Candice's
Tubuhnya masih terasa bergelenyar asing namun menyenangkan, sisa dari kontak fisik yang tiba - tiba dengan tuannya barusan. Namun, belun sempat dia berimajinasi tentang sensasi baru yang dirasakannya itu, kalimat Tuannya yang selanjutnya seketika membuatnya tertegun kaget dan keheranan.
"Baju ini, dan baju - baju yang tadi kita beli adalah seragam kerjamu yang baru. Belajarlah bermake up. Kau akan ikut ke manapun aku pergi mulai sekarang." Titah tuannya.
Candice menatap Tuannya tak yakin, berharap melihat salah satu alis tebal yang menawan itu terangkat ke atas, menandakan candaan. Namun, wajah tuannya terlihat serius. Sama sekali tak terlihat rona bercanda di sana. Seragam baru? Mulai besok? Jadi, dia tidak dipecat? Ini semua bukan sebagai farewell terakhirnya bersama tuannya? Candice menatapnya tak percaya dengan mulut terbuka dan menutup tanpa kata yang keluar dari sana.
"Aku tidak sedang bercanda." Tuannya melanjutkan, seolah dapat mendengar gaung ribut penuh tanya di kepala Candice. "Dan sekali lagi kau memakai pakaian maid jelek itu, aku akan merobeknya dari tubuhmu saat itu juga" ucap tuannya dengan gigi yang digertakkan, membuat nafas Candice tersendat di tenggorokannya.
Dia tak menyangka bahwa Tuannya amat membenci seragam lamanya. Namun membayangkan Tuannya merobek kain yang dia kenakan dengan sepasang tangannya yang kuat dan liat membuat sesuatu dalam tubuhnya menggeliat liar. Mendamba. Mata mereka saling beradu tajam dan lekat. Rasanya, Candice tak kuasa untuk memalingkan pandangannya pada objek lain selain manik indah mata tuannya. Dan itu membuat ikut kakinya bergetar penuh antisipasi.
"D'accord. Baik. Tuan."
***
Mengerjakan pekerjaan rumah dengan pakaian seperti ini… tentu saja tak nyaman. Candice menarik ujung keliman gaunnya yang rasanya terus saja naik semakin ke atas. Ini sudah beberapa hari sejak dia melaksanakan perintah Tuannya. Dia tak lagi memakai seragam maidnya yang berwana hitam dengan apron putih kecil di depannya. Pergerakannya jadi sedikit terhambat dengan seragam barunya. Belum lagi pandangan tajam dari Lucas yang dia rasakan dari belakang punggungnya.
Pengawal pribadi tuannya itu terlihat shock dan kaget di hari pertama Candice melaksanakan perintah tuannya. Dia bahkan terang - terangan bertanya apakah Candice gila memakai pakaian seperti itu di tengah cuaca seperti ini. Sekarang, mungkin dia sudah sedikit terbiasa, karena sudah hampir seminggu Candice berdandan seperti ini. Pada awalnya, dia banyak bertanya dan berkomentar tentang perubahan ini.
"Tuan memintaku untuk mengenakannya."
"Di cuaca seperti ini? Gi... yang benar saja?"
"Dia bilang ini adalah seragam baruku. Apakah tidak cocok?"
Lucas hanya menggeleng, menyangkal pertanyaan Candice. "Dan kau jadi jarang tersenyum lagi, sekarang. Ada masalah?" tanyanya lagi. Ini adalah percakapan mereka di suatu pagi setelah Tuannya mengurung diri di dalam ruang baca karena hari ini cuaca berangin dan hujan es turun dengan lumayan deras. Hal yang tak mengijinkannya untuk mengetik di luar.
"Bukankah kau pernah bilang untuk mengurangi senyumku yang aneh?" Candice menoleh, menelengkan kepalanya di satu sisi. Dia masih mengikat rambutnya menjadi ekor kuda di belakang punggungnya saat melakukan tugasnya, karena mengurus rumah dengan rambut tergerai sama sekali tidak praktis.
Dan debu jadi lebih banyak menempel pada rambutnya kalau terus tergerai. Untungnya Tuannya tidak meminta hal yang aneh lagi seperti melepaskan ikatan rambutnya dan sebagainya. Dia masih sibuk beradaptasi dengan hal ini.
Mendengar jawabannya, salah satu siku Lucas yang awalnya berada di atas meja mendadak terpeleset. Membuat dagunya hampir jatuh menyentuh meja. "Tapi kau hanya mengacuhkanku. Kenapa kau lakukan sekarang?"
"Tuan menyuruhku."
Lucas mendengus menyembunyikan tawanya, membuat Candice menatapnya bingung. Ada yang salah dengan jawabannya?
"Pourquoi? Kenapa?" Dia mengernyit, menuntut jawaban Lucas.
"Kau amat patuh bukan, pada Tuan kita ini? Aku memintamu beberapa kali dulu, tapi kau mengacuhkannya. Dan kau langsung melakukannya karena dia memintamu?"
Candice berkedip cepat tiga kali. Mata besarnya hari ini terlihat lebih besar karena efek make up yang dipakainya. Eyeliner dan maskara membuat wajahnya seperti hanya terisi dua matanya saja.
