Rusdi berjalan sempoyongan. Tubuhnya tak seimbang, bahkan sesekali ia terjatuh akan tetapi masih bisa menyangga dengan kedua tangannya. Bibirnya bersenandung lagu yang tidak bisa terdengar dengan jelas. Yah... begitu lah kehidupannya sehari-hari. Pulang larut malam, dengan keadaan mabuk. Bahkan ia tidak memikirkan kehidupan ketiga anaknya. Ia hanya berjudi dan berjudi tanpa henti. Bahkan hutangnya menumpuk dimana-mana. Hal itu membuat Mili semakin geram dengan kelakuan ayahnya yang semakin menjadi.
"kenapa kau mabuk lagi? apa kurang puas kau menjadi beban di hidupku? aku bekerja keras dari pagi hingga malam untuk menghidupi keluarga ini, berharap kau sadar dan mau meringankan beban ku. Tapi apa yang kau buat, kau semakin menyebalkan. Aku muak, aku lelah. Aku benci punya ayah seperti mu!"
"Mili, pelankan suaramu. Ayah ngantuk!"
"Bruk...!!!" Rusdi pun ambruk di teras depan rumah Mili dan tertidur dengan mendengkur begitu keras.
"Hikz...hikz...!!"
Mili sesenggukan. Terlihat beberapa kali ia mencoba tenang dan mengusap air matanya yang mengalir membasahi pipinya. Semakin lama ia mencoba, semakin deras air matanya berderai. Mili sudah terlalu lelah menjalani kehidupannya yang seperti ini. Ia ingin ayahnya berubah. Tak apa jika ayahnya menganggur, ia akan bekerja keras. Tapi alangkah baiknya ayahnya di rumah dan menjaga kedua adiknya.
Kai melihat semuanya. Melihat peristiwa menyedihkan itu dari balik jendela kaca kamarnya. Benar, kamar Mili yang sekarang di tempatinya. Hatinya begitu sakit. Ingin rasanya ia meminjamkan bahunya untuk Mili bersandar. Akan tetapi Kai tidak memiliki keberanian itu. Dia takut jika Mili membentaknya dan memarahinya.
Kai merasa semakin cemas. "pria macam aku jika membiarkan seorang gadis menangis di depanku. Bagaimanapun Mili, ia hanyalah seorang wanita yang memliki sisi rapuh" batinnya.
Kai memutuskan untuk keluar dari kamar itu. Ia berjalan mendekati Mili yang masih sesenggukan. Kai pun mencoba duduk di sebelah Mili.
"jika kau butuh bahu untuk bersandar. Akan aku pinjamkan bahuku!" ungkap Kai gemetar. Bagaimana pun juga Mili bukanlah wanita dengan tipe umum seperti yang lain. Ia keras, tegas, dan cerewet. Bahkan lebih terlihat sisinya yang sedikit tomboi. Meskipun sebenarnya ia gadis yang begitu cantik, berkulit putih bersih, berambut panjang bergelombang. Namun tak pernah terlihat Mili mengurai rambutnya. Ia lebih suka mengikatnya ekor kuda, memakai celana jeans dan kaos oblongnya.
Mili menoleh menatap Kai. Ia pun meletakkan kepalanya di pundak Kai dengan masih sesenggukan. Entah kenapa Kai merasa jantungnya tiba-tiba berdetak tak beraturan. Dengan keberaniannya ia mengangkat tangannya dan mengusap kepala Mili.
"Kau gadis yang kuat Mili. Maafkan aku yang datang dan hanya membuatmu repot"
"Itu bapak tahu, lantas?" ujar Mili.
Kai kembali membatin dengan kesal. "Dasar gadis ini kenapa begitu berterus terang?"
"Jadi sebenarnya kau keberatan jika aku menumpang di sini?" tanya Kai memastikan.
Mili pun mendongakkan kepalanya, karena posisi Kai yang memang lebih jenjang darinya. "Kalau benar begitu, aku sudah mengusir bapak dari kemarin"
Tiba-tiba Mili berdiri.
"Kau mau kemana?" tanya Kai.
"Ngojek!" jawab Mili singkat. Ia pun masuk kedalam rumahnya dan meraih jaket ojeknya.
"Kau mau mengantarku?" tanya Kai.
"Kemana? bapak berani bayar berapa?" tanya Mili.
"Dasar mata duitan" batin Kai mencoba sabar menghadapi gadis di depannya itu.
"Betapa pun kau mau!" jawab Kai yang lalu menarik tangan Mili begitu saja.
Mili pun segera meraih motornya, dan membonceng mantan bosnya itu menuruti kemana bosnya akan pergi.
