Theodore's
Suasana hatinya sedang tak baik seharian ini. Bahkan alkohol pun tak bisa mengembalikan suasana hatinya. Ternyata menyalakan kembali ponselnya untuk melihat siapa saja yang telah menghubunginya hampir sepuluh minggu terakhir, bukanlah hal yang bagus.
Dia tak menyesal telah membanting ponsel lamanya hingga hancur berkeping - keping, hanya saja, dia menyesal karena membiarkan orang - orang itu kembali mempengaruhi hidupnya hingga sejauh ini.
Tak ada orang yang tahu, bahkan dia tak ingin mengakuinya kepada dirinya sendiri, tapi ada sebagian dirinya yang berkeras bahwa sebenarnya dia mencintai Juliette. Gadis itu cantik. Ya, dia tak akan mengencaninya jika gadis itu tak memiliki penampilan yang menarik. Memang awalnya hanya kebutuhan biologis semata, desakan nafsu sesaat, tapi, kali kedua, ketiga dan seterusnya, ada hal lain yang lebih mendalam lebih dari itu yang dia rasakan pada gadis itu. Dalam mode malaikatnya, Juliette membuat Thoedore merasa Ibunya telah dikembalikan padanya.
Itulah sebabnya, meskipun dia mendengar desas desus miring tentang Juliette di luar sana, dia hanya membatasi dirinya secara internal, bukan memutus total hubungan mereka agar tak terjadi hal - hal yang tak diinginkan. Dia memang sudah memastikan beberapa hal sebelumnya tentang gadis yang akan dikencaninya. Dia selalu berhati - hati tentang dengan siapa dia berhubungan. Dan Juliette bukan pengecualian.
Tapi saat ternyata Juliette menusukknya dari belakang, dia merasa amat sakit hati dan marah. Padahal dia sudah berulang - ulang menghadapi perempuan - perempuan yang berusaha menjebaknya dengan scenario yang mirip. Tapi dengan Juliette, hal - hal menjadi tak terkendali.
Untuk itu, dia memerlukan pelampiasannya. Dan Gadis itu adalah alat pelampiasan yang sempurna. Candice. Gadis itu selalu bersemangat untuk menyenangkannya. Dengan gadis itu, asal dia mau bersabar sedikit dan sedikit berusaha, dia akan bisa memanfaatkannya dalam banyak hal. Yang penting saat ini adalah membuat gadis itu percaya padanya dan bahwa dia tak memiliki niat yang jahat padanya.
Itu membuatnya amat bersemangat dan tak sabar merealisasikan rencana - rencananya yang melibatkan gadis itu. Pemikiran itu membuatnya amat bersemangat dan mengantarnya menuju pelepasan.
"Geh!"
"Tuan …!"
Dia menghentakkan tubuhnya untuk yang terakhir kalinya, membuat sosok di bawahnya melenguh lirih karena merasakan Theodore masuk terlalu dalam. Mungkin kesakitan, mungkin juga karena telah mencapai kepuasan sama seperti yang dirasakannya.
Dia memisahkan diri, membuka pembungkus elastis yang melapisi bagian tubuhnya yang bekerja amat keras malam ini dan bersandar di kepala tempat tidur dengan nafas terengah - engah. Keringat bercucuran, mengalir menuruni bagian torsonya, membuat bagian tersebut berkilat menggoda. Sementara itu, sosok di sebelahnya, ambruk, merebahkan diri dengan tubuh meringkuk memeluk dirinya sendiri. Sama sepertinya, nafasnya juga terengah - engah dan terdengar satu - satu. Rambutnya terurai di atas punggung kecilnya yang penuh dengan bercak kemerahan hasil karyanya.
Dia bukan pria perokok. Tapi, kadang, saat dia mendapat kepuasan yang di luar ekspektasinya setelah bersama dengan seorang wanita, dia merasakan dorongan untuk merokok. Hal yang jarang terjadi. Tapi beberapa kali dengan Candice, dia selalu merasakan dorongan ini. Bahkan di saat pertama kali kemarin dulu.
"T'es OK? Kau tak apa?" tanyanya basa basi.
Ya, pertanyaan - pertanyaan yang dia ajukan selama ini pada Candice hanyalah basa basi belaka. Nyatanya, dia tak begitu peduli apakah gadis itu kesakitan atau tidak. Candice sudah dewasa, dan mulutnya berfungsi dengan sempurna. Dia bisa mengatakan apa yang dia rasakan jika memang Theodore menyakitinya. Tapi selain lenguhan dan desahan lirih malu - malunya itu, dia tak pernah mendengar sesuatu yang lain saat mereka bersama.
"Hanya lemas," jawabnya masih terengah. "Bolehkah saya di sini dulu? Saya tak yakin bisa berjalan dengan benar jika saya kembali ke kamar sekarang," katanya lagi dengan wajah tersipu.
"Tidurlah di sini. Kau bisa kembali ke kamarmu nanti saat subuh."
Bukankan dia majikan yang baik hati?
***
"Aku tak menyangka kau begini cerewet. Katakan saja apa yang kau dapatkan. Kau tau kan, tak baik terlalu mengurusi urusan orang."
Orang yang sedang berbicara dengannya di telepon memaki pelan, membuatnya bibirnya sedikit menyeringai. Mungkin dirinya sudah dikurung terlalu lama di sini, dan karena lama tak melihat orang ini, dia jadi sedikit 'merindukan' orang ini.
Alisnya berkerut tak suka saat menyadari betapa jauh pikirannya melantur.
"Aku hanya heran, bagaimana kau bisa tau tentang Gladys Besnier? Aku menanyakannya pada Ayahku kemarin, dan dia kaget karena nama tersebut hampir tak pernah disebutkan lagi sejak berpuluh - puluh tahun yang lalu. Jadi aku hanya penasaran dari mana kau tahu tentang itu."
"Aku bertemu dengan seseorang dan dia memberitahuku tentang orang ini," jawabnya. Itu bukan kebohongan. Memang benar seperti itu, kan? Dia bertemu Candice dan gadis itu bercerita tentang ibunya yang ternyata adalah seorang Besnier. Voilà! Rasanya seperti mendapatkan durian runtuh! "Jadi? Gladys Besnier ini adalah? Katakan, cepat! Allez!"
Dengusan terdengar dari sahabatnya itu. "Untung aku bukan keluarga inti Besnier. Jadi apa pun yang kukatakan tak akan dinilai sebagai pencemaran nama baik keluarga."
"Omong kosong! Keluargamu dengan Besnier bahkan tak pernah akur."
Suara tawa terbahak menjawab pernyataan yang baru saja dia lontarkan.
Dia sedang menelpon Phillip. Keluarganya merupakan salah satu kerabat terdekat Besnier. Ayahnya adalah sepupu dari Adrian Besnier, pewaris tahta Besnier saat ini. Pria tua yang tergila - gila mengembangkan bisnisnya hingga lupa menghasilkan keturunan untuk diwarisi.
Tentu ada adiknya, Jules Besnier, nama yang tak akan Théodore lupakan. Nama suami perempuan gila itu! Jules Besnier memiliki dua anak, satu pria dan satu lagi wanita. Tapi, jika dia jadi Jules, Thoedore akan meminta istri cantiknya yang sok anggun itu untuk tas DNA kedua anak mereka. Sekedar membuktikan apakah itu benar anaknya, atau dia meminta benih dari pria antah berantah? Seperti pada Ayahnya, misalnya? Sehingga menjadi seorang Leo.
Ada juga sepupu - sepupu dari garis keturunan Besnier lain. Salah satunya adalah keluarga Phillip.
Namun, entah bagaimana ceritanya, mereka ternyata tak saling akur. Mungkin karena Ayah sahabatnya itu memiliki bisnis di bidang hiburan malam, sehingga keluarga Besnier yang memang amat menjunjung tinggi martabat dan nama naik merasa itu hal yang kurang patut.
"Yah, begitulah. Bahkan natal depan saja kemungkinan kami tak diundang ke sana untuk merayakan natal bersama," adunya.
"Jangan menangis, kau bisa menghabiskan waktu sambil berpesta dengan para gadis yang berhasil kau gaet di kelabmu."
Suara berdecak menyahutinya. "Aku tak seperti kau yang maniak wanita."
"Sudahlah. Revenons à nos moutons (secara harfiah berarti kembali ke kambing kita, secara kiasan berarti ke topik pembicaraan mereka. "Jadi Gladys Besnier adalah?"
"Dia Kakak Oncle Adrian."
Wah ...
"Tapi sudah sejak lama tak pernah pulang. Ayah bilang, terakhir kali mereka bertemu dengan Gladys Besnier adalah saat umurnya empat belas tahun." Phillip mulai menerangkan.
"Ke mana dia pergi?"
"Aku tak tahu. Ayahku juga tak tahu. Tiba - tiba suatu hari dia menghilang begitu saja."
Theodore mengernyitkan keningnya. Tiba - tiba menghilang? Dan tahu - tahu terdampar di Marseille? Lelucon macam apa itu?!
"Hanya saja … ada satu fakta menarik."
Perhatiannya kembali tersedot kepada sahabatnya di seberang sambungan telepon. "Apa?"
"Sejak kecil Gladys Besnier tak pernah dianggap ada oleh keluarganya karena dia … Memiliki sedikit keunikan yang … sulit diterima oleh keluarganya."
"Maksudmu dia gila?"