Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Mariage with My Pervert Enemy

🇮🇩justris
--
chs / week
--
NOT RATINGS
8.7k
Views
Synopsis
Pram adalah seorang pemburu berita yang kerap mengungkapkan kebenaran sehingga ia memiliki musuh di mana-mana. Namun, siapa sangka keesokan hari setelah naik jabatan, ia justru dinyatakan meninggal oleh Malaikat maut? Pria itu diberi kesempatan untuk hidup lagi dan menemukan dalang di balik pembunuhannua. Dibantu oleh Andaru, seorang gadis yang dicintainya. Pram benar-benar mulai mencari dan mengungkapkan kebenaran atas kasus kematiannya yang dimanipulasi oleh perusahaan.
VIEW MORE

Chapter 1 - 01. Mendadak Mati

"Sebuah pengampunan untuk seorang pendosa. Sebuah keadilan untuk seseorang yang dimanipulasi kematiannya."

Aksama (Sebuah Pengampunan)

***

Malam makin mengelam, sedangkan angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya. Suasana menuju gang kecil rumah susun itu seperti biasa selalu sepi. Satu-satunya lampu yang berada di ujung gang itu sesekali meredup. Beberapa kucing liar melintas untuk mengorek tempat sampah. Cericit tikus got juga terdengar sampai ke telinganya.

Berkali-kali gadis itu menoleh ke belakang, meski tidak mendapati siapapun di sana. Langkahnya semakin cepat seiring dengan deru napas yang makin memburu hebat. Meski hawa dingin begitu terasa malam itu, tapi bulir-bulir keringat jelas menghiasi wajahnya. Hanya berselang satu detik gadis itu terjatuh diikuti teriakan nyaring, tepat saat seekor kucing melompat di depannya.

Gadis itu menunduk, kepalanya hampir menyentuh aspal. Lagi-lagi ia menoleh ke belakang untuk memastikan, tapi saat itu juga dadanya semakin bergemuruh sampai terasa sesak.

"Dia sudah mati!" ucapnya lirih hampir menangis.

Suaranya bergetar, tubuhnya menggigil ketakutan. Gadis itu menatap kedua tangan yang sejak tadi berada dalam saku jaket hitam. Noda darah itu masih ada membuatnya semakin merasa gelisah sekaligus menyesal.

" Tidak! Aku tidak bersalah. Dia sudah mati."

Buru-buru ia bangkit dan berlari menuju ke rumahnya. Sambil terus bergumam tentang kematian seseorang, malam itu adalah hari terakhir ia melintas di gang tersebut.

"Dia sudah mati," bisiknya di sepanjang jalanan gelap.

***

Pria itu tersenyum melihat headline berita yang tercetak tebal dan mencolok pada sebuah halaman surat kabar. Hari ini lagi-lagi ia merasa bangga karena berita yang dua hari lalu ia rilis masih menjadi perbincangan hangat di kalangan publik. Siapa yang tidak tertarik dengan berita besar lepasnya seorang narapidana dari jeruji besi. Akhirnya seorang tersangka pembunuhan berantai yang tinggal menunggu waktu untuk dijatuhi hukuman mati.

Sedetik kemudian ia meletakkan surat kabar tersebut di atas meja kemudian menyeruput kopi pahit seperti biasa. Ia tidak akan pernah mengawali pagi sebelum menikmati secangkir espresso. Diraihnya sebuah jas berwarna abu gelap yang senada dengan celana bahan yang ia kenakan. Tak lupa sebuah jam tangan mahal berwarna hitam mengkilap terpasang di pergelangan tangan kanan.

Setelah dirasa cukup, pria itu meraih sebuah tas kulit lalu menyandangnya di salah satu bahu. Ia sudah siap untuk berangkat kerja. Hari ini, ia akan menulis lagi sebuah berita yang akan menjadi trending dan menjadi pusat perhatian publik. Tentu saja ia bersemangat untuk membuka kasus-kasus yang sengaja disembunyikan kebusukannya dari publik. Jika hukum di negara ini tidak bisa berjalan dengan bagaimana semestinya, maka ia akan melakukan apapun yang ia bisa untuk mengungkapkan kebenaran. Terkesan berlebihan?

