Chereads / LUCIFER'S TRAP / Chapter 15 - Shocking Fact!

Chapter 15 - Shocking Fact!

Theodore's

"Mereka berdua. Perempuan itu dan Leo. Mereka mencarimu bahkan sampai ke club ku."

Theodore kembali menenggak cairan coklat bening tersebut langsung dari botolnya. Isinya sudah hilang lebih dari sepertiganya, tapi, dia belum merasakan efek yang dia inginkan. Malah sekarang pikirannya terlalu tajam sehingga bisa dengan mudah dan terus menerus terngiang - ngiang kalimat Phillip beberapa saat yang lalu yang dia dengar lewat telpon.

Matahari sudah beralih ke barat. Menciptakan warna yang lebih terang namun juga tenang di saat yang bersamaan. Hari ini cuaca cerah. Salju tidak turun lagi beberapa hari ini. Sisa salju yang turun beberapa hari sebelumnya juga sudah mulai mencair dan menghilang dari permukaan tanah. Musim semi sepertinya memutuskan datang lebih awal dua bulan. Mungkin sebentar lagi, halaman kastil yang sekarang kelabu dan terlihat tandus akan menghampar hijau. Seperti yang diingatnya saat kecil dulu ketika keluarganya masih tinggal di kastil ini.

Dia tidak merasa tenang. Setelah kedatangan Louise yang terus saja merengek tentang karyanya yang kekurangan unsur romantis, disusul kabar tak menyenangkan yang dia dengar dari Phillip. Keduanya bukan hal yang mudah untuk diterima, jadi dia perlu sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya.

"Kediaman Roland, selamat sore." Sapa suara tegas di seberang sambungan telponnya.

"Rose."

"Monsieur Theodore." Sapanya datar.

"Apakah ada yang datang mencariku?" tanyanya to the point.

"Tidak ada, Monsieur." Jawaban Rose terdengar tegas seketika. Dia tak tahu pelatihan seperti apa yang dulu harus dilalui Rose untuk menjadi bodyguard di sini. Tak ada getaran dalam suaranya saat berbohong, tak ada kedutan dalam wajahnya saat terjadi sesuatu. Mungkin untuk menjadi pengawal Roland, dia harus menggadaikan jiwanya.

"Kau bisa bilang padaku. Aku sudah mengetahuinya. Jadi?"

Jeda agak lama sebelum akhirnya perempuan itu menjawab. "Mademoiselle Juliette dan Monsieur Leo tadi pagi ke sini untuk bertemu dengan Ayah anda. Hanya itu yang bisa saya sampaikan, Tuan."

Jadi dia akan segera dikunjungi lagi. Dia memutus sambungannya sepihak tanpa berkata apa pun lagi.

Tangannya dengan cepat bergerak di atas layar ponselnya untuk menghubungi orang lain.

"Apa maksud anda memberitahukan keberadaan saya pada mereka?" tanyanya tanpa kalimat pembuka apa pun begitu panggilan tersambung.

"Theodore."

Dia diam menunggu jawaban pria tua yang namanya dia pakai sebagai nama belakangnya, orang yang sama yang mengusulkan pengasingannya ke kastil tua yang tidak ingin dia injak lagi seumur hidupnya. Tempat dimana mataharinya telah terbenam untuk selamanya.

"Siapa yang kau maksud?" Pria tua itu bertanya, pura -pura bodoh.

"Aku tau kemana anakmu mengendus bauku untuk mencariku. Tak usah berlagak bodoh untuk melindunginya. Memang tak selayaknya aku mempercayaimu."

"Jaga mulutmu, Nak." Kalimat itu diucapkan pelan. Tapi Theodore tau, banyak ancaman yang tersembunyi di sana. Mereka yang berurusan dengan keluarga Roland tau, bahwa Pak Tua Ernest Roland ditakuti bukan karena sikapnya yang kejam dan diktator, tapi karena sikap tenangnya yang penuh muslihat dan menghanyutkan. Tersihir sebentar akan kalimat manisnya, hidupmu akan penuh dengan penyesalan, selamanya.

"Aku sudah menjaga mulutku dan menurutimu selama dua minggu ini, tapi kau, kau tidak menepati janjimu!" Tuduhnya keras.

"Berhenti berpikir kalau aku adalah orang jahatnya di sini, Nak. Aku berada di pihakmu. Kulakukan ini semua untuk melindungimu."

"Dan sikapmu menunjukkan kebalikannya!"

Klik.

***

Dia masih mengurung dirinya di dalam perpustakaan hingga malam tiba. Sedikit pun tak beranjak dari mejanya. Tiga botol vodka kosong yang isinya ludes ditenggaknya bertebaran di sekitarnya. Gelap. Tapi dia tidak merasa terganggu. Hanya diam memandangi langit malam yang berwarna biru gelap dari tempatnya duduk.

Mungkin dia tertidur tadi. Atau mungkin karena dia amat merindukannya, dia seperti melihat kembali sosok dengan senyum tercantik yang pernah ada di hidupnya. Sosok yang saat dia pergi, dia bawa pula cahaya dalam hidupnya. Sosok terlembut yang mendamaikan hatinya. Sosok yang kepergiannya mampu mencabik semua hal baik dalam dirinya. Sosok yang dia panggil Mama.

"Monsieur?"

