Kai mengernyitkan dahinya. Sesekali ia meringis saat memasuki gang sebuah perkampungan di pinggiran kota. Ia pun menyesal saat meminta agar diperbolehkan tinggal di rumah Mili.
"Kau yakin ini jalan ke rumahmu?" tanya Kai meninggi.
"Tentu saja. Kalau bapak nggak suka, boleh pergi sekarang!" jawab Mili dengan santainya.
"Kau ini? Padahal aku sudah bilang, kalau aku akan membayar biaya sewa" imbuh Kai.
Seketika Mili membalikkan badannya dan melirik Kai dengan sadis.
"Hei jangan menatapku seperti itu!"
"Jangan sombong. Mulai sekarang kau bukan Kaisar William pemilik mall itu" ujar Mili sambil menunjuk Kai tepat di depan hidungnya.
Kai hanya menatap Mili datar. "Gila bener. Baru kali ini aku lihat gadis berani seperti dia, apalagi menunjuk tepat di depan mataku. Jika saja aku…arrrghhh ini semua sangat menyebalkan" gumam Kai dalam hatinya.
…
"Bagaimana? Apa ada kabar dari Kai?" tanya Kamelia ibu Kai yang begitu khawatir sejak kepergian Kai.
"Maaf nyonya. Kami belum bisa menemukan Mas Kai"
"Bagaimana kalian ini? Mencarinya dalam kota saja tidak becus!" teriak Lia lantang.
"Untuk apa kau mencarinya?" sahut Alan yang baru saja datang dari kantor.
"Tapi pa, Kai anak kita satu-satunya!"
"Itulah akibatnya kau terlalu memanjakannya. Ia tumbuh dewasa tak tahu diri. Biarkan saja. Anggap saja ini sebuah pelajaran. Anak cengeng itu pasti pulang jika sudah kelaparan"
Alan masih saja marah dengan Kai. Karenanya, Leo papa Alan dirawat dirumah sakit dengan kondisi yang masih buruk. Sementara ini mall yang sebelumnya di pegang oleh Kai, kini Nino lah selaku wakil direktur yang memimpinnya. Sesuai dengan impiannya selama ini, menguasai mall yang diincarnya sejak lama. Leo mempercayakan mall itu kepada Kai, karena dirasa Kai lah yang paling mampu. Namun rumor buruk itu seketika menjatuhkan nama perusahaan. Bukan hanya Mall, namun beberapa perusahaan yang akan bekerja sama dengan Permata Global pun memilih mundur. Hal ini menyebabkan mereka merugi.
…
Kai makan dengan lahap tanpa jeda. Menurutnya nasi goreng yang dimakannya sekarang begitu lezat tak ada duanya. Mungkin karena dirinya kelaparan. Untuk itu semua makanan menurutnya sangat lezat. Mili dan kedua adiknya melongo melihat Kai yang begitu rakus. Bahkan sebakul nasi goreng telah habis di lahapnya.
"Kak Mili, Farel lapar kak" ujar Farel adik Mili dengan menelan ludahnya.
"Salsa juga kak. Kita sengaja tidak makan dari tadi karena menunggu kak Mili datang!" ungkap Salsa cemberut.
"Kai. Kau keterlaluan…adik-adikku juga lapar. Kenapa kau habiskan semuanya?"
Kai melongo menatapi raut wajah mereka yang kelaparan.
"Ma-maakan aku, tapi sudah habis" kata Kai menyesal, ia pun menunjukkan bakul nasi goreng yang sudah kosong itu.
Mili mengambil dompetnya dan memberikan beberapa uang untuk adiknya. "Tenanglah. Farel kau beli saja bakso yang mangkal di depan gang. Belikan juga untuk Salsa!"
Mili menghela nafasnya. Jika saja Kai tak berjanji akan membayar biaya tinggal sebesar 3 juta sebulan. Mili tidak akan membiarkan Kai tinggal di rumahnya.
Mili mengambil handuk bersih dari lemarinya, kemudian melemparkannya ke arah Kai. Namun tidak sengaja handuk itu malah mendarat tepat di kepala Kai.
"Hah??" bibir Mili menganga.
Kai hanya meliriknya kesal. Dan seperti akan siap menerkam.
"Maaf, aku hanya ingin menyuruhmu untuk mandi!"
"Dimana kamar mandinya?" tanya Kai masih kesal.
Mili pun mengantar Kai ke kamar mandi. Akan tetapi Kai begitu syok saat dinding kamar mandi itu hanya separuh. Akan terlihat kepala orang tersebut jika ia pergi mandi. Dengan tubuh Kai yang begitu tinggi itu akan membuat dinding tersebut seukuran dadanya.
"Apa kau tidak salah? Ini kamar mandinya?"
