Chereads / Suddenly Married With Stranger / Chapter 5 - Putus Dan Takdir

Chapter 5 - Putus Dan Takdir

Café Moonbuck

Delikan membuat seorang pria ingin sekali berdecak sebal, tapi ia mencoba mengabaikan dan tetap menjatuhkan bokong dengan santai di kursi berhadapan dengan sang kekasih.

Brugh!

Ia juga segera melihat ke arah meja dan tidak menemukan apapun tersaji di sana. Sehingga dengan otomatis alisnya terangkat, bertanya dengan si kekasih yang menggelengkan kepalanya singkat, meski delikan kini sudah digantikan dengan wajah berlipat.

"Kamu belum memesan minuman atau makanan?" tanya si pria heran.

"Belum."

Singkat sekali jawabannya, tapi sekali lagi ia tak acuh dan mengangguk kecil.

"Kalau begitu biar aku yang pesankan," putusnya seraya mengangkat tangan memanggil pelayan yang segera menghampiri meja keduanya.

"Pesan apa, Mas?" tanya si pelayan dan ia segera melihat ke arah kekasihnya. Namun sayang, wanita itu justru melengoskan wajah kemudian mendengkus kesal dengan terang-terangan.

Apakah dia tidak lelah mendengkus seperti itu? huft…, batinnya lelah.

Sekali lagi ia hanya mampu menggelengkan kepala, kemudian melihat ke arah si pelayan yang masih tersenyum ramah di sampingnya.

"Vanilla latte dingin, dua yah Mas," ucapnya dan si pelayan segera mencatat. Namun, ia dan si pelayan segera menoleh ke arah satu-satunya wanita di meja, saat keduanya mendengar suara decakan sebal yang kembali terdengar.

"Ck!"

Jangan bilang kalau aku melupakan minuman kesukaannya, tebak si pria dalam hati dan binggo, ternyata tebakan itu memang benar adanya.

"Kamu bagaimana sih Vian, minuman kesukaan aku pun tidak ingat, sudah berapa waktu yang kita habiskan bersama?" sewot Nindita dan si pria—Vian hanya bisa memijat lehernya yang sedikit pegal, karena terlalu banyak mengerjakan laporan tanpa istirahat.

Ya, ia adalah Vian—Viandra yang memenuhi janjinya kepada sang kekasih, seperti yang diucapkannya di awal.

"Sorry."

Vian hanya bergumam dengan nada biasa, karena jujur saja ia sendiri bukan seorang pria yang suka mengingat, kalau tidak ingin dibilang seorang pria yang cueknya kelewatan.

Mungkin ini juga sebabnya, sang kekasih selalu kesal karena ia yang tidak perhatian dan sangat sibuk dengan perusahaan yang sedang dikembangkannya.

"Huh!" dengkus Nindita, kembali melengos seraya menyebutkan pesanannya kepada si pelayan. "Capucino ice extra wipe cream," lanjutnya sedikit ketus, dengan bola mata tetap ke arah Vian yang lagi-lagi hanya bisa membatin.

Astaga! Aku baru sadar, jika aku sudah hidup bersama kekasihku yang suka marah selama satu tahun, sesungguhnya itu adalah rekor dalam hidupku selama menjalin hubungan dengan banyak wanita. Percayalah…, batinnya ketika melihat sendiri tingkah sang kekasih.

Sebenarnya, Vian sendiri paling lama berpacaran mungkin sekitar tiga bulan lalu kandas dengan banyak alasan, miris kah? Tidak juga, karena ia pun sebenarnya tidak memiliki perasaan di dalam hubungan itu, bisa dibilang hambar.

Ia masih belum menemukan apa itu cinta. Jadi, jangan mengasihaninya. Kasihanilah mereka, yang berjuang mendapatkan cinta seorang Vian meski tidak kunjung dibalas, meskipun pada saat bersamaan ia mengencani semua wanita.

Ya, ia memang mengencani banyak wanita, tapi sesunggunya ia tidak benar-benar mencintai para mantannya.

Sebenarnya ada sedikit rahasia kenapa sampai Vian menerima cinta para wanita tanpa mencintai. Namun untuk itu nanti saja akan dijelaskan, karena ia merasa harus fokus lebih dulu ke masalah sang kekasih di hadapannya.

"Baik! Jadi, satu vanilla latte dan satu capucino ice ekstra wipe cream. Ada lagi yang ingin dipesan?" tanya si pelayan.

"Tidak, terima kasih," sahut Vian cepat, kemudian keduanya pun ditinggal dan minuman pun datang tidak lama setelah si pelayan meminta menunggu.

"Silakan diminum."

"Hum."

