Candice's
Pelukan Tuannya terasa amat kokoh dan erat. Tapi sekaligus juga terasa hangat dan protektif. Bukan jenis pelukan kuat yang bisa menghancurkan tulang dan tubuhnya.
Dia berdiri dengan kaku, tak membalas ataupun menolak. Dia tak boleh menolak. Ini permintaan Tuannya. Dab dia tak cukup berani untuk membalasnya dengan mengangkat kedua lengannya dan mendekap balik tubuh tegap nan liat itu.
Semua hal di sekitar mereka tampak berubah menjadi samar - samar. Selain keberadaan Tuannya dan detak jantungnya yang menggila, dia tak bisa fokus pada hal lain lagi.
Dia merasakan detakan kencang dari dadanya, namun tak bisa menjelaskan apakah itu berasal dari jantungnya, atau milik Tuannya.
Kain kemeja yang kaku dan sedikit kasar kerena dikanji menggesek bagian atas tubuhnya yang tak tertutup gaun maupun jas yang dipinjamkan Tuannya, membuat badannya menggigil karena sensasi asing yang tidak dia kenal. Apakah dia kedinginan, atau kepanasan?
Setelah beberapa saat yang terasa lama sekaligus singkat bagi Candice, akhirnya Tuannya mengurai pelukan mereka, membuatnya terhuyung dengan nafas tersengal satu - satu.
"Kau tak apa? Wajahmu merah." Pertanyaan itu hanya berupa bisikan. Tapi bagi Candice seperti suara Tuannya dikeraskan sepuluh kali lipat dan hanya diperdengarkan di telinganya saja, membuat jantungnya semakin berdebar kencang dan simpul besar terasa menahan di pangkal tenggorokannya.
Candice mengangguk.
"Kita harus masuk lagi. Aku perlu bertemu dengan beberapa orang. Kau bisa bersandar padaku jika kau merasa lemas. Jika kau sudah tak tahan, jangan ragu untuk memberitahuku, tu vois? (Mengerti, kan?)"
Lagi - lagi Candice hanya bisa mengangguk.
***
Selanjutnya dia dibawa berkeliling kembali oleh Tuannya. Dia tak bisa merasakan kakinya. Rasanya sepanjang hari ini dia melayang di atas lantai. Hanya tangan Tuannya di punggungnya yang menuntunnya untuk bergerak maju ataupun mundur. Dia berpegangan erat pada tangan Tuannya yang satu lagi yang menuntunnya dari depan. Seolah - olah dia adalah korban kapal tenggelam dan tangan Tuannya adalah life vest yang akan menyelamatkan hidupnya.
Dia juga tak terlalu mengerti apa yang orang - orang ini bicarakan. Telinganya hanya menangkap suara Tuannya. Dia merespon karena suara Tuannya.
Beberapa memujinya cantik, yang membuatnya tersipu karena Tuannya juga mengiyakan, bahwa hari ini dia cantik. Itu membuatnya melambung. Tapi selebihnya, mereka hanya berbicara tentang Tuannya, tentang buku - buku yang Tuannya ciptakan, dan hal - hal yang tak Candice pahami tentang rumah dan bangunan.
"Oui, dia memang cantik. Saya beruntung memilikinya." Suara Tuannya mengalun masuk ke telinganya.
"Saya tak menyangka anda masih begitu muda."
"Saya tak semuda kelihatannya." Itu Suara Tuannya lagi.
"Saya adalah seorang fans. Buku - buku anda amat luar biasa. Selalu fenomenal. Anda pasti membuat riset yang akurat di tiap - tiap bagiannya."
"Terima kasih. Saya berusaha mempersembahkan yang terbaik."
Dan percakapan pun bergulir.
Dia tak melihat perempuan yang tadi menyapa Tuannya lagi di manapun. Candice penasaran siapa dia. Wanita yang amat cantik. Tapi saat mata mereka bertatapan, dia tak melihat ketulusan di sana. Hanya ada tatapan menilai yang mengerikan. Dia tak suka ditatap seperti itu. Sudah cukup dia besar dengan ditatap seperti itu oleh lingkungannya. Mereka pindah ke lingkungan baru setelah Ibunya meninggalkan. Tak terlalu jauh dari yang lama, dan dia berhasil membuat orang - orang melihat nilai dirinya yang sebenarnya.
Meskipun ibunya adalah wanita yang mencari uang dengan menjajakan tubuhnya, tapi bukan berarti dia pun sama. Dia masih gadis suci. Dia tak mau diperlakukan seolah dia adalah wanita murah yang bisa di cicipi. Dia layak diperlakukan dengan pantas dan lembut seperti wanita pada umumnya.
