Theodore's
Theodore tak tahan untuk tak mengangkat salah satu alisnya ke atas saat mendengar kalimat Candice. Dia masih tak mempercyai betapa mudah baginya untuk menuntun gadis ini masuk ke dalam jebakannya.
Tidak, tidak. Dia tak mau disebut menjebak. Menjebak itu, salah satu pihak akan merasa dirugikan dan dieksploitasi habis - habisan sedangkan dalam hal ini, dia berinvestasi kepada Candice. Dia membuat Candice menjadi angsa yang sesungguhnya. Ibaratnya, dia memungut sebatang bambu dan menganyamnya menjadi gerabah yang indah yang bisa dia gunakan untuk kepentingannya. Bukankan itu timbal balik yang adil?
Hanya saja, dia tak pernah menyangka jika bermain - main dengan Candice selalu saja akan berbalik kepada dirinya sendiri. Seperti saat ini, dia hanya berniat main - main dengan gadis ini. Mengira jawaban yang diberikan pasti sesuatu yang klasik. Materi. Atau berupa barang mewah. Siapa yang menyangka kalau ternyata dia menjawab semudah ini?
"Aku belum ingin menggantikanmu dengan siapa pun."
Mata dengan bulu mata lentik itu menutup, tersipu malu. "Syukurlah. Saya sempat khawatir, karena sepertinya Tuan tak menyukai saya saat Anda pertama kali datang ke Marseille. Tapi saya tetap harus bertahan karena Monsieur Lupin sudah membayar saya untuk tiga bulan pertama. Dan uangnya sudah saya pakai, jadi… Maaf, sampai bulan depan, anda masih harus bertahan bersama saya." Jawabannya terdengar pelan dan mengalun.
Cara gadis ini berbicara berbeda dengan orang Prancis pada umumnya. Biasanya mereka berbicara dengan cepat seperti diburu waktu. Tapi Disa berbicara dengan santai dan seperti tak terburu - buru. Bagi telinga Theo, rasanya seperti dia sedang berpuisi.
Tiba - tiba, sebuah blower mengarah pada mereka, membuat gadis itu mengusap lengannya kedinginan dan menerbangkan helaian rambut yang tak tergelung di belakang kepalanya. Theodore segera melepaskan jas nya dan memberikannya pada Candice.
"Tapi.."
"Pakailah. Atau kau lebih suka kupeluk agar merasa lebih hangat?"
Dia terlihat sedikit shock awalnya, tapi kemudian menurut dan memakai jas yang jelas kebesaran itu di tubuhnya dengan wajah memerah. Theo merasa aneh saat melihat tubuh mungil Candice terbungkus jasnya yang kebesaran. Berbagai fantasi liar dan nakal berkelebat di kepalanya.
Itu membuatnya heran. Dia bukan seorang fetish. Tak memiliki fantasi tertentu selain tubuh indah dan wajah cantik. Biasanya, hanya dua hal itu yang menarik perhatiannya, yang bisa membangkitkan semangatnya untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya bersama seorang wanita. Tapi, bersama Candice, hanya bayangan lekuk tubuhnya dan visual saat dia memakai jasnya yang kebesaran seperti ini saja sudah bisa membuatnya menggeliat tak nyaman di kursinya.
"Sial, acaranya baru akan mulai."
"Anda berkata sesuatu, Tuan?"
Gadis ini memang sudah cantik. Dia seperti berlian di dalam lumpur. Theo hanya membantu membersihkan dan menyepuhnya. Dengan dandanan, tatanan rambut dan pakaian seperti itu, dia yakin, tak ada yang mengira kalau Candice adalah seorang pelayan.
Dia bukan tak menyadari berapa pasang mata yang sudah menatapnya dengan pandangan memuja sejak mereka turun dari mobil. Dan itu membuatnya posesif. Insting primitifnya sebagai seorang pria muncuk dan langsung meroket ke level tertinggi. Rasanya saat ini dia ingin meraung pada jantan manapun yang melihat Candice dengan tatapan yang tak seharusnya. Candice miliknya, Bahkan gadis itu pun mengakuinya sendiri bahwa dia adalah Tuannya.
"Lupakan. Sepertinya malam ini kita tak bisa langsung pulang."
Kepalanya mengangguk. Membuat beberapa helai juntaian ikal di samping kepalanya ikut bergoyang. Theo mengepalkan tangannya erat, menahan dirinya agar tak mengangkat tangannya dan menautkan helaian itu di belakang telinganya.
Sabar, ada saatnya, dia berkata dalam hati.
"Tak apa, Tuan pasti capek karena menyetir sendiri. Maafkan saya karena tak bisa menggantikan Tuan."
"Sepertinya kau melupakan sesuatu tentang kesepakatan kita? Tentang mengucap maaf."
Matanya membola lucu. Dia hendak mengucapkan permintaan maaf lagi, tapi kedua tangannya buru - buru terangkat dan menutup bibirnya. Hal itu membuat Theodore mengerang dalam hati. Tak rela tangan lentik itu yang menutup bibirnya. Tapi dia tak sempat berkata apapun, karena namanya dipanggil untuk naik ke atas panggung dan menerima poenghargaan.
"Tuan, jas anda."
"Tak apa, pakai saja." Katanya mengelus puncak kepala Candice tepat saat kamera menyorot mereka dan berjalan naik ke atas panggung.
***
"Theo, Mon Amour! (Cintaku)"
Dia dan Candice menoleh saat ada seseorang memanggil namanya dengan penuh semangat.