Beberapa menit kemudian mereka telah sampai di depan gerbang rumah yang begitu besar. Mili pun dibuatnya heran, begitu banyak pertanyaan yang muncul di pikirannya. Kai segera turun dari motor matic Mili, dan melangkahkan kakinya menuju rumah itu. Beberapa penjaga membiarkan Kai untuk masuk. Akan tetapi Mili masih berada di atas motornya.
"Hei. Kenapa kau masih diam di situ? Masuklah!" perintah Kai.
Mili menunjuk batang hidungnya. "Aku?"
Kai pun mengangguk. Mili segera menyalakan mesin motornya dan memasuki rumah besar bag istana itu. Mili berjalan membuntuti Kai.
"Selamat malam mas Kai"
Beberapa asisten telah menyambutnya dengan hormat sembari menundukkan kepala mereka. Kai hanya tersenyum dan melangkahkan kakinya menaiki tangga.
"Tok…tok…" terdengar seseorang mengetuk pintu kamar ibu dan ayah Kai.
"Iya masuklah!" perintah Melia, ibu Kai.
"Nyonya, Mas Kai datang. Ia menuju kamarnya!" terang seorang asisten.
"Apa? Kai?" serunya. Tanpa banya bicara lagi, Melia berlari keluar kamarnya mencari Kai. Akan tetapi langkahnya terhenti saat melihat Mili yang berdiri di ruang tengah.
"Siapa kau? Kenapa ada disini?" tanya Melia penasaran.
Mili menundukkan kepalanya dan tersenyum seraya memberi hormat. "Maaf bu, saya kemari untuk mengantar Pak Kai"
"Lalu apa hubunganmu dengan Kai?" tanya Melia semakin penasaran dengan Mili, ia pun membatin.
"Gadis ini terlihat ramah dan sopan. Meskipun penampilannya biasa saja, tapi ia terlihat cantik natural. Kenapa Kai bisa bergaul dengan gadis sepertinya. Aku tahu dia bukan tipe Kai"
Belum sempat menjawab, Kai turun melewati tangga rumahnya. Ia membawa tas ransel yang berukuran cukup besar.
"Ibu?" seketika Kai memeluk erat tubuh ibunya. Ibu yang sangat ia rindukan.
"Kai. Kau baik-baik saja nak?"
"Untuk apa kau datang kemari?" ujar Alan ayah Kai di tengah momen mengharukan itu.
"Dia anakmu, seharusnya kau senang dia datang!" ungkap Melia.
"Senang? Tidak. Kau kesini pasti untuk meminta uang kan. Aku sudah menyangka, kau tidak akan sanggup untuk hidup di luar sana!" papar Alan.
Kai hanya diam, mengepalkan tangannya. Menahan semua amarahnya.
Alan melirik ke arah Mili, dengan tatapan menghina. Bagaimana tidak? Penampilan Mili memang berbeda jauh dengan kaum sosialita keluarga besar Kai.
"Lalu siapa dia, apa karena sekarang kau miskin, kau mau berteman dengan orang sepertinya?"
"Jaga ucapan ayah. Jangan menghina Mili!"
"Bahkan kau membentak ayah gara-gara gadis itu?"
Kai tak lagi menghiraukan perkataan ayahnya. Ia tidak ingin menjadi emosi. Ia pun segera berpamitan dengan ibunya.
"Ibu, jaga diri ibu baik-baik. Ken pamit"
Melia segera meraih tas yang tergeletak di sofa santai di ruang tengah itu. Ia mengeluarkan beberapa kartu dan memberikannya kepada Ken.
"Ken, ambillah ini. Ini ada kartu kredit dan juga ATM milik ibu. Kau bisa menggunakan untuk kebutuhanmu di luar sana!"
"Jangan terus memanjakan anak itu! Aku yakin gadis itulah yang menyuruh Kai melakukan ini. Gadis biasa sepertinya, apa yang dia mau dari orang seperti kita, kalau tidak uang?
Mili hanya menangis, air matanya tidak bisa dibendung lagi. Baru kali ini ia mendengarkan penghinaan yang amat sangat menyakitkan untuknya. Bahkan lebih sakit dari garis hidup yang ia jalani sekarang.
"Aku memang miskin, tapi kenapa aku merasa sakit hati sekali, saat tuan itu menghinaku seperti ini? Sebaiknya aku pergi. Aku memang tidak pantas berteman atau bergaul dengan Pak Kai." guman Mili, ia pun melangkahkan kakinya pergi. Akan tetapi dengan cepat Kai meraih tangan Mili.
"Jangan pergi Mili!" pinta Kai dengan menatapnya serius.