"Bukankah seharusnya memang begitu? Dia tuan kita. Dan kita sudah seharusnya menuruti kemauannya. permintaannya adalah perintah bagi kita."
"Ya, ya. Tentu saja. Itu yang akan dikatakan oleh Candice yang patuh."
Apa? Apakah salah?
***
Hari ini hujan turun lumayan deras dan lama. Badai dengan bising menyambar apa pun yang ada di luar. Biasanya, dalam balutan pakaian maid nya, karena kainnya lumayan tebal, dengan stocking dan penutup kepala, badannya akan merasa sedikit hangat. Tapi kali ini, rib dress dengan lengan panjang dengan model kerah turtleneck berwarna putih yang dia padukan dengan boot berwarna hitam sama sekali tak dapat membendung hawa dingin yang dia rasakan. Oh, kakinya memang hangat, tapi betis dan pahanya menjerit meminta perhatian.
Dia sudah menyalakan perapian elektronik yang ada di selasar dan aula di lantai satu. Tapi tetap saja, masih merasa belum cukup hangat. Rasanya seperti saat dia sedang berada di apartemen kecilnya dengan hanya memakai dua lembar selimut saja. Apakah biasanya sedingin ini? Atau dia hanya sedang merindukan Omanya? Apakah wanita tua itu baik - baik saja? Bisakah dia merawat dirinya dengan baik sendirian di sana? Dia minum obatnya dengan teratur, kan?
Dia sangat ingin membawa Oma ikut tinggal di kastil ini. Tempat ini begitu besar dan luas. Ada banyak kamar di sini. Kamar pelayan saja ada sekitar empat hingga lima, dan hanya terisi dia sendiri. Belum lagi kamar Lucas dan kamar lainnya ya ada di sini. Pastinya, tak akan ketahuan membawa Oma ke kastil ini. Tapi Candice tidak bisa melakukan itu. Dia di sini bekerja. Oma juga tahu, dan pastinya tak akan mau jika diajak ke sini dengan alasan seperti itu. Candice adalah orang yang profesional, sedang Oma adalah orang yang menghargai komitmen.
Mereka memang miskin, tapi mereka mereka punya prinsip dasar dan harga diri. Ya, untuk bekerja, tidak, untuk mengemis.
"Kusen jendela itu begitu kotor, atau ada sesuatu yang menarik perhatianmu di luar sana sehingga kau menghabiskan waktu cukup lama untuk mengelap hanya satu bagian itu saja?"
Suara maskulin yang tiba - tiba masuk ke dalam indera pendengarnya membuatnya terlonjak kaget dan langsung berbalik menghadap tuannya. "Monsieur."
"Tugasmu sudah selesai?" Theodore bertanya sambil lalu yang dijawab seketika dengan anggukan oleh Candice. "Bersiap - siaplah. Kau akan ikut aku sisa hari ini ke Paris."
"Paris?!"
"Pourquoi? Kenapa? Tidak ingin?"
Cepat - cepat Candice menggeleng.
Tentu saja dia mau! Dia belum pernah ke Paris seumur hidupnya! Dulu saat masih sekolah dasar, saat kelulusan. Teman - temannya pergi ke Disneyland Paris. Sebelumnya, tempat bermain besar itu bernama Euro Disney Resort. Mereka berbondong - bondong ke sana dengan suka cita karena saat itu tempat itu belum lama di buka. Tapi Candice tak ikut karena dia tahu Ibunya tak memiliki uang untuk itu. Dia bahkan tidak berkata apapun pada Ibunya tentang ini.
Dia tahu, untuk mendapatkan uang, berarti Ibunya tak akan pulang sepanjang malam, dan saat pulang, jalannya akan menjadi tertatih dengan kaki gemetaran. Sedangkah dulu, untuk mencari uang sendiri, dia masih terlalu kecil. Tentu saja ada Oma, tapi dia tak pernah dengan sengaja meminta uang pada perempuan itu. Jadi dia menyerah. Lagipula, daripada berlibur dan menghamburkan uang, dia bisa ke dermaga dan membantu Oma yang menjadi kuli angkut ikan di dermaga untuk mendapatkan tambahan uang.
Dan setelah lulus sekolah senior, banyak kampus yang menawarinya beasiswa juga di Paris. Hanya saja, tak pernah dia ambil karena alasan kesehatan Ibunya yang kurang baik. Kehidupannya hanya berkisar tentang quartier (Kawasan, kompleks) kumuh yang berada di sekitaran pelabuhan Le Havre ini. Dia benar - benar tak pernah pergi kemanapun Bahkan ke kota sebelah pun dia tidak. Dan yang lebih mencengankan, dia bahkan tak pernah pergi ke kota tetangga. Dulu, dia memiliki cita - cita untuk menjelajah dunia. Untuk pergi ke tempat - tempat yang paling indah di dunia! Bali, venice, Rio, Amazon, dan masih banyak lagi. Namun seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, dia sudah semakin menyerah untuk menjelajahi dunia.
Keinginannya dari waktu ke waktu menjadi semakin sederhana. Yang penting dia bisa hidup dengan layak bersama Oma. Hanya itu keinginannya saat ini.
"Bersiaplah. Tiga puluh menit lagi kita berangkat. Bawa satu stell baju cadangan karena kemungkinan kita akan menginap di sana semalam."