Suara panggilan itu diikuti ketukan pelan di pintu, lalu suara pintu yang terbuka.

"Disa?" Dia memanggil tanpa menoleh dari langit malam yang semakin pekat. Terdengar gesekan sepatu pelan lalu pintu yang tertutup.

"Oui, Monsieur." Suara tersebut membenarkan. "Anda ingin saya menyalakan lampunya?"

"Duduklah."

Dia pasti sudah terlalu mabuk. Akhirnya. Namun sensasi melayang dan ringan tak juga dia rasakan. Rasanya saat ini kepalanya kosong dan ringan. Matanya terasa berat seperti mengantuk, tapi banyak hal malah memaksa masuk dan berseliweran di dalam kepalanya.

Dia tidak berharap banyak maid nya yang polos dan bodoh, atau itu hanya kamuflase saja yang membuatnya terlihat tidak seperti perempuan kebanyakan itu, akan menurut. Tapi ternyata dia menurut. Terbukti dengan tidak terdengarnya suara langkah kaki ataupun suara pintu yang terbuka dan tertutup menandakan adanya orang keluar masuk ruangan tersebut.

"Kau tau, aku benci berada di sini. Amat sangat." Katanya tanpa bisa menahan diri. Dia butuh teman bicara. Siapapun. Bahkan boneka pengusir burung gagak pun mungkin bisa memberinya halusinasi akan kehadiran seorang teman.

Suaranya hilang ditelan keheningan dan kegelapan. Tidak ada sahutan dari belakangnya, dan dia pun melanjutkan. Kaki dan tangannya sudah mulai terasa berat.

"Di sini tempat aku tumbuh. Tempat yang tak bisa digantikan oleh tempat terindah manapun di dunia karena di sinilah aku menghabiskan waktu dengan Mama. Dia adalah cinta pertamaku, Disa. Bahkan di usia saat aku belum mengerti bahwa kata cinta itu ada. Dia perempuan pertama yang mengajarkanku segalanya." Bibir tebal yang berada di antara dua rahang tegas itu tersenyum. Matanya menatap sayu setengah terbuka pada kegelapan malam. Tidak ada rembulan disana, gelap, pekat, tertutup mendung.

Ingatan tentang sosok cantik yang dia panggil Mama mengalir deras selama dia di sini. Memenuhi dirinya dengan memori bagus dan juga memori yang tidak ingin dia ingat lagi untuk seumur hidupnya. Membuatnya seperti hidup di tepi kegilaan. Tersiksa tapi bahagia.

"Monsieur…." Suara Candice hanya berupa bisikan ragu. Tak yakin harus menanggapi cerita ini seperti apa. Yah, dia tidak mengharapkan tanggapan apapun. Dia hanya ingin mengeluarkan semuanya dan menjadi lega.

"Sulit untuk bertemu dengannya lagi. Je l'esaayé." Katanya memberi tahu bahwa dia berkali - kali mencoba untuk bersama kembali dengan sang Mama.

"Sejauh itu?" Lagi, suara itu hanya berupa bisikan dalam kegelapan. Tanpa melihat wajah dengan senyum bodoh itu, suara Disa terdengar sepuluh kali lebih baik. Suaranya amat feminin, dengan nada yang seperti nyanyian peri.

"Trop loin." Dia membenarkan. "Dia dikirim menghadap Hades oleh orang yang paling dicintainya. Ayahku sendiri."

"Pasti kecelakaan yang buruk." Suara tersebut menyahut pelan. Dia tak yakin sekarang gadis itu ada di mana. Suaranya sudah tidak berasal dari belakangnya, tapi tidak terdengar pula suara langkah yang menandakan adanya perpindahan tempat. Kegelapan ini seharunya menajamkan inderanya bukan?

"C'est pas un accident." Dia menyangkal bahwa kejadian itu bukanlah sebuah kecelakaan. Kecelakaan apanya. "Mama dibunuh karena menyaksikan suaminya bercinta dengan perempuan lain di kamar tidur mereka. Dan itu semua dilakukannya di depan putra semata wayangnya." Tambahnya pahit.

"Maafkan saya, Monsieur."

"Bagaimana denganmu? Apakah kau masih punya orang tua?"

Hening cukup lama. Matanya kini benar - benar tertutup sepenuhnya, tapi dia tidak tidur. Dia mengira perempuan itu tidak akan pernah menjawab pertanyaannya.

"Ibu saya juga sudah tiada." Jawabnya. "Saya… Ibu saya adalah seorang pekerja seks komersil… karenanya, saya tidak pernah tau siapa ayah saya." Dia menjawab lirih.

Ah…. Cerita yang tak kalah kelam dengan miliknya.

"Aku tidak ingat kau pernah menyebutkan namamu."

"Candice, Monsieur. Hanya Candice."

"Nama keluargamu?" Kejarnya.

"Saya tidak pernah memilikinya. Hanya Candice."

"Apakah Ibumu tidak memiliki nama keluarga?" Aneh sekali.

"Gladys Besnier."

Seketika matanya terbuka lebar. Efek alkohol yang sedari tadi mengungkungnya menghilang entah kemana.

"Siapa kau bilang?"

"Nama ibu saya Gladys Bes…."

"Kau tau, kau bisa dipenjara jika berbohong?!"

"Pardon, Monsieur?"