Candice's
Candice memandangi pria di sampingnya yang sedang fokus menyetir dan terlihat terpaku pada jalanan di depannya. Barusan… dia tak salah dengar, kan? Tuannya ingin mendengar cerita tentang ibunya? Setelah kemarin?
"Apa... apa yang ingin Anda ketahui tentang Ibu saya? Sebenarnya, saya tak punya banyak cerita tentang beliau. Dan saya juga tak pandai bercerita."
Dia masih ingat ekspresi tuannya saat dia mengatakan nama ibunya, terlihat amat marah dan tak terima. Sesuatu yang hingga sekarang dia tak tahu apa alasannya, namun masih terasa mengganggu. Namun dia tak berani untuk menelaah lebih lanjut. Karena untuk itu, dia harus banyak bertanya. Sesuatu terbersit di pikirannya; Apakah…. Apakah Tuannya pernah menggunakan jasa ibunya? Dia mengerjap cepat, berusaha mengenyahkan pikiran itu.
Dia tak benci pada ibunya karena pekerjaannya. Dia memahami bahwa dengan keterbatasan Ibunya, dia masih terpikirkan cara untuk bertahan hidup, melahirkan dan membesarkanya seorang diri. Itu tak mudah. Malah, kalau dia harus jujur, dia bangga terhadap Ibunya. Dia bersyukur bahwa Ibunya masih mempertahankannya dan bukan segera menghilangkannya seperti yang orang - orang sarankan padanya. Dia bersyukur memiliki Ibu seperti ibunya.
Hanya saja… bayangan Tuannya yang pernah berhubungan badan dengan Ibunya… itu sama sekali bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dibayangkan. Bahkan dia merasakan tusukan rasa sedih dan sakit di dadanya. Perasaan yang tidak dia sukai sama sekali.
Disa berdehem, berusaha mengalihkan pikiran - pikiran jeleknya itu dan menarik paksa dirinya untuk kembali pada saat ini. Bersiap untuk menjawab permintaan Tuannya. "Ibu saya… apa yang harus saya ceritakan tentangnya, Tuan?" tanyanya.
"Apa yang kau pikirkan saat tahu pekerjaan Ibumu?"
Dia terdiam. Dia sering sekali mendapatkan pertanyaan serupa. Biasanya dengan nada penuh keingintahuan yang tak perlu, atau nada mengejek menghakimi seolah mereka adalah orang yang paling suci karena mereka tidak harus bekerja menggadaikan tubuhnya seperti yang dilakukan Ibunya.
Dia tak pernah mengingkari bahwa dirinya lahir dari ibu yang berbeda dengan orang kebanyakan. Ibunya istimewa. Dia juga menerima takdirnya sebagai anak yang terlahir entah dari benih siapa saja yang tertampung di rahim ibunya. Bagaimanapun, itu Ibunya. Dia tak pernah meminta dilahirkan. Pun Ibunya, tak pernah meminta untuk diberi beban tambahan untuk diajari moral dan nilai - nilai kehidpan lainnya sementara saat itu kehidupannya sendiri kacau balau. Hari ini masih hidup, masih bisa makan, besok belum tentu. Bisa jadi tubuhnya memar dan luka - luka karena dipakai oleh pria tak bertanggung jawab dan memiliki penyimpangan dalam berhubungan badan.
Dia pernah menemukan Ibunya dengan kaki berdarah - darah dan wajah penuh memar di tergeletak begitu saja di gang sepulang sekolah. Dia berteriak - teriak histeris meminta pertolongan, tapi semua orang yang ada di sana hanya memandanginya saja sambil lewat. Akhirnya, dengan tertatih - tatih, dia membawa ibunya pulang dan mengobatinya sendiri di rumah.
Ya, dia tak membawa ibunya ke rumah sakit. Uang dari mana? Walaupun ada, Ibunya tak akan memberikannya padanya. Dia bilang dia menabung untuk masa depan Disa. Dia bahkan masih ingat suara ibunya yang masih terdengar riang di telinganya saat dia membersihkan lukanya sambil menangis.
"Ca va, cherie, ca va. Tak apa, Sayang, tak apa. Ini terlihat mengerikan tapi tak sakit. Mama masih bisa berdiri dan membuatkanmu ratatouille. Kita masih punya beberapa aubergine (jenis terong ungu yang besar) dan courgette (zucchini) untuk dimasak."