Tentu saja tidak, pria itu sudah cukup muak dengan siklus hidup yang kaya makin sempurna, yang miskin makin menderita. Segaris senyum tersungging di bibir, sebab ingat semalam ia baru saja mendapatkan pesta setelah berhasil naik pangkat menjadi general manager sekaligus perayaan hari ulang tahunnya yang ke dua puluh delapan.

Yah, selain bekerja sekarang ia hanya perlu fokus untuk mencari calon istri yang cantik.

"Pramoedya Bagaskara. Tinggi 187cm, berat 70kg, lahir 17 Oktober 1990, meninggal pada tanggal 17 Oktober 2018. Malam Jumat Kliwon pukul satu dini hari."

Senyum di bibirnya lenyap, ia berhenti tepat di depan pintu kamar yang belum terbuka. Suara berat yang tidak familier itu dengan gamblang menyebutkan nama, tinggi, bahkan berat badan, juga tanggal lahirnya. Namun, kalimat terakhir yang ia dengar sangat mengganggu.

Pram kemudian menoleh dan mendapati seseorang berdiri tepat di samping kasurnya.

"Wois, sialan!" teriaknya benar-benar terkejut.

Tubuhnya hampir saja limbung jika tidak bersandar pada pintu. Sebelah tangannya menyentuh dada, kemudian ia sadar bahwa seorang yang berada di dalam kamarnya itu terlalu lancang. Pram bahkan tidak tahu kapan tamu itu masuk.

"Siapa kau?" kerutan di dahi Pram semakin menjadi. "Kurang ajar masuk kamar orang sembarangan. Maling, ya?!" Pram membenarkan letak dasi yang miring di lehernya.

Ia menatap sosok tinggi berjubah hitam yang membelakanginya itu secara intens. Benar-benar tinggi. Kepalanya saja hampir menyentuh langit-langit kamar Pram. Tapi, sungguh, Pram tidak bisa mengerti dari mana sosok laki-laki itu datang.

"Kau sudah mati, Pram."

Kedua alis Pram semakin menyatu heran, pria itu tertawa kecil, sedetik kemudian dahinya berkerut mendengarnya. Pram melangkah lebih dekat, tapi ia tidak benar-benar berani untuk melihat siapa tamu tak diundang tersebut.

"Tidak usah bercanda. Aku sudah terlambat, kalau memang kau hanya ingin membuat lelucon, lebih baik pergi dari rumahku sekarang."

"Pramoedya Bagaskara, kau sudah mati."

Lagi-lagi kalimat itu dilontarkan. Pram geram, ia balik badan dan memilih untuk memanggil satpam perumahan. Kebetulan ponselnya berada di ruang tamu, jadi ia harus bergegas keluar dan meminta pihak keamanan untuk menyeret penyusup yang masuk ke kamarnya itu. Akan tetapi, sial pintu kamarnya mendadak tidak bisa dibuka. Padahal sudah jelas pintu itu tidak terkunci.

"Aku malaikat pencabut nyawa yang akan mengantarkanmu ke dunia arwah." Sosok tinggi itu kembali bersuara sambil mengamati Pram dari balik tudung kepala yang menutupi sebagian wajah. Saat Pram menoleh ia sudah mendapati aura yang tidak enak.

"Berengsek. Kau itu sebenarnya siapa? Aku tidak mengenalmu, jadi tidak usah banyak bicara dan keluar dari rumahku sekarang juga!"

Brak!

Nakas yang berada di dekat tempat tidurnya terbang kemudian terbalik menjadi berantakan hanya dalam sekedip mata. Tepat saat sosok hitam yang mengaku sebagai malaikat maut itu mengangkat satu tangannya ke atas. Pram jelas terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat. Kakinya gemetar, tangannya masih berusaha membuka pintu dan berhasil.

Ia berlari secepat mungkin untuk keluar dari rumahnya sendiri. Bagaimana mungkin ia sudah mati, dan siapa juga yang mau mendengar lelucon aneh dari seorang penyusup yang mengaku sebagai malaikat maut. Pagi yang sangat-sangat buruk bagi seorang Pramoedya Bagaskara.

"Lari sejauh mungkin, tapi kau tidak akan bisa menghindari takdir," ucap sosok hitam tersebut.

Pria itu masih berlari hingga tanpa sadar ia sudah berdiri di teras depan pintu rumahnya. Pram membeku di tempat. Ia menatap sekeliling lantas meraba dada dan wajahnya sendiri. Sedetik kemudian ia memutar tubuh dan mendapati pintu utama rumahnya masih tertutup rapat. Mendadak wajahnya pucat pasi.

"Tidak mungkin!"

Pria itu kemudian berlari menuju halte bus seperti biasa. Semua ini hanya halusinasi karena ia terlalu lelah bekerja. Tentu saja, Pram selalu lembur untuk mendapatkan berita terbaik dan eksklusif. Karena itu juga ia bisa mendapatkan jabatan baru yang lebih tinggi. Pram yakin ia sudah membuka pintu dan kembali menutupnya dengan cepat tanpa sadar. Tentu saja, semua itu terjadi karena ia sudah melakukannya selama bertahun-tahun, sungguh tidak masuk akal jika ia bisa menembus pintu begitu saja, 'kan? Pikiran itu masih menggantung di kepalanya.

Pria itu memilih duduk di tengah seperti biasa. Ia melirik jam tangan, lima belas menit lagi ia nyaris saja terlambat.

"Sialan memang! Gara-gara penyusup biadab itu, aku pasti terlambat!" ocehnya.

Beberapa orang mulai mengisi halte, sehingga tempat duduk semakin penuh. Pram bersedekap dada melihat wanita tua yang hendak mencuri kursinya. Ia bahkan pura-pura tertidur agar tidak melihat ekspresi melas tersebut.

Namun, satu keanehan kembali terjadi. Pram kembali terdiam diserang ribuan tanya yang menggantung di kepalanya. Cowok itu menoleh ke kanan dan kiri, orang-orang sibuk dengan ponsel dan surat kabar di tangan mereka. Tubuhnya seperti dilewati oleh angin saat wanita tua tersebut duduk tepat di tempatnya. Ia seperti sedang memangku wanita tersebut, tapi Pram hanya terlihat sebagai bayangan tipis. Pram semakin takut mengingat ucapan si penyusup barusan.

Tanpa sengaja matanya melirik ke sebelah kanan di mana seorang pria tua membaca sebuah surat kabar terbitan kantornya. Di sana Pram melihat dirinya yang terkapar bersimbah darah. Dengan headline judul yang terlihat tebal dan mencolok.

"White Horse berduka. General Manager meninggal karena kecelakaan maut."

"Tidak mungkin!" ucapnya tidak percaya.

Pria itu merasakan keringat mengalir deras di pelipis, perasaannya kacau, pikirannya penuh dengan segudang tanya yang makin membengkak dalam kepala. Demi apapun, hari ini Pram ...

Bagaimana bisa ia mati? Kenapa juga ia harus mati? Ia masih sehat dan tidak memiliki penyakit kronis sama-sekali. Pikir Pram masih sahut-menyahut dalam benak. Pria itu masih terdiam menatap kepergian orang-orang yang mulai menaiki bus dan membawanya pergi. Pram terpaku menatap kedua tangannya dengan tanda tanya.

Ini hanya mimpi!

Batinnya masih meyakinkan.

"Tidak mungkin." ia masih bergumam sendirian.

"Ini mustahil! Aku tidak mungkin mati!"

Pria itu berdiri dan memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia harus memeriksa bahwa semua ini adalah kesalahan. Ia tidak boleh mati. Tidak, begitu saja! Pram sudah bekerja keras selama ini, susah payah ia merangkak naik untuk berada di posisi ini, dan tiba-tiba ia mati begitu saja?

Bercandanya jelek, Bung!

Pram bahkan belum menikahi seorang wanita cantik. Tidak, ia tidak boleh mati. Tapi, sialnya lagi-lagi ia menemukan kejanggalan saat melewati mini market. Pram melihat dengan jelas orang-orang yang berlalu-lalang lewat dinding kaca mini market. Namun, ia tidak melihat pantulan dirinya di sana. Bahkan Pram merasakan bahwa orang-orang melewatinya begitu saja seperti angin. Ia benar-benar tidak terlihat. Kenyataan itu membuat Pram semakin ketar-ketir.

Pram mempercepat larinya. Setibanya di rumah tanpa membuka pintu ia menerobos ke kamar. Sosok tinggi hitam misterius itu masih berdiri di tempat semula.

"Bagaimana mungkin?" ucap Pram terengah-engah.