Rahangnya mengeras dan pelukannya di pinggang Candice mengetat posesif. Itu adalah perempuan itu. Perempuan yang menjebaknya dengan mengatakan bahwa dia tengah hamil anaknya. Perempuan yang mengincarnya untuk mencari perhatian pacarnya karena pacarnya terlalu sibuk mengurusi bisnis haramnya. Juliette, pacar Leo, orang yang sering disebut sebagai kakak tirinya. Yang sampai kapanpun tak akan dia akui.
Dia mengelak saat perempuan itu mendekat dengan tangan terlulur hendak memeluknya. Membuat Candice ikut terayun, dan mau tak mau gadis itu harus berpegangan padanya agar tak jatuh. Membuat bagian depan mereka beradu erat. Dia tak keberatan dengan hal ini. Mau diulang sepuluh kali pun dia sanggup, tak keberatan sama sekali.
"Theo?"
"Kau tak lihat aku sedang bersama dengan pasanganku? Atau kau memang semurahan itu untuk menempel pada siapapun?"
Wajah perempuan itu memerah, hingga ke telinga mendengar kalimat pedas yang Theo ucapkan. Tapi pria itu tak peduli. Dia pantas diperlakukan seperti itu.
Mereka sedang berada di pesta perayaan. Pesta kecil yang diselenggarakan oleh penyelenggara acara bagi para nominee dan undangan. Biasanya hanya berisi alkohol dan canape (Makanan kecil). Tak ada makanan berat. Dia sedikit bersalah pada Candice, karena sedari pagi gadis itu belum makan apapun, dan sekarang sudah hampir jam enam sore.
Dia sudah ingin pulang sebenarnya, tapi dia masih harus bertemu dengan beberapa orang. Sekedar beramah tamah dan memperkenalkan dirinya, karena ini debut pertamanya di muka publik. Setengah jam pertama di tempat ini berlangsung lancar. Dia bertemu dan mengobrol bersama beberapa orang. Beberapa lainnya bahkan mengaku adalah penggemarnya, dan menawarkan diri untuk menjadi sponsor bukunya yang akan datang.
Tapi moodnya hancur saat melihat perempuan ini. Juliette. Dia tak menyangka perempuan ini akan berada di sini. Apa hubungan model majalah dewasa ini dengan dunia literasi? Bahwa dia menjadi cover dari buku - buku stensilan yang bahkan tak laku dijual? Yang biasanya diberikan gratis bagi mereka yang datang ke suatu event kelas rendah?
"Kenapa kau bersikap begini padaku? Aku mencarimu ke mana - mana sejak dua bulan yang lalu." Katanya dengan wajah sedih dibuat - buat yang membuat Theodore merasa mual. "Kau tiba - tiba menghilang dan tak bisa dihubungi. Seandainya kau tahu betapa paniknya aku!"
"Seandainya kau tahu gara - gara siapa aku harus pergi dari rumahku? Dan pour ton info (asal kau tahu saja), aku tak ingin dicari olehmu." Jawabnya tajam.
"Theo… kenapa kau bersikap seperti ini?"
"Bukankah seharusnya kau yang paling tahu?" Tiba - tiba mata Juliette tertuju pada Candice. Theo yang menyadari hal itu segera mengambil langkah pencegahan sebelum medusa jadi - jadian itu mulai berulah. Sudah cukup dia dipermalukan oleh perempuan ini di media. Sekali saja, dan Theo sudah mengambil pelajarannya dengan amat baik. Dia tak mau mengulanginya untuk kedua kali. "Permisi, pasanganku tak nyaman berada di sini denganmu."
Kemudian dia menuntun Candice pergi dari sana. Langkahnya terlihat santai, tapi sebenarnya tidak. Dia sedang terburu - buru, bertemu Juliette seperti bertemu dengan mimpi buruknya. Dia merasa jijik dan takut sekaligus. Dia wanita pertama yang nyaris menghancurkannya, mengancamnya dan memanipulasinya. Dia juga nyaris membuat nyawanya terancam jika saja Pak Tua itu tak turun tangan membantunya, dan dia masih bisa muncul di depannya sambil tersenyum seolah tak terjadi apa - apa?! Creepy.
Secara fisik, Juliette sempurna. Meskipun wanita itu mendapatkan beberapa bagian tubuhnya di atas meja operasi, tapi dia mendapatkan hasil yang sempurna. Dengan wajah dan tubuh seperti itu, mudah saja bagi Juliette untuk mendapatkan keinginannya. Terutama soal karir dan uang.
Dia adalah seorang model. Model dari brand ternama. Tapi tak jarang, dia juga melakukan nude photography untuk iseng dan sekedar mendapatkan uang jajan dan proyek yang lebih besar.
Dia tak ragu menggunakan keduanya untuk memudahkannya mencapai tujuannya. Meskipun di bagian terakhir, Theo dan Juliette tak berbeda, tapi setidaknya, dia tak mengumbar affair orang lain demi kepentingannya. Dan dia juga tak membahayakan hidup orang lain karenanya.
Jadi kesimpulannya, dia dan Juliette berbeda. Dia tak mau disamakan dan disejajarkan dengan perempuan medusa itu.
"Tuan…?"
"Hhmm?"
"Eee… Tuan bilang masih ingin bertemu dengan beberapa orang lagi. Tapi saat ini kita sedang menuju ke pintu keluar." Gadis itu mengingatkan takut - takut.
Theo menarik Candice ke cerukan kecil yang ada di antara hall dan pintu keluar, lalu memeluk tubuh mungil pelayannya erat, membuat Candice kaget.
"T-Tuan…"
"Biarkan seperti ini sebentar saja."