Saat itu Omanya kebetulan sedang bersembunyi di camp pengungsi perang bersama teman - temannya yang lain karena beberapa hari terakhir ada pemeriksaan tentang status imigrasi seseorang. Dia tak ingin dideportasi atau dikirim ke negara antah berantah yang jauh untuk suaka, jadi dia bersembunyi di sana hingga suasananya aman.
Hidup mereka tak mudah. Banyak tetangga yang tak suka pada Oma dan Mamanya. Banyak yang melaporkan Omanya agar segera ditangkap dan dideportasi ke negara asalnya. Orang - orang terlalu rasis untuk menerima perbedaan.
"Disa?!"
Dia tersentak kaget dan lebih kaget lagi saat menemukan dirinya ternyata sedang melamun mengingat kehidupannya dulu saat Mamanya masih hidup.
"Ah! Pardonnez-moi, Monsieur! Maaf."
Dia meringis saat melihat tuannya berdecak, terdengar kesal karena dia meminta maaf. Padahal Tuannya sudah sering memberinya ultimatum untuk tak lagi meminta maaf. Hal yang menurut Candice tak masuk akal. Bagaimana mungkin dia tak meminta maaf saat dirinya berbuat salah? Bagaimana caranya?
Tuannya mengangguk, membuatnya berpikir bahwa kali ini dia kan dilepaskan. Tapi dia kemudian menelan ludahnya kasar saat mendengar penuturan tuannya selanjutnya.
"Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?" Kesepakatan? "Kau, akan kuhukum jika kau meminta maaf?"
"Pardon?!" Dalam hati dia memukul kepalanya sendiri. Dia lidahnya sudah ter setting otomatis untuk mengatakan kata itu. Bahkan, mungkin kata itu adalah kata pertama yang dia ucapkan saat dia bisa berbicara dulu, mengingat seringnya dia mengucapkannya.
"Ehm, haruskah aku menghukummu sekarang?"
Disa menggigit bibirnya dengan khawatir. "Saya benar - benar tak sengaja." Dia memilih kalimatnya dengan hati - hati. Berusaha untuk tak mengucapkan kata maaf dalam bentuk apa pun. "Hukuman… hukuman apa yang akan Anda berikan untuk saya, Tuan?"
"Hmmm…"
Tuannya itu menggaruk ujung dagunya dengan kuku telunjuk tangan kirinya. Gerakan kecil yang dilakukan sambil lalu tapi bisa membuat dia tersipu, entah kenapa. Menurutnya, gerakan yang dilakukan Tuannya barusan, amat…. Dia bahkan malu mengakuinya, tapi rasanya seperti dia telah menyaksikan Tuannya melakukan hal yang tak senonoh tepat di depan matanya. Darahnya bahkan terasa berdesir karenanya.
"Sejujurnya, aku belum memikirkan hukuman apa pun untukmu saat ini. Jadi, hukumanmu kali ini ditunda, hingga aku memutuskan hukuman apa yang cocok untukmu."
Dia pasti sudah gila. Seharusnya saat ini dia senang, karena hukumannya ditunda, tapi kenapa dia malah kecewa?! Ini sungguh tak masuk akal. Seolah - olah dia memang menunggu hukuman yang akan diberikan Tuannya padanya. Dia pasti sudah tak waras. Dia sedikit malu mengakui bahwa dia mengakui hal ini.
Karenanya, dia hanya bisa membisikkan terima kasih pada Tuannya dan kembali memfokuskan pandangannya pada gedung - gedung yang kini lebih sering terlihat di depan matanya karena mereka sekarang sudah jauh dari daerah tepi pantai dan perbukitan yang menjadi awal perjalanan mereka. Mengira percakapan mereka sudah selesai, dia tak mengatakan apa pun lagi.
Kalimat yang tadi sempat dia siapkan pun sudah kembali tercecer entah ke mana. Dirinya jadi sedikit rileks, dan itu membuatnya jadi mengantuk karena tatapan yang monoton dan suasana yang sunyi.
Tapi sepertinya Tuannya belum ingin mengakhiri pembahasannya karena dia kembali berkata mengingatkan.
"Jadi, apakah kau tak ingin menjawab pertanyaanku tadi?"