Chereads / Masa depan yang suram (Dapatkah Aku Mengubahnya?) / Chapter 4 - 4. Rahasia di Balik Keluarga Besar

Chapter 4 - 4. Rahasia di Balik Keluarga Besar

Di suatu hari yang cerah di desa Pinggirwates, tepatnya di kediaman Abah Sumarta. Nampak terlihat seorang pemuda dengan bercelana pendek 3/4 dengan telanjang dada, sedang sibuk mengetik pesan di layar gawai miliknya.

"Assalamualaikum, kabar keluarga di Pinggirwates sehat semua dik?" tertulis kalimat di pesan FB miliknya.

"Alhamdulillah, sehat semua mas, cuma ibuk masih belum ada perkembangan yang berarti setelah lumpuh kaki akibat terkena stroke", "Maaf mas Khalif, aku baru membalas pesanmu. Soalnya ini baru saja selesai memberi makanan ayam", balas Firmansyah setelah menyelesaikan ketikannya.

"Aku minta maaf dik Firman, hanya bisa mendo'akan kesembuhan ibumu. Belum bisa berkunjung kesana." Tulis pesan dari mas Khalif.

"Iya mas, terimakasih atas do'anya." Sahut Firmansyah.

"Begini dik, aku mau meralat sesuatu...", "Pada halal-bihalal terakhir kalau tidak salah kau menuliskan nama keluarga kakek kita dengan nama bin Duloh Amir, di lembaran sisilah yang dibagikan kan?" kata mas Khalif lagi lewat pesannya.

"Tapi kan memang sudah begitu seharusnya?" balas Firmansyah lagi.

"Hemmmm, waduh celaka ini. Seharusnya bapakmu sudah menjelaskan hal itu dik, ya sudah diberitahu saja sekarang", sahut mas Khalif lagi. Kemudian secara perlahan dan rinci orang yang dipanggil mas Khalif oleh Firmansyah itu, mulai menjelaskan silsilah keluarga besar kakek mereka (yang Firmansyah sendiri belum sempat menjumpainya, karena ketika dirinya lahir kakeknya dari pihak bapak sudah lama tiada).

"Oh, jadi berarti selama ini kakek kita hanya putra menantu dari Mbah Yai Duloh, begitu mas?" Kata Firmansyah menanggapi penjelasan dari mas Khalif, yang sepertinya masih saudara sepupunya.

"Ya, benar sekali. Jadi semula kakek kita, Mbah Marto Suwignyo adalah seorang guru ngaji di masjid milik Mbah Yai Duloh Amir. Dan kemudian dijadikan menantu, yang kemudian menurunkan bapak-bapak kita dan kita semua", kata mas Khalif mempertegas penjelasannya.

"Lalu mas, tadi sampeyan menyebutkan tentang desa Banjarasri, sebagai tempat asal kakek kita. Memangnya ada peristiwa apa disana? Sehingga kakek kita sampai meninggalkan keluarga besarnya dan memutuskan tinggal selamanya di Pecangaan Lor, bahkan sampai-sampai kebanyakan anak dan cucunya tidak mengetahui detail keluarga besar dari beliau?" kata Firmansyah menanggapi penjelasan mas Khalif dengan pertanyaannya.

"Yah, mungkin nantilah kita berdua ngobrol terkait hal ini, karena bapakmu saja juga tidak terlalu mempedulikan tentang perihal ini," "Okay, sementara begitu saja dik Firman? Nanti kalau ada waktu ku hubungi lagi kau, assalamu'alaikum." Balas mas Khalif dengan ucapan salam diakhir kalimatnya di kolom FB Messanger.

"Oh, okay, baik mas Khalif. Wa'alaikumsalam," sahut Firmansyah yang kemudian menutup aplikasi FB Litenya. Sejenak dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Sepertinya ada yang disembunyikan selama ini oleh Abah," pikir Firmansyah di dalam benaknya.

***

Keesokan harinya ketika mentari sudah lewat sepenggalah, tinggal beberapa saat lagi menunggu waktu adzan dhuhur dari masjid Jami' kota Panaraga. Terlihat seorang pemuda dengan memakai kaos lengan 3/4 putih abu-abu, dipadukan dengan celana hitam pdl, sedang melaju dengan sepeda motor Hondanya. Dia baru saja meninggalkan toko pakan ternak, yang terletak di sebelah Utara masjid Jami' kota Panaraga. Nampak sekali, sarat muatan barang yang dibawanya dengan sepeda motor Hondanya. Karung berisi makanan ayam diatas jok belakang dan beberapa barang lain yang ditaruh di bagian leher motor. Ketika melintasi perempatan tiba-tiba saja ada sesuatu yang melintas tidak terlihat jelas dihadapannya, secara reflek dia pun mengerem mendadak. Yang tidak diduga membuat sebuah sepeda motor yang semula hendak menyalipnya menjadi panik, dan juga mengerem mendadak. Diluar perkiraan, ternyata sebuah mobil dibelakang kedua sepeda motor itupun ikut mengerem mendadak diikuti bunyi klakson yang keras. Begitupun juga beberapa kendaraan dibelakangnya, yang ikutan mengerem mendadak dan membunyikan klakson.

"Hei, mas nggak usah berkendara dulu kalau masih ngantuk!" Tegur pengendara sepeda motor disamping kiri Firmansyah.

"Sepurane[1] mas, tadi kayaknya ada kucing yang melintas makanya saya ngerem mendadak", sahut Firmansyah, "Sampeyan sebenarnya juga salah, nyalip dari kiri (batin Firmansyah)."

"Hoi, ndang mlakuo to bos. Nyapo iki ndadak mandek barang?"[2] seru seorang dari mobil sambil melongokkan kepala keluar. Terlihat dari plat nomor kendaraannya dia berasal dari luar kota.

"Okay, sepurane mas!" seru Firmansyah sambil memindahkan persneling dan menstarter motornya kembali, melaju meninggalkan perempatan yang mulai semakin ramai. Terdengar suara gerundelan dan sumpah-serapah orang-orang mengiringi kepergiannya.

***

Sesampainya di rumah, Firmansyah segera menurunkan semua barang dari motornya. Sambil melepaskan helm berikut masker medis yang dipakainya, dan meletakkan keduanya ditempat biasa. Dia lalu membawa barang bawaannya ke arah bagian belakang rumah, tepatnya di dapur. Firmansyah agak terperanjat ketika melihat secarik kertas bertuliskan sebuah kalimat, yang ditemukannya di dalam karung makanan ayam.

"Jika ingin mengetahui secara lebih jelas, datanglah langsung ke Banjarasri. Kami menunggu kehadiranmu adhimas." Baca Firmansyah dengan lirih, "Siapa orang iseng yang meletakkannya di sini? Sebaiknya aku mendokumentasikannya dulu," katanya sambil memphoto tulisan di secarik kertas itu, lalu melipatnya kecil dan menyimpannya di dalam saku dompet.

"Kapan-kapan akan kukirimkan ke mas Khalif, siapa tahu dia yang bikin gara-gara tapi nggak mungkin dia sendiri yang melakukan hal ini?" pikir Firmansyah di dalam benaknya.

[1] Maaf, dalam Bahasa Jawa logat Jawa Timuran (lazim dipakai di wilayah sekitaran Surabaya dan Malang serta Kawasan Tapal Kuda).

[2] Hei, cepat jalan bos. Kenapa ini mendadak berhenti segala?