Vian hanya bergumam dan Nindita sendiri segera menyambar minuman, hingga akhirnya sekarang di meja benar-benar hanya berdua. Cukup lama keduanya saling berdiam dengan masing-masing meminum yang disesap.

Baik Vian atau Nindita tidak akan yang membuka suara, saling menunggu bahkan si wanita yang mengajak pun membisu, tanpa mengatakan apa maksudnya meminta si pria untuk datang ke cafe.

Seharusnya Nindita tahu, jika di waktu seperti ini banyak sekali pekerjaan yang harus kekasihnya selesaikan. Untung saja Vian memiliki asisten kepercayaan, sekaligus merangkap sebagai sahabat karib yang sudah dianggap seperti saudara.

10 menit berlalu …

Vian melihat dengan gelisah ke sebuah arloji dan menemukan jika waktu meeting hampir tiba. Awalnya ia berniat untuk menegur kekasihnya, tapi ternyata kalah cepat dengan pernyataan mengejutkan yang membuatnya terdiam seketika.

"Aku mau kita putus, Vian," ujar Nindita tanpa melihat ke arah sang kekasih yang segera mengangkat alis bingung dengan ucapan yang tiba-tiba.

"Putus?" Vian mengulangi lagi pernyataan itu, takut jika ini adalah kesalahan akan pendengarannya yang ia rasa masih baik-baik saja.

"Iya, putus. Aku sudah muak hidup dengamu," jelas Nindita mengulangi perkatannya dengan nada yakin, bahkan wanita itu menatap Vian dengan sorot mata tajam.

Aneh sekali, padahal wanita itu yang memintanya untuk menjadikan seorang kekasih. Namun, si wanita juga yang meminta putus.

Sungguh, sebenarnya Vian sudah pernah mengalami ini dan kejadianya sama seperti yang sudah-sudah. Lagian, ia juga merasa hubungan mereka sudah hambar. Alhasil, ia membalas santai pernyataan dengan si wanita yang kini menatapnya tidak percaya.

"Terserah."

"Kenapa kamu tidak bertanya kenapa aku ingin putus darimu, Vian? Apa kamu selama ini tidak pernah mencintaiku, barang seujung kuku?" tanya Nindita mencerca.

"Kamu yang minta putus, kenapa aku harus mencegahnya. Itu keputusanmu, aku tidak menyuruhmu untuk meminta putus 'kan," sahut Vian santai dan Nindita tampak berdiri dari duduknya, berjalan meninggalkan meja setelah mengacungkan jari tengah dengan kalimat makian kepadanya.

"Pria sialan! Mati saja kau!"

Makian Nindita berhasil mendapat banyak perhatian pengunjung kafe yang melihat ke arah Vian yang ditinggal, mungkin penasaran kenapa ada pria dimaki oleh seorang wanita.

Ck, aku malas menjadi tontonan seperti ini, batinnya kesal.

Dengan begitu, ia pun ikut meninggalkan cafe setelah membayar tagihan minuman keduanya.

Dan ini adalah kali kesekian Vian putus dari kekasihnya. Bukan pengalaman pertama pula baginya putus dan kemudian kembali menjalin sebuah hubungan baru, dengan seorang wanita lainnya yang pasti lebih dulu mendekatinya, sebenarnya.

Vian memiliki banyak mantan kekasih di hidupnya. Namun sayang, belum ada seorang wanita pun yang membuat jantungnya berdebar, layaknya orang normal yang sedang jatuh cinta kepada pasanganya.

Apakah suatu saat nanti aku akan bisa merasakan saat jantungku berdebar karena cinta? Entah, aku sudah lelah. Mungkin setelah ini, kedua orang tuaku akan menyodorkan aku seorang wanita untuk aku nikahi. Tapi sungguh sekali lagi itu terserah, aku sudah lelah.

Vian hanya bisa bertanya dalam hati dan pasrah, sambil meninggalkan café karena malas menjadi tontonan banyak orang yang disebabkan oleh hal menyebalkan.

Ketika ia keluar dari dalam café, pemandangan yang membuatnya terdiam dengan surai dikukurnya sedikit heran. Di depan sana, ia lagi-lagi melihat pemandangan seorang remaja dikejar oleh dua pria, tapi sayang sekali ia tidak bisa melihat bagaimana wajah itu dengan jelas karena letaknya sangat jauh.

"Dua kali hari ini aku melihat hal seperti ini, apakah ini takdir? Huh! Yang benar saja," gumamnya geli sendiri.

Dan akhirnya ia memasuki mobil, meninggalkan café yang rasanya tidak ingin kembali ia datangi karena insiden memalukan ini.

Bersambung