Chereads / Mariage with My Pervert Enemy / Chapter 3 - 03. Kesempatan Kedua (?)

Chapter 3 - 03. Kesempatan Kedua (?)

"Manusia selalu memiliki harapan, bahkan mungkin mereka yang berbeda alam. Sedangkan harapan selalu datang bersama dengan rasa putus asa. Sebab ketika mereka tak mendapatkan apa yang diinginkan, maka yang tersisa hanya tentang kekecewaan. Entah itu dalam kehidupan ataupun kematian. Semuanya sama, harapan adalah hal yang fana. Harapan adalah hal yang menghancurkan." - Pramoedya.

***

"Bersiaplah menuju ke neraka, Pramoedya Bagaskara."

Syut!

Trisula itu dilepaskan tepat pada jantung Pram. Atma hitam penuh dendam itu lenyap menjadi abu yang beterbangan dibawa angin.

***

Pram terbangun dari tidur dengan napas yang memburu. Dadanya terasa sakit seperti benar-benar ditikam dengan benda tajam. Buliran peluh sebesar biji jagung menghiasi dahi dan pelipisnya. Pria itu bergegas meraba nadi di tangan, bahkan Pram juga menyentuh dadanya sendiri. Jantung yang masih berdetak membuat Pram merasa lega. Ia melemparkan tubuh pada sandaran sofa sambil mengatur napas yang masih naik-turun dengan mata terpejam.

Selang beberapa detik Pram membuka mata, ia bergidik ngeri mengingat mimpi buruk yang baru saja ia dapati. Semua itu terasa nyata, sampai-sampai Pram masih gemetar ketakutan hingga detik ini. Ia melihat sekeliling rumah yang masih serupa sejak beberapa hari lalu. Satu hal yang membedakan adalah, saat ini ada begitu banyak bungkus makanan ringan, juga piring dan gelas kotor di atas meja. Beberapa kulit kacang dan bungkus makanan juga berceceran di lantai. Pram bahkan tidak ingat sudah berapa lama ia menjadi seperti ini. Seperti seorang pengangguran yang tidak berguna. Meskipun kenyataannya ia memang seorang pengangguran.

Tanpa sengaja Pram melirik gelang yang masih melingkar di tangannya. Tujuh dari seratus butir mutiara itu sudah menghitam, menandakan bahwa sudah tujuh hari sejak kematiannya. Yang berarti juga sudah tujuh hari Pram menyia-nyiakan kesempatan untuk menyeberang ke dunia arwah sebagai sukma yang bersih. Sekali lagi Pram menggeleng berusaha mengenyahkan mimpi buruk yang masih terbayang olehnya. Ia tidak ingin menjadi arwah pendendam yang mengerikan seperti apa yang baru saja ia saksikan. Pria itu beranjak dari sofa, dan segera membereskan semua kekacauan yang ia ciptakan sendiri.

"Aih, sialan! Sejak kapan aku jadi jorok begini, sih?" Pram terus mengumpat sambil membersihkan sampah makanannya sendiri.

Di sudut ruangan gelap, sosok hitam yang berada di sana tersenyum puas. Harusnya sejak kemarin ia memberikan peringatan seperti barusan kepada Pram, agar pria itu tak membuang-buang waktu dan bergegas menemukan dalang di balik kematiannya.

***

Pria itu mematut penampilannya di depan cermin yang berada di dalam kamar. Pram sudah memutuskan akan keluar rumah hari ini, ia akan melakukan apapun, dan mencari apa saja yang bisa menuntun dirinya untuk menemukan penyebab kematiannya. Pram sudah bertekad untuk datang ke kantor White Horse untuk menemukan teka-teki yang mungkin saja bisa ia pecahkan.

Pram sedikit membungkuk kemudian mendekatkan wajahnya ke cermin, ia mengelus dagunya sendiri lalu tersenyum.

"Biarpun sudah jadi setan, ternyata aku masih tampan juga, ya," ucapnya bangga.

"Sayang aku tidak tau kalau hidup ini singkat sekali."

Sedetik kemudian ia kembali menegakkan tubuh, Pram menghela napas pendek. Ia menatap pantulan dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Hari ini Pram mengenakan setelan serba hitam, bahkan lengkap dengan kaca mata dan juga sebuah topi hitam yang hampir menutupi wajahnya. Pria itu menurunkan kaca mata hitam yang dikenakan sampai ke pangkal hidung, dahinya mengkerut kali ini.

