Kevin memuntahkan cairan dari dalam mulutnya saat tiba di halaman rumah. Marisa berjongkok sambil dengan sabar memijat-mijat leher belakang Kevin.
Dan setelah itu Marisa memapah Kevin masuk ke dalam rumah, masih dibantu oleh Joni. Kemudian membaringkan tubuh Kevin di atas ranjang.
Setelah memuntahkan isi perutnya tadi mungkin Kevin sudah merasa lega. Terbukti ia bisa tertidur dengan pulas. Berbeda dengan Marisa.
Marisa duduk di atas ranjangnya dengan memeluk kedua lututnya. Yang ia khawatirkan kalau sampai Debi mengetahui tentang masalah ini bagaimana?
Apa dia akan shock? Atau malah akan marah pada Marisa? Karena menyalahkannya?
***
Pagi harinya Marisa bangun lebih awal. Ia memulai aktivitas seperti biasanya. Meskipun memiliki asisten rumah tangga, terkadang Marisