Chereads / Mariage with My Pervert Enemy / Chapter 4 - 04. Petunjuk Pertama

Chapter 4 - 04. Petunjuk Pertama

Lagi dan lagi, suara seruputan Pram yang cukup keras kembali terdengar. Entah sudah gelas es yang keberapa lagi Pram menandaskan isinya dan memindahkan ke dalam perut.

Sebab kini gelas plastik yang menyisakan beberapa butir es batu itu dikocok dengan gemas. Pram membuka tutup gelas plastik tersebut lalu mengangkat gelas itu dengan posisi terbalik agar tetes terakhir dari es kopi itu masuk ke mulutnya. Pria itu mengunyah es batu dengan santai sambil menyadarkan punggung pada sandaran kursi plastik disusul dengan helaan napas panjang.

Kedua mata sedang Pram menyipit. Siang ini terlalu terik, terlalu berat juga untuk Pram. Jadi, ia memutuskan untuk singgah di kedai kopi dan memesan dua gelas es kopi hitam yang kini sudah berpindah ke perutnya. Ah, atau lebih? Entahlah, sudah berapa gelas es kopi yang ia minum siang itu.

"Kenapa hari ini panas sekali, sih?" ucapnya sambil mengunyah es batu.

Pria itu memilih duduk di luar, di bawah payung besar. Di sekelilingnya ada banyak jenis bunga yang ditanam dalam pot kecil dan disusun dengan apik. Suara lagu band indie mengalun merdu, meski tak begitu terdengar dari luar. Akan tetapi, Pram turut mengangguk-anggukkan kepalanya seperti burung pelatuk. Kaca mata hitam yang tadi ia kenakan sudah turun di ujung hidungnya yang bangir. Pram melepaskan topi hitam yang ia kenakan, lalu meletakkannya di salah satu lutut. Pria itu menepuk-nepuk lututnya sendiri seperti orang bodoh disusul tawa hiperbolis.

"Dasar pengecut!" teriak Pram membuat orang-orang yang melintas berhenti menatapnya bingung.

Sayangnya Pram sudah terlanjur kesal dengan apa yang ia dapatkan hari ini. Ia bermaksud masuk ke ruang kerjanya, tapi Pram justru berdiri seperti orang bodoh di seberang gedung White Horse. Kedua tangannya bergerak ke belakang menyurai sebelum sedetik kemudian menjambak rambutnya gemas lantas memilih berdiri dari kursi. Topi hitam itu kembali ia kenakan, dengan langkah tergesa Pram terus mengumpati dirinya sendiri.

Lebih tepatnya, mengumpati hidup yang tak pernah berjalan sesuai dengan rencananya. Brengsek memang!

Pram sudah bertekad, ia akan mengambil rencana B yang sudah ia siapkan dengan matang. Jadi, Pram berencana untuk melakukan operasi plastik. Dengan wajah baru Pram akan kembali melamar di perusahannya dan dengan begitu, ia bisa lebih mudah keluar masuk tanpa khawatir dikenali oleh orang lain.

Bagus sekali. Itu bahkan sudah terdengar sangat tidak masuk akal!

Operasi juga pasti membutuhkan waktu yang sangat panjang, belum lagi masa pemulihan, apa dengan sisa waktu yang singkat itu Pram bisa menemukan kebenaran? Apakah dengan waktu yang singkat itu Pram bisa menangkap siapa pelaku di balik pembunuhannya? Bahkan perusahaan tempatnya bekerja saja tidak menuliskan berita yang benar. Pram yakin, ada sesuatu yang sedang ditutupi dari kematiannya ini.

Lagi pula Pram juga tidak sepenuhnya yakin bisa menemukan hal yang bisa membantunya untuk menyeberang ke dunia arwah di kantornya itu.

'Kenapa aku? Kesalahan apa yang sudah kuperbuat? Sampai aku harus mati? Sekarang, apa yang harus kulakukan?!'

Pertanyaan itu terus memenuhi benak Pram, bagaimanapun juga menerima kenyataan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Pram bingung, juga putus asa, sedangkan ia sendiri tidak memiliki banyak kenalan dekat di kantor. Semuanya hanya sebatas rekan kerja, jadi ia benar-benar bingung harus meminta tolong pada siapa.

Karena pikirannya sedang kacau, Pram tidak memperhatikan jalanan di sekitarnya. Pria itu menubruk seorang gadis sampai tersungkur. Kresek belanjaan yang dibawa jatuh membuat isinya berceceran keluar. Gadis itu masih terduduk di jalanan sambil mengaduh.

"Eis, sialan! Kalau jalan lihat-lihat! Memang kau pikir jalanan ini punya moyangmu?!" maki Pram gemas.

"Ma ... maaf, aku tidak sengaja," balas gadis itu pelan.

Sedetik kemudian Pram menepuk kedua pipinya sendiri dengan kencang. Pria itu menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran yang mengganggu. Ia segera membungkuk dan membantu mengemasi barang belanjaan yang berceceran. Pram sadar, ia terlalu emosi dan meluapkan semuanya kepada orang lain.

"Tidak, tidak. Bukan begitu, maksudku! Aku yang salah, maaf, ya?" Pram masih mengumpulkan jeruk yang berceceran dan memasukkannya ke dalam kresek.

Namun, suara itu membuat si gadis bersurai hitam panjang tersebut berhenti mengumpulkan belanjaannya. Matanya sudah berkabut, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Suara itu ... ia mengenalinya. Begitu ia menoleh, jantungnya benar-benar serasa dihunus dengan ribuan pisau.

"Ka ... kau?"

"Bagaimana mungkin?" kedua telapak tangannya membekap mulut tak percaya dengan siapa yang dilihat dengan jarak sangat dekat saat itu.

Pram masih belum sadar dengan reaksi si gadis sebelum kemudian ia menoleh dan keduanya saling bersipandang. Mata Pram membulat sempurna.

"Lintang?"

Gadis itu menggeleng tak percaya. Perlahan ia berdiri tanpa mengalihkan pandangan dari Pramoedya.

"Malam itu ... kau ... kau, sudah mati," ucapnya terbata-bata. Tangis gadis itu sudah terlihat jelas di kedua mata sendunya.

Pram tidak begitu terkejut melihat reaksi gadis di depannya. Gadis yang setiap pagi ia sapa dengan sebutan Lintang itu juga pasti sudah membaca surat kabar, jadi mana mungkin dia tidak tahu tentang kematiannya. Gadis itu berlari menjauh dengan langkah yang tidak stabil. Sedangkan Pram hanya menghela napas menatap kepergian Lintang yang semakin menjauh. Seseorang yang tidak begitu dekat dengannya saja bisa sekaget itu melihat Pram, bagaimana dengan orang-orang kantor, apalagi yang setiap hari ia temui? Mendadak kepalanya pening membayangkan semua itu terjadi.

"Malaikat maut, tolong jemput aku sekarang! Aku tidak tahu harus berbuat apa?" Pram duduk di tepi trotoar meraup wajahnya dengan gemas.

"Aku harus bagaimana, sialan?!" gumam Pram tak henti-hentinya mengumpat entah pada siapa.

"Kenapa juga tidak ada saksi mata malam itu? Kenapa orang-orang tidak tahu kalau ada orang yang sekarat, sih? Harusnya malam itu aku tidak mati begitu saja!"

Mendadak sebuah lampu menyala dalam kepala Pram yang sejak tadi gelap dan suram. Pria itu menoleh ke samping ke mana Lintang pergi barusan. Buru-buru ia bangkit untuk mengejar Lintang, karena Pram yakin, Lintang sempat mengucapkan kata kuncinya.

Benar!

Pram bergegas beranjak dari duduk dan mencari keberadaan wanita barusan. Pram yakin akan menemukan jawaban lewat wanita itu. Pasti ada jalan hari ini, setidaknya meski hanya satu petunjuk yang akan ia dapatkan. Tetapi, Pram selalu meyakini bahwa, sebuah pencapaian besar selalu terkumpul dari hal-hal kecil yang ditekuni. Seperti bagaimana selama ini ia bekerja menjadi seorang pemburu berita.

Pram tak pernah segan untuk menanyai pertanyaan klasik kepada para narasumber yang ia temui. Karena dengan begitulah ia dapat menulis sebuah berita eksklusif, yang benar-benar detail dan akurat.

***

"Kau pasti sudah gila!" Pria paruh baya dengan setelan jas mahal dan rambut klimis itu nyaris saja mengumpat dengan keras menyaksikan mayat yang sudah tak berbentuk lagi di depannya.

Ia melengos, sedetik kemudian menghela napas berat. Bagaimana mungkin ia bisa berurusan dengan seseorang yang sangat mengerikan.

"Kau juga pasti sudah lupa, kalau aku memang gila," balas lawan bicaranya seraya mengusap pisau yang penuh dengan lumuran darah dengan tangan.

Sebuah seringai tampak jelas menghiasi wajahnya. Laki-laki itu melirik pria paruh baya yang berdiri tak jauh darinya.

"Cepat tepati semua ucapanmu, sebelum kau menyesali semuanya."

"Tidak dalam waktu dekat," jawab pria itu, "kondisinya masih belum kondusif, kalau kau memaksanya untuk pergi secepatnya, semuanya akan tambah runyam."

Ia mengusap wajah dengan sebelah tangan, lantas menghela napas kali ini lebih berat dari sebelumnya.

"Tunggu kabar dariku dan jangan bertindak bodoh kalau kau ingin hidup dengan nyaman."