"Bagaimana mungkin?" Pria itu menerobos masuk ke dalam kamar dengan napas memburu.
Ia bahkan membanting tas kerjanya ke sembarang arah, tak peduli lagi bahwa tas itu adalah barang mahal pemberian bosnya semalam karena pekerjaannya yang selalu memuaskan.
"Ini tidak masuk akal. Ini gila! Kau pasti sudah gila, 'kan?" teriak Pram lagi.
"Sudah kukatakan, kau itu sudah mati, Pramoedya."
Pram menarik rambutnya dengan frustrasi. Pria itu berjalan maju selangkah kemudian mundur lagi dengan helaan napas berat. Lagi pula, siapa yang tidak terkejut dengan kematian mendadak seperti ini? Pram yakin, benar-benar yakin bahwa semalam ia baik-baik saja. Bahkan ia baru saja melakukan pesta minum alkohol seperti orang gila.
"Bagaimana mungkin aku bisa mati?"
Pram jelas tidak punya penyakit kronis, ia juga sudah bekerja keras selama ini.
"Aku bahkan belum menikah dan kau bilang aku sudah mati?" Pram tertawa hambar. "Ini pasti hanya mimpi, 'kan? Tolong katakan kalau ini semua hanya mimpi!"
Ia mengepalkan kedua tangan di samping tubuh. Napasnya tak beraturan dengan wajah yang sudah kacau ia menatap sosok hitam di depannya itu memohon penjelasan.
"Aku kecelakaan?" Pram tertawa. Jemarinya menyurai rambut hitam yang berantakan ke belakang.
"Mustahil! Aku bahkan tidak ingat apa pun. Ini benar-benar tidak masuk akal. Ini pasti hanya halusinasi atau mimpi buruk, 'kan?"
Brak!
Sebuah sinar muncul dari tangan malaikat maut yang mendorong tubuh Pram hingga membentur pintu dengan keras. Cowok itu terduduk di sana sambil mengeliat dan sesekali terbatuk-batuk.
"Terimalah nasibmu, dan cepat temukan penyebab kematianmu."
Sedetik kemudian sebuah cahaya kembali bersinar terang. Kali ini sebuah gelang mutiara bening berjumlah seratus butiran kecil melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pram masih meringis sakit sambil menatap gelang di tangannya itu.
"Waktumu seratus hari mulai hari ini. Ragamu akan tetap utuh seperti manusia biasa, tapi sukmamu tidak akan bertahan lama. Temukan penyebab kematianmu, lalu aku akan menjemput untuk menyeberang ke dunia arwah."
Pram tertawa kencang kali ini. Matanya masih memaku gelang mutiara yang baru saja melingkar di sana. Jika memang ini semua adalah kenyataan, ia benar-benar merasa tidak adil. Semuanya terlalu mendadak dan menakutkan untuk diterima begitu saja.
"Kau 'kan, malaikat maut, harusnya kau lebih tahu, bagaimana aku mati. Kenapa aku harus mencari tahu sendiri?"
"Jangan bercanda Pramoedya! "
"Aku tidak sedang bercanda keparat!" teriak Pram. "Memang siapa yang siap untuk dihadapkan dengan kematian mendadak seperti ini?"
Napasnya terengah menahan amarah dan perasaan lain yang sulit dijelaskan. Sesak juga sakit di dadanya. Pram benar-benar belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan bahwa ia sudah menjadi arwah gentayangan.
"Selama seratus hari ini, aku hanya akan menikmati hidup yang singkat."
"Kalau dalam seratus hari kau tidak menemukan penyebab kematianmu yang sebenarnya, kau akan selamanya terjebak di dunia ini dan menjadi arwah pendendam. Selama seratus hari kau akan berubah wujud menjadi manusia pada umumnya, tapi sukmamu tidak akan bisa bertahan selamanya." Bayangan hitam itu tampak bergerak pelan.
" Jadi, gunakan waktumu sebaik mungkin. Atau kau akan menyesalinya."
Pram termangu menatap gelang mutiara yang melingkar di tangan. Semua itu terjadi secara mendadak dan tiba-tiba. Pram benar-benar tidak tahu harus melakukan apa.
***
Hari kedua setelah kematiannya.
Malaikat maut itu tidak muncul lagi, padahal Pram ingin menanyakan banyak hal. Seperti, apa yang harus ia cari tahu tentang kematiannya? Apa yang harus ia lakukan, dan siapa orang yang harus ia curigai? Pram sangat berharap malaikat maut itu akan memberikan sedikit petunjuk padanya.
Jika memang ia meninggal karena kecelakaan maut, seharusnya masih ada pemberitaan tentang kematiannya di televisi, surat kabar, atau portal internet. Akan tetapi, ia hanya menemukan satu berita tentang kematiannya yang menceritakan bahwa, Pram terlalu mabuk sepulang dari pesta. Ia menyeberang tanpa melihat-lihat sehingga sebuah truk menghantam tubuhnya dengan keras kemudian ia meninggal di tempat.
Hanya itu.
