Sany yang kebingungan melihat penculikan Chika sesaat kehilangan akal sehatnya. Pikirannya buntu dan tidak tahu harus mengatakan apa. Sany digiring mengikuti salah satu pengawal berbadan kekar untuk menunggu Chika di salah satu café yang ada di sana. Sany yang kebingungan sendirian hanya bisa melongo tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Menghilangnya Chika membuat dia semakin bingung. Sany ketakutan dan mencemaskan keadaan Chika.
"Icha kamu dimana? Aku kebingungan dan tidak mengerti kamu ada dimana sekarang," pikir Sany dengan galau.
Sany melihat di sekelilingnya pria kekar yang berdiri di samping Sany kini berbicara dengan pemilik café ini, sepertinya mereka bekerja sama. Sany melihat mereka saling berbisik dan mengakibatkan mata Sany semakin awas karena pengawal itu menunjuk ke bagian dalam dari cafe itu. Pemilik café itu menganggukkan kepalanya, kemudian pengawal itu mendorong tubuh Sany agar segera masuk ke dalam ruangan yang di tunjukkan pemilik café tersebut.
Sany terpaksa mengikuti pria itu dan meminta Sany untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Dia menunjuk ke dalam dengan jari telunjuknya, Sany akan memprotesnya tetapi pandangan galak pria itu membuat nyali Sany menciut seketika. Dia hanya bisa merasakan kesedihan karena dia masih belum mengerti kejadian yang menimpa mereka berdua.
Drttt, drttt.
Sany merasakan getaran ponsel di dalam tasnya kemudian dia keluarkan dan melihat panggilan dari Damian. Sany segera mengangkatnya dan mengatakan,
"Kak Damian tol …," katanya dengan suara terputus.
Pengawal itu ternyata menarik ponsel yang di pegang Sany dan menatapnya dengan marah.
"Tidak boleh menghubungi siapapun," katanya dengan gusar.
Damian yang masih mendengar perkataan pria itu kebingungan dan marah kepada Sany serta Chika.
"Sudah dibilang tidak boleh ada pria lain. Siapa pria yang bersama mereka?" pikir Damian kesal.
"Laki – laki kurang ajar itu, beraninya dia mematikan ponsel padahal aku masih ingin berbicara dengan Sany," pikirnya lagi.
"Tapi sepertinya suara Sany terdengar ketakutan, sebaiknya aku melacak keberadaan mereka," pikirnya lagi.
Damian memanggil Pak Kim dan meminta bantuannya agar melacak keberadaan Sany dengan bantuan ahli IT dari perusahaannya. Damian kebingungan kemana perginya Sany dan Chika, serta suara pria yang ada di telepon Sany membuat perasaannya tidak nyaman.
"Pak Kim coba kamu lacak tempat nomor telepon ini berada," katanya lagi dengan penuh kecurigaan.
Kim sang Asisten Damian selama di Korea Selatan, bergerak cepat dan dia segera menerima nomor telepon tersebut dan meminta salah seorang ahli IT yang ada di kantornya untuk melacak nomor tersebut. Kebetulan dia mempunyai relasi di kantor kepolisian Seoul.
Damian yang frustasi tidak bisa menghubungi Sany dan Chika membuat dia semakin marah kepada dirinya sendiri.
"Seandainya tadi aku meminta salah seorang anggota Kim untuk mengawal mereka, mungkin saja aku akan lebih mudah melacak keberadaan mereka," bathinnya lahi.
Damian semakin jengkel karena Kim masih belum juga datang menunjukkan hasil pencariannya. Damian yang masih duduk di ruang kerjanya semakin cemas menunggu telepon dari Sany, mana tahu Sany meneleponnya kembali. Damian sudah mencobanya beberapa kali tadi tetapi telepon itu tidak tersambung.
Damian yang kesal duduk di kursi kerjanya dengan memejamkan matanya, meredakan kemarahan yang hampir saja mengusainya dan akan menumpahkannya kepada sekretarisnya.
Sekretaris Damian adalah seorang wanita berkebangsaan Indonesia, Damian memang sengaja mempekerjakan seorang wanita Indonesia untuk memudahkan dia dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Tok, tok, tok.
