantren.

[4] Sebutan lain untuk istri (Bhs. Jawa).