Mili menganggukkan kepalanya. Ia pun tidak menyangka jika akan terlihat sisi dada Kai karena tubuhnya yang sangat tinggi.
"Kalau begitu mandilah. Aku akan pergi. Dan juga aku akan menutup pintu tengahnya, agar tidak ada seseorang yang masuk"
Kamar mandi di rumah Mili memang menyatu dengan dapur. Namun di tengahnya terdapat pintu pemisah antara ruang depan dan dapur. Rumah itu begitu kecil, bahkan hanya ada 2 kamar saja. Sementara Farel dan ayahnya biasa tidur di lantai dengan beralaskan kasur gulung. Kamar pertama dipakai oleh salsa yang masih duduk di bangku SMP itu. Dan kamar kedua, dipakai oleh Mili.
Sebelumya keluarga Mili adalah keluarga yang cukup berada. Mereka memiliki restoran dan beberapa cabang rumah makan. Akan tetapi hobi ayahnya yang bermain judi itu membuat semuanya lenyap tak tersisa. Semua harta dan asetnya habis untuk membayar hutang. Karena hal itu, ibu Mili mengalami serangan jantung dan meninggal dunia. Kini ayahnya menjadi pengangguran. Dan Mili lah yang menjadi tulang punggung keluarga.
…
"Aku mencintaimu Marsha"
Nino mengungkapkan perasaannya di depan gadis yang sudah lama ia cintai. Tak lupa ia mengeluarkan kalung berlian seharga ratusan juta itu untuk menarik perhatian Marsha.
Marsha begitu terharu dengan kejutan yang diberikan Nino. Gadis mana yang akan menolaknya? Nino adalah pria yang tampan, tinggi, dan berkulit putih bersih. Matanya sipit dan memiliki lesung pipi. Tak jauh beda dengan Kai. Akan tetapi, Kai memiliki tubuh yang sedikit kekar dan berotot.
"Kau yakin dengan ini? Tapi aku belum putus dengan Kai?" jawab Marsha sedikit resah. Karena pada kenyataannya, dia adalah kekasih Kai. Akan tetapi sejak rumor buruk tentang Kai tersebar, Marsha pun ingin memutuskan hubungannya dengan Kai. Tentu saja karena Kai sudah tidak memiliki apa-apa lagi.
"Tenang saja. Aku akan menunggumu. Sampai kapanpun itu, yang penting. Kau mau menerima cintaku!" ungkap Nino.
"Oh… so sweet banget sih kamu Nin. Kai saja nggak pernah ngelakuin ini ke aku. Lihatlah, sampai aku nangis terharu" ujar Masha.
Seperti rutinitas biasanya, selain bekerja di Mall. Mili juga merangkap menjadi driver ojek online. Baginya, apapun yang bisa menghasilkan uang akan ia lakukan.
Kebetulan sekali ia mendapat pesanan makanan di tempat yang sama dengan Nino. Mili merasa penasaran saat semua orang terlihat mengarahkan pandangannya pada satu sisi.
"Ada apa sih Vin?" tanya Mili ke kasir yang kebetulan temannya.
"Ada orang melamar kekasihnya. Itu tuh di ujung sana!" tunjuk Kevin teman Mili.
"So sweet banget sih. Andai saja ada pria yang melakukan itu aku. Pasti seneng banget" khayal Mili dengan senyum-senyum tak jelas.
Kevin menepuk helm yang terpasang di kepala Mili. "Pakkk!! Sadar woy, kamu aja galak. Mana ada pria yang mau sama kamu?"
"Ih…kalau nggak galak, pria itu suka seenaknya" ujar Mili mengelak.
"Tapi galak kamu kebangetan Mil, kayak singa dangdut" sindir Kevin diikuti tawanya.
"Ngapain pake dangdut?"
"Kan kamu suka joget-joget nggak jelas!" Ujar Kevin.
"Yeay…itu sih mengikuti alunan musik" kata Mili mengelak.
"Apa bedanya sama joget dangdut?" sahut Kevin lagi.
"Bawel banget sih jadi cowok. Mana pesananku? Waktu adalah uang!"
Kevin pun segera menjumlah pesanan Mili dan memberikan beberapa kotak makanan itu. Ia pun bergumam. "Dasar mata duitan"
"Biarin…wekk!!!" sahut Mili dengan menjulurkan lidahnya seraya mengejek Kevin.
Mili segera melangkah keluar dari tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba ia begitu penasaran dengan seseorang yang melamar kekasihnya. Mili pun bermaksud mencari tahu dan mengintip lewat dinding kaca pembatas ruang VIP.
"Bukannya itu pak Nino ya?" gumam Mili. Tapi ia segera pergi karena menurutnya, itu bukan urusannya.