White Horse juga tidak mengeluarkan artikel tentangnya lagi setelah itu. Bahkan jika memang itu sebuah kecelakaan besar, ini baru hari kedua setelah kematiannya. Mestinya berita itu masih hangat dan dibicarakan oleh masyarakat. Apa lagi mengingat posisi Pram yang selalu mendapat perhatian di kantor, harusnya ada banyak artikel bela sungkawa dari perusahaan surat kabar yang paling terkenal itu. Pram menghela napas panjang.
Mungkin ia harus mencari tahu tentang pengemudi truk yang sudah menabraknya malam itu. Sialnya, Pram bahkan tidak ingat truk seperti apa yang sudah membuat nyawanya melayang. Dalam satu artikel tentang kematiannya itu juga tidak disebutkan tipe truk dan plat nomornya. Ini memang sedikit janggal. Seolah-olah kebenaran tentang kematiannya dikubur begitu saja.
Atau, memang Pram saja yang merasa sudah menjadi orang yang sok penting?
Pria itu mendengus lagi seraya menjambak rambut dengan frustrasi. Pram mengeram di atas sofa, bingung memikirkan kemungkinan yang terjadi padanya.
"Sialan, sialan, sialan!" teriaknya geram.
"Sudah mati pun, kenapa masih rumit, sih?" Pram bergumam kesal.
Pram berdiri dan menuju ke dapur. Saat ini ia masih berwujud seperti manusia biasa, ia juga akan merasa lapar dan haus seperti manusia pada umumnya. Pram membuka kulkas kemudian meraih sebuah botol berisi air putih. Ia menjatuhkan diri di kursi, lalu meneguk air dalam botol sampai setengah kosong. Angannya kembali berkelana memikirkan hari-hari terakhir sebelum ia mati. Namun, ia benar-benar tidak mengingat apapun selain pesta perayaan malam itu.
"Apa aku harus tanya ke Presdir Wijaya? Dia pasti tau kejadiannya seperti apa." Pram menimang.
"Benar, tidak mungkin dia tidak tau. Semalam dia bahkan mengantarkan aku pulang, 'kan?"
Akan tetapi, menurutnya itu bukan ide yang bagus. Pram tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi bos sekaligus sahabatnya itu saat mendapati dirinya yang sudah mati, malah mendatanginya dengan kondisi yang masih utuh dan baik-baik saja.
"Kamu tinggal mengaku, kalau sebenarnya kamu itu adalah arwah yang sedang mencari tahu penyebab kematianmu."
Bisikan itu muncul dari telinganya. Pram mengangguk, ia berdiri sejenak untuk berpikir. Namun, hanya berselang sedetik pria itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia berteriak dan menghempaskan tubuh ke atas sofa seperti posisi semula.
"Aiish, aku pasti sudah gila?! Bagaimana caranya? Yang ada aku malah dikira orang gila. Bertemu dengan malaikat maut? Yang benar saja!" Lagi-lagi Pram mencak-mencak sambil mengacak rambut.
Baru sehari ia berusaha mencari penyebab kematiannya, tapi Pram sudah menyerah. Pikirnya ia adalah orang yang sudah mati, lagi pula masa depannya hanya tinggal sembilan puluh delapan hari lagi. Dan selama ini ia belum benar-benar menikmati hidup. Selama hidup pria tinggi, dengan kulit putih, mata sipit serta wajah yang tidak bisa dibilang jelek itu selalu menjadi sosok yang perfectionist.
Entah itu di bidang pekerjaan, juga dalam kehidupan sehari-hari. Pram juga seorang yang mempunyai ambisi tinggi, karena itu juga di usianya yang masih terbilang muda ia sudah menjadi Manajer umum. Namun, sayang. Itu cuma berlangsung sehari sebelum ia mati kemudian. Hidup memang selucu itu.
Pram menyalakan televisi, ia menggonta-ganti stasiun TV yang dipenuhi dengan berita napi yang sedang lepas dari kandangnya. Pria itu tertawa miris melihat kenyataan bahwa ternyata kematian seseorang tidak lebih penting dari lepasnya seorang pembunuh berantai. Bahkan perusahaannya sama-sekali tidak mengeluarkan pernyataan baru terkait dirinya. Pram cukup sakit hati dengan kenyataan tersebut.
"Hidup memang sekejam itu, Pram. Kerja keras dan jasamu, sudah mati bersama ragamu," gumamnya penuh nada dramatis.
Lantas pria itu memutuskan untuk menonton kartun animasi. Ia kembali berdiri untuk mengambil amunisi sebanyak mungkin dari dalam kulkas. Untuk sembilan puluh delapan hari ke depan, ia adalah seorang pengangguran tampan yang akan menikmati sisa hidupnya.
***
Sosok hitam gelap itu melayang di udara tanpa tujuan. Matanya merah menatap orang-orang yang sedang melintas. Sepasang kaki yang menapaki jalanan, tangan yang saling bergandengan, raga yang masih utuh tempat bernaungnya sukma, ditambah suara nyaring tawa manusia itu membuatnya merasa marah. Ia masih ingat seperti apa perjuangannya dulu yang begitu berat. Di mana sempat ia ditolak sebuah perusahaan karena pendidikannya yang bisa dikatakan standar. Ia juga tidak terlahir sebagai seseorang yang memegang sendok emas atau perak. Kehidupannya sudah pelik dari kecil. Untuk makan sesuap nasi saja, kedua orang tuanya harus mati-matian bekerja banting tulang.