"Sepertinya ini terlalu mencolok, deh." Pram melepaskan jaket hitam yang ia kenakan dan menggantinya dengan kemeja biru dongker.

Sekali lagi ia mematut penampilan di depan cermin dan melakukan pose selayaknya model. Pria itu tersenyum percaya diri melihat setelannya yang sangat stylish. Celana jin hitam, kaos putih polos yang dibalut dengan kemeja biru dongker over size, dan topi hitam yang sengaja di balik moncongnya ke belakang.

"Sayang kau udah mati," gumamnya tertawa miris sambil melenggang pergi dari kamar.

***

Kedua tangan itu mengepal di sisi tubuh. Matanya masih mengamati setiap orang yang ramai keluar masuk dari pintu utama sebuah gedung berantai lima. Wajar saja, pria itu datang tepat pukul dua belas tengah hari, waktu di mana para karyawan bergantian untuk makan siang.

Tepat di seberang jalan, Pram masih mematung di sana sejak setengah jam yang lalu. Selain untuk melindungi mata agar tidak kesilauan karena terik matahari, topi hitam yang ia kenakan juga berguna sebagai alat kamuflase agar tidak ada karyawan yang mengenalinya. Pasalnya sejak tadi Pram masih ragu dengan keputusannya untuk datang ke White Horse. Padahal ia harus mengecek ruang kerjanya, barangkali kali ada sesuatu yang bisa ia temukan untuk dijadikan petunjuk.

Pria itu memasukkan kedua tangannya yang gemetar ke dalam saku celana. Lagi-lagi ia menghela napas pendek. Sekali lagi Pram mendongak untuk menatap bangunan megah yang selama tujuh tahun menjadi tempat penghasil uang baginya. Menjadi tempat yang sangat berharga pula untuk seorang Pram. Sebab sudah terlalu banyak kenangan yang terukir di sana untuk Pram. Tempat bersejarah yang menjadi saksi perjuangannya untuk merangkak naik demi kehidupan yang lebih baik.

Pram menelan salivanya susah payah. Tenggorokannya terasa tercekat karena menahan perasaan campur aduk yang mulai muncul ke permukaan. Hancur, sesak, tidak adil, dan semua tentang hitam kelam yang ia lalui. Mungkin Tuhan memang sengaja menyiapkan buku takdir sehitam malam untuk Pramoedya sejak dalam kandungan. Sebab sejak kecil, hampir seluruh hidupnya diisi dengan kisah melankolis.

Aih, Pram mendadak menjadi emosional. Pria itu menghela napas berkali-kali sambil mengusap mata yang sudah berkabut.

Bisa dikatakan bahwa Pram adalah tipe laki-laki berhati hello kitty. Pria itu memiliki hati yang sangat lembut dan perhatian. Pram menggelengkan kepala kuat-kuat.

"Ck, Berengsek! Jangan cengeng. Ingat umur, Pram!" gumamnya memaki diri sendiri.

Perlahan kakinya mundur selangkah demi selangkah, ia sudah memutuskan untuk pergi dari sana. "Tidak. Tidak seperti ini," bisik Pram.

"Ini bukan ide yang bagus. Tidak lucu kalau sampai aku ketahuan, bisa-bisa justru membuat keributan orang satu kantor."

Setelah lama berdiri di sana kakinya mundur selangkah. Pram memutuskan pergi dari sana dan memikirkan cara lain untuk bisa masuk ke gedung White Horse. Langkahnya cepat di antara banyaknya orang yang berlalu-lalang di trotoar. Menjadi orang yang sudah mati, tapi tidak benar-benar meninggalkan dunia ini.

Haruskah Pram hidup dengan identitas baru?

***

"Sekiranya semua sudah jelas, Rapat hari ini saya sudahi," ucap pria paruh baya itu formal.

Semua orang dalam ruangan itu bertepuk tangan sambil menyunggingkan sebuah senyum. Mereka semua baru saja mengadakan rapat dadakan untuk pengangkatan Menejer umum yang baru. Pasalnya, seminggu yang lalu White Horse kehilangan seorang karyawan muda yang sangat berbakat, jabatan Menejer hanya sehari melekat pada Pramoedya. Kini seorang pria seusia Pram yang tak kalah cerdik telah mengisi poisi Menejer umum yang sempat kosong selama beberapa waktu lalu.

