Sungguh hal yang menyebalkan untuk Kai, tapi bagaimanapun ia sudah berjanji kepada Mili untuk pergi membenahi motornya. Setelah mandi dan sarapan, Kai pergi menuntun motor Mili ke jalan raya. Guna mencari tukang tambal ban. Hal yang baru pertama ia lakukan. Kai memang memiliki motor sport di rumahnya, akan tetapi jika ada masalah, ia hanya menelpon bengkel langganannya, atau menyuruh asistennya. Namun kali ini ia harus berjalan di bawah terik matahari menyusuri jalanan. Karena Kai juga tidak tahu di mana letak tukang tambal ban itu.
"Mas Kai, bukankah itu mas Kai? Apa yang dia lakukan?"
Tiba-tiba sebuah mobil mewah turun memotong jalan Kai. Kai paham jika ia adalah Mario, sekretarisnya. Dengan cepat, Mario turun dari mobil itu dan menghampiri Kai.
"Mas Kai, apa yang anda lakukan. Biarkan saya saja yang menuntunnya!" kata Mario sembari meraih motor matic yang di tuntun Kai tersebut.
"Biarkan Mario. Ini tanggung jawabku"
"Mas, kau sebelumnya tidak pernah melakukan ini. Lihatlah kau tampak sangat kelelahan. Keringatmu mengucur deras. Saya mohon, anda naiklah mobil saja. Biar saya yang melakukan ini!"
Kai menghela nafasnya. Wajahnya mulai pucat, nafasnya ngos-ngosan. Memang benar Kai merasa kelelahan. Namun meskipun wajahnya penuh keringat, Kai tetap terlihat tampan dan mempesona. Mungkin karena ia memang tampan sejak lahir. Jadi tak memungkiri apapun kondisinya, Kai tetaplah tampan. Hal itu membuat beberapa wanita yang berlalu-lalang di trotoar terlihat mengamati Kai dan melontarkan senyum mereka. Tak jarang ada yang memuji Kai secara langsung. Dan hal ini membuat Kai merasa risih.
"Baiklah. Mana kunci mobilnya?"
Mario memberikan kunci mobilnya dan ia menggantikan Kai menuntun motor yang bannya bocor itu. Tak lama kemudian, Mario menemukan tukang tambal ban dan memberikan motor yang ia bawa untuk di perbaiki. Di seberang jalan, terlihat sebuah cafe, dan Kai memarkir mobil di cafe tersebut. Mario segera menghampirinya.
"Mas Kai. Bagaimana kabar anda? Aku sangat khawatir. Pak Leo selalu menanyakan kabar anda, beliau sangat menyesal" papar Mario. Mereka duduk bersantai sembari menikmati dua cangkir kopi.
"Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja!"
"Mas Kai, apa tidak sebaiknya Mas Kai menjelaskan kebenarannya. Agar anda bisa kembali kerumah, dan menempati posisi anda"
"Tidak. Sebelum aku punya bukti tentang kejadian itu. Aku benar-benar tidak mengenalnya. Tiba-tiba saja ia masuk ke lift dan mencengkram lenganku. Lalu dia menciumku bertubi-tubi. Hah…sungguh menjijikkan jika aku mengingatnya"
Mario hanya terdiam menatap tajam wajah Kai. Seperti menyimpan begitu banyak pertanyaan.
"Kenapa kau melihatku seperti itu? Apa kau juga tidak percaya kepadaku?" tanya Kai mulai emosi.
"Bukan seperti itu mas. Sepertinya anda memang di jebak!"
Kai mengernyitkan dahinya. "Dijebak?"
"Kami akan segera mencari informasi tentang wanita itu. Dan siapa dalang di balik peristiwa ini. Mas Kai sekarang tinggal dimana?"
"Aku tidak akan memberitahumu" ujar Kai.
"Aku sangat mengkhawatirkan anda. Percayalah, aku tidak akan memberitahu siapapun" ungkap Mario meyakinkan.
Kai terdiam. Mario yang umurnya beda 3 tahun di atasnya adalah asisten yang sangat setia. Ayah Mario adalah asisten Pak Leo kakek Kai. Dan setelah Kai memegang perusahaan, Pak Leo merekomendasikan Mario untuk jadi kaki tangannya. Mereka seperti saudara, bahkan Kai menganggap Mario seperti kakaknya sendiri. Sebaliknya, Mario menjaga Kai sepenuh hati seperti adik kandungnya sendiri.
"Baiklah. Ikuti aku nanti"
"Apa Mas Kai membutuhkan sesuatu?"
Kai melirik Mario. Sebenarnya banyak yang ia butuhkan, tapi ia kembali mengingat perkataan ayahnya. Kai harus berusaha hidup mandiri. Ia tidak ingin diejek lagi.
"Aku pinjam uang 3 juta saja!"
Mario tersenyum. Baginya uang 3juta sangatlah kecil. Tapi bagi Kai yang sekarang menganggur, ia baru sadar bahwa mendapatkan uang itu sulit. Bahkan Ia hanya mengantongi uang 20 ribu saja untuk ongkos tambal ban, dan itu pun dari Mili.
"Apa Mas Kai bercanda? Untuk apa meminjam kalau hanya 3 juta?"
"Aku pasti akan mengembalikannya jika aku sudah punya uang!" sahut Kai.
Kebetulan sekali, di samping cafe tersebut ada mesin ATM. Mario segera pergi ke sana dan menarik uang.
"Bawa ini Mas Kai!"
Mario menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu, yang jika dihitung bernominal lebih dari 3 juta. Dan sebuah credit card.
Kai meliriknya. Ia tahu jika Mario ingin memberinya lebih. Akan tetapi Kai tetap kekeh pada keputusannya. Ia mengambil uangnya saja dan mengantonginya. Sedangkan credit card dikembalikan kepada Mario.
"Aku tidak mau ini" ujar Kai.
"Apa Mas Kai yakin?"
Tiba-tiba saja tepat di samping mereka terlihat gadis berseragam sekolah menempelkan wajahnya di dinding kaca itu. Tampak ia menekuk mukanya, serasa ingin sekali memakan makanan yang ada di cafe itu. Tiba-tiba saja, pria berseragam SMA menariknya.
"Salsa. Apa yang kau lakukan?"
"Kak. Aku ingin makan di situ, kelihatannya enak"
"Makanan di situ sangat mahal. Uang kakak tidak cukup!" sahut Farel sembari mengeluarkan uang yang tinggal 10 ribu di kantongnya.
"Kalau begitu nanti aku akan minta kak Mili" ujar Salsa yang menelan salivanya.
"Jangan! Jangan minta kak Mili, kasihan dia sudah bekerja keras siang dan malam. Kak Farel janji, jika kakak sudah punya uang, kakak akan mentraktirmu makan di cafe ini. Salsa yang sabar ya!" ungkap Farel sembari mengusap rambut adiknya itu.
"Salsa, Farel. Kemarilah!"
Seketika mereka menoleh ke arah orang yang memanggilnya.
"Kak Kai?" Salsa dengan girang berlari ke arah Kai.
Kai memegang kedua pundak Salsa. "Apa kau ingin makan di sini?"
"Apa Kak Kai punya uang?"
Kai hanya tersenyum. "Masuklah, dan pesan semua yang kau mau!"
Salsa dengan girang masuk ke dalam cafe itu dan memesan makanan dan minuman yang ia inginkan. Namun langkah Kai terhenti saat mendapati Farel hanya berdiri mematung.
"Farel, kenapa kau tidak masuk? Ayo masuklah!" ajak Kai.
"Tidak kak. Aku tidak mau merepotkan kakak. Biar Salsa saja"
"Ayolah tidak apa-apa. Mumpung aku ada uang!" ajak Kai sedikit memaksa.
"Tapi Kak Mili selalu melarang kami untuk menyulitkan orang lain. Ia selalu berjanji untuk menuruti keinginan kami saat dia sudah punya uang"
Kai tertunduk. Lagi-lagi Mili telah membuatnya kagum. Walaupun kehidupannya yang serba kekurangan, Mili mengajarkan adik-adiknya untuk tidak bergantung kepada orang lain, apalagi meminta belas kasihan.
Kai menghela nafasnya. "Aku hari ini ulang tahun. Anggap saja aku mentraktirmu makan"
"Wah benarkah? Jika ini ulang tahun kakak, aku akan merayakannya dengan senang"
Akhirnya Farel masuk ke dalam cafe itu. Ia dan Salsa memakan makanan tersebut dengan lahap. Maklum, mereka belum pernah memakan makanan seperti itu. Kala orang tuanya sukses, mereka berdua masih sangatlah kecil. Farel masih balita, dan Salsa berumur 7 bulan. Kini mereka sudah tumbuh dewasa. Salsa duduk di bangku kelas 2 SMP. Dan Farel kelas 1 SMA.
"Melihat mereka berdua makan. Sepertinya Mas Kai tidak hidup dengan baik" ujar Mario prihatin.
"Seperti itulah keluarga Mili. Tapi aku senang tinggal di sana. Aku mendapatkan kebahagiaan dengan orang-orang terdekat, yang sebelumnya tidak pernah aku dapatkan di keluargaku. Mereka semua begitu penyayang" ungkap Kai dengan mata yang mulai nanar.