Bahkan menginjak usia tujuh tahun, Pram sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya. Bapaknya meninggal karena kecelakaan kerja, lalu selang enam bulan kemudian ibunya menyusul karena sering sakit-sakitan. Ia tidak mempunyai sanak-saudara lagi. Lalu oleh seorang tetangga, Pram yang berusia tujuh tahun diantarkan ke panti asuhan. Di situlah semuanya bermula. Pram ingin hidupnya lebih baik saat dewasa nanti. Akan tetapi, saat ia baru saja menerima hasil dari kerja kerasnya selama ini. Pram justru meninggal dengan janggal.
Sosok hitam tanpa raga itu melesat seperti angin dan mendekati seorang pemuda yang sedang murung. Pemuda yang mengingatkan Pram pada masa lalunya yang kelam. Bajunya kumal, dan tatapan penuh keputus asaan itu membuat Pram ingin merasuki pemuda tersebut. Secepat cahaya, Pram melesat masuk ke tubuh pemuda di depannya. Kini Pram memiliki wadah untuk atma-nya yang sudah lama berkeliaran tak kasat mata manusia.
Tubuh pemuda itu kini sepenuhnya dikuasai oleh Pram. Dengan perasaan penuh kebencian dan dendam, Pram menubruk setiap orang yang berjalan di dekatnya. Jika orang itu tidak terima, Pram akan menghajarnya hingga kemudian meninggal. Ia tidak akan membiarkan manusia hidup bahagia. Pram ingin semua orang merasakan apa yang dulu ia rasakan, bahkan setelah kematiannya. Dengan demikian, barulah Pram merasa semuanya adil.
Mendadak semua kerusuhan yang Pram ciptakan berhenti. Semua orang-orang tidak bergerak dari posisinya. Seperti ada yang sengaja menghentikan pergerakan waktu. Pram menatap sekeliling dengan kebingung, lantas menghentikan aksinya memukuli seorang pria tua yang sudah babak-belur karena tak sengaja menyenggolnya.
Pria itu berdiri menyapu pandangan ke seluruh jalanan yang sepi. Semuanya benar-benar berhenti. Suasana yang tadinya ramai kini menjadi senyap dan mencekam. Angin bertiup kencang seiring awan yang mendadak berubah semakin gelap. Suara gemuruh mulai terdengar seperti akan datang badai. Di tengah kebingungannya itu, datang malaikat maut dengan aura gelap yang selalu mengiringi. Pram menyambutnya dengan tawa sinis sambil menatap sosok hitam yang membuatnya muak tersebut. Pria itu keluar dari raga pemuda yang ia singgahi, membuat raga tanpa roh itu secara alami tergeletak di aspal jalanan.
"Jangan harap kau bisa menangkapku dengan gampang."
"Dasar bodoh! Kali ini kai tidak akan pernah bisa kabur lagi dariku, Arwah pendendam sialan!" ucap Malaikat maut.
Pram mundur selangkah, ia memang bukan tandingan malaikat maut. Namun, untuk urusan kabur, arwah pendendam adalah sosok yang akan melesat paling cepat. Karena dendam dan rasa kebencian itulah, selama ini roh Pram masih berkeliaran di dunia. Ia terjebak dan selalu menjadi buronan malaikat maut.
"Coba saja! Aku tidak akan berhenti sampai semua orang merasakan apa yang pernah aku rasakan," balas Pram.
Mata merah itu menajam dan semakin membara. Aura hitam dari arwah Pram semakin terasa nyata, bahkan malaikat pencabut nyawa turut merasakan dendam yang mendalam tersebut.
"Kau yang bodoh! Sudah kuberikan waktu, tapi selama itu kau hanya bermain-main. Dasar tidak berguna. Diam di situ dan terima ini."
Suara petir menggelegar hebat hingga terlihat kilat-kilat yang menyala di angkasa. Angin bertiup semakin kencang menerbangkan dedaunan kering, juga sampah-sampah plastik yang berada di sekitar jalanan. Pram spontan menatap ke langit, sedangkan malaikat maut dengan cepat mengangkat tangannya ke atas lalu menarik petir tersebut dan melepaskannya ke arah Pram. Sosok hitam penuh dengan amarah dan dendam itu terpelanting ke belakang. Pram mendarat keras di aspal, ia mengeliat kesakitan memegangi dadanya.
Pram masih terengah-engah, belum sempat ia bangkit untuk melarikan diri. Malaikat maut itu sudah melayang di atasnya memegang sebuah trisula.
"Bersiaplah menuju ke neraka, Pramoedya Bagaskara."
Syut!
Trisula itu dilepaskan tepat pada jantung Pram. Atma hitam penuh dendam itu lenyap menjadi abu yang beterbangan dibawa angin.
***