Tapi pertanyaannya belum terjawab. Siapa wanita tadi? Kekasih Tuannya kah? Apakah mereka sedang bertengkar? Itukah sebabnya Tuannya pergi mengasingkan diri ke Marseille? Jauh dari Paris?
Entah kenapa memikirkan Tuannya memiliki hubungan dengan wanita lain membuatnya tak rela. Dia tentu tahu, Tuannya tak mungkin hidup selibat selama ini. Hampir tak ada pria dewasa yang bisa hidup selibat kecuali mereka punya masalah dengan keperkasaan mereka, setidaknya, itu yang pernah dikatakan oleh Maurice kepada Nora, yang tak sengaja dia dengar.
Tapi memikirkan Tuannya memiliki hubungan dengan wanita itu terutama membuat hatinya kesal setengah mati, hingga tak sengaja meremas tangan Tuannya sedikit lebihnya keras dari yang seharusnya.
Hal itu membuat Tuannya menangkap sinyal yang salah dari Candice, dan memutuskan untuk berpamitan pada koleganya.
"Maafkan saya, tapi saya terpaksa harus undur diri. Enchanté de vous rencontrer, (Senang bisa bertemu dengan anda sekalian)."
Lalu dia dituntun melintasi hall luas untuk menuju pintu keluar.
***
"Kau tak apa?" Tuannya bertanya dengan nada penuh kekhawatiran padanya. Kepalanya ditundukkan sehingga mata mereka kini sejajar.
Nafas Candice tercekat saat menyadari sedekat apa mereka saat ini. Hembusan nafas Tuannya beraroma mint yang menyapu wajahnya, mengikis sedikit demi sedikit akal sehatnya yang tersisa. Dia menjatuhkan pandangannya ke bawah, kepada sepasang bibir tebal dan tegas Tuannya, dan fokus di sana.
Kali ini mereka tak memakai mobil yang dikendarai Tuannya dari Marseille kemarin. Louise sudah menyiapkan mobil lain untuk mereka lengkap beserta supirnya. Dia dan Tuannya duduk di kursi belakang, sedangkan supir sendirian di depan. Di antara kursi depan dan belakang, ada sekat kaca gelap yang memiliki kotak kecil yang bisa di naik turunkan untuk berkomunikasi dengan supirnya.
Camdice tak tahu kenapa mereka tadi begitu tergesa masuk ke dalam mobil. Saking tergesanya, mereka langsung masuk tanpa memakai mantel. Dua bahan kain tebal yang berfungsi melindungi tubuh dari terpaan angin musim gugur dan musim dingin itu tergeletak terlupakan di sandaran kursi di belakang mereka. Jasnya sendiri sudah dilepas dan dikembalikan tadi saat mereka masih di dalam.
Candice tak dapat mengingat detailnya. Yang jelas saat ini, Tuannya lah yang memakai jas tersebut, sedangkan dia, hanya dengan bajunya yang tak berlengan dan nyaris tak dapat menutupi bagian atas tubuhnya.
Mulut Tuannya bergerak, seperti berbicara sesuatu, tapi Candice tak dapat memahami sepatah kata pun. Mungkin karena dia belum makan apapun sejak pagi. Apakah itu berpengaruh?
Hal itu membuatnya menelengkan kepalanya sedikit ke kanan sambil mengedikkan bahu kirinya pelanz membuat sambungan kain yang tertahan rendah di sana meluncur turun menuruni lengannya. Dia melihat mata Tuannya mengikuti apa yang tersingkap karena ketiadaan kain tersebut, tapi dia tak begitu ambil pusing. Dia sedang berkonsentrasi pada hal lain.
"Pardon, Tuan bilang sesuatu?"
Tiannya mengangkat wajahnya dan mata mereka bertatapan. Mata yang biasanya menatapnya tajam, kali ini berubah gelap, seperti langit yang menyembunyikan badai.
"Kupikir kita sudah sepakat tentang kata maaf."
"Maaf, saya lupa."
"Apa kau sedang menggodaku?" Tuannya bertanya dengan suara yang semakin rendah dan rendah.
"Saya tak akan berani. Apakah saya akan dihukum kali ini?"
Geraman rendah adalah satu - satunya yang terdengar dari Tuannya sebelum mendekat dan mengeliminasi jarak di antara mereka. Membawa Candice ke dunia lain yang belum pernah dia kunjungi sebelumnya menyapu bersih semua akal sehat yang tersisa.
"Ini adalah hukumanmu."