Sekretarisnya ragu untuk mengetuk pintu, karena dia tahu hari ini Damian tidak bisa di ganggu. Karena dia menebak ada hubungannya dengan nomor telepon yang sekarang sedang di lacak oleh Asistennya Tuan Kim.
Dengan pandangan dingin Damian melihat ke arah pintu dan dia menatap dingin sekretarisnya sudah membuka daun pintu ketika dia mengijinkannya masuk.
"Ada apa? Saya tidak ingin di ganggu," katanya lagi.
"Maaf Pak, saya hanya mengingatkan jadwal meeting bapak dengan Tuan Park," katanya lagi.
"Jadwal ulang kembali!" katanya lagi.
"Tapi Pak, Tuan Park tidak dapat menerima reschedul jadwal. Dia orangnya sangat menepati janji, kalau tidak kita bisa dikenai pinalti," kata sekretaris itu lagi.
"Kamu ini, kalau memang mau kena pinalti biarkan saja. Kalau perlu batalkan saja perjanjian bisnis kami. Hari ini saya tidak ingin diganggu, apa kamu tahu?" tanya dengan penuh amarah.
Sekretaris itu hanya bisa mengangguk menerima perintah Damian, sekarang dia meyakini Damian sedang dalam suasana hati yang tidak baik.
"Sebaiknya aku segera menyingkir dari sini, sebelum dia benar – benar marah kepadaku," katanya lagi.
Sekretaris segera kembali secepat kilat dan kembali ke mejanya. Wajah Damian semakin menggelap karena Kim masih saja belum memberikan hasilnya kepada Damian.
"Kim kamu dimana sekarang?" tanya dengan kesal.
"Saya masih di ruang IT tuan, karena kita harus meminta otoritas setempat. Karena melacak keberadaan orang tidak boleh sembarangan orang melakukannya," kata Kim kembali.
"Baiklah segera kamu kerjakan dan bawa segera alamat dimana pemilik telepon itu,"
Damian segera menutup telepnnya dan dia semakin mencemaskan mereka berdua. Damian tidak akan memafkan dirinya, karena mereka berdua adalah orang -orang yang dia sayangi. Damian berdoa semoga saja tidak terjadi apapun pada mereka berdua.
Tok, tok, tok.
"Apalagi Lola, sudah saya katakan semuanya di reschedule kembali!" bentak Damian dengan marah.
"Tuan saya bukan Lola, saya Kim!" katanya sambil membuka sedikit daun pintu dan meminta ijin agar Damian membiarkannya masuk.
"Silahkan Tuan Kim! Apa kamu sudah mendapatkan dimana lokasinya?" tanya lagi dengan tidak sabaran.
"Mereka ada di salah satu Kafe di daerah Dongdaemun Tuan," katanya lagi.
"Kim segera kumpul anak buahmu, perasaanku tidak nyaman," katanya Damian.
"Aku akan ikut bersamamu, sekarang juga kita berangkat!" perintahnya lagi.
"Baik Tuan, akan saya laksanakan! Tetapi apa perlu kita menghubungi polisi setempat?" tanya Kim kembali.
"Jangan dulu Kim, persoalannya kita tidak tahu apakah mereka memang benar – benar kesulitan atau bagaimana," kata Damian lagi.
"Sekarang juga kamu mengumpulkan mereka dan setelah mereka terkumpul di bawah kamu segera menghubungi kamu," kata Damian lagi.
Ruangan kantor Damian memang berada di lantai paling tinggi di di Gedung ini. Kim segera turun mengumpulkan anak buahnya, mereka tidak boleh membuang waktunya lagi.
"Apakah kamu sudah siap mengumpulkan mereka?" tanya lagi begitu Kim menghubunginya melalui ponselnya.
"Sudah Tuan," katanya Kim lagi.
Damian segera menyambar jas yang di sampirkan di kursinya kemudian segera kelaur dari ruang kerjanya. Sesampainya di lantai bawah Damian melihat Kim sudah mengkoordinir anak buanya dan mereka sudah duduk di dalam mobil dengan sabar menunggu Damian. Ada dua mobil yang mengikuti mobil Damian dan mereka segera menuju Dongdaemun.
"Awas siapapun yang berani mencelakai mereka mereka tidaka kan pernah kuampuni, seujung rambutpun tidak ada yang boleh tercabut," kata Damian dengan geram.