Orang-orang berpakaian formal dan rapi itu mulai keluar meninggalkan ruang rapat. Tentunya setelah mereka sempat memberikan selamat kepada Lesmana Kumbara. Seorang pria muda yang berhasil masuk ke White Horse bersama dengan Pram karena keduanya adalah teman seperjuangan. Pramoedya dan Bara juga sempat menjadi teman sekelas waktu SMA, mereka berpisah setelah hari kelulusan. Bara sempat mengambil kuliah di luar negeri karena keinginan orang tuanya. Sedangkan Pram melanjutkan ke Universitas Indonesia karena ia mendapatkan beasiswa di sana. Setelah sekian lama keduanya tidak pernah bertemu, Pram dan Bara menjadi teman akrab di kantor. Keduanya sering makan siang bersama, bahkan sesekali Bara mengantarkan Pram pulang dengan mobilnya.

Bisa dibilang, selain Presdir Wijaya, Bara adalah seseorang yang tahu kelamnya masa lalu Pramoedya. Pria itu cukup terkejut dengan berita kematian Pram yang sangat mendadak. Bahkan artikel milik Bara-lah yang kemudian disetujui oleh Presdir Wijaya untuk diterbitkan dalam surat kabar.

"Selamat ya, Bara." Wayan Wijaya selaku presiden perusahaan tersebut memberikan ucapan kepada Bara.

Pria berambut klimis itu tidak bisa menyembunyikan senyum bahagianya. Bara menyambut uluran tangan Wijaya seraya menunduk memberi hormat.

"Aku harap kau bisa melakukan yang terbaik untuk perusahaan kita, sama seperti Pramoedya," imbuhnya.

Mendengar kalimat barusan, senyum di bibir Bara mendadak lenyap tak berbekas. Pria itu mendadak bungkam dan terus menunduk menatap sepatunya sendiri. Ia melepaskan tangan Wijaya kemudian membungkuk sekali lagi.

"Sekarang kau bisa kembali ke ruanganmu."

Pria paruh baya yang terkenal murah senyum dan selalu merangkul karyawannya itu menepuk bahu Bara layaknya seorang bapak dan anak. Sebelum sesaat kemudian ia berbalik, sekertarisnya sudah berdiri di depan pintu menyunggingkan senyum.

"Ada tamu yang memaksa ingin bertemu, Pak." Wanita itu berucap sopan.

Presdir Wijaya menoleh, ia mengerutkan dahi, seingatnya rapat hari ini adalah jadwal terakhir yang ia miliki.

"Baik, Presdir. Terima kasih banyak, saya permisi," ucap Bara membungkuk untuk berpamitan.

Pria itu berbalik untuk pergi setelah mendapat anggukan persetujuan dari atasannya. Bara sempat berpapasan dengan seorang pria, yang saat itu masuk tanpa permisi ke ruang rapat untuk menemui Presdir Wijaya. Matanya sempat melirik ke dalam ruangan sebelum Bara menutup pintu dengan sempurna.

"Siapa, Mbak?" tanya Bara heran.

Mengingat penampilan lelaki tadi sangat jauh dari kata rapi. Kemeja kotak-kotak hitam yang tidak dikancingkan, dan celana jins robek-robek di beberapa bagian. Sekretaris wanita itu mengangkat bahu tidak yakin.

"Katanya, sih Presdir Wijaya mempunya anak laki-laki yang nakal, mungkin dia orangnya," terka wanita itu.

"Benar-benar tidak punya sopan santun, mau masuk saja sudah membuat keributan dengan Satpam," sambungnya gemas.

"Hus! Tidak boleh begitu, Mbak," katanya, "nanti kalau ada yang mendengar, bahaya." Bara tertawa kecil mendapat pukulan ringan di lengannya.

Pria itu menatap sebentar pintu yang sudah tertutup sebelum keduanya bergegas pergi beriringan menjauhi ruangan tersebut.

***

"Mission complete, He is die!"

Setelah cukup lama gamang dengan apa yang ia jadikan pilihan. Akhirnya sepotong pesan yang dikirim oleh seseorang itu ia hapus juga.

"Bukan aku pembunuhnya," gumamnya pelan.

"Takdirmu memang sesingkat itu, Pram." Ia tersenyum tipis melanjutkan kalimatnya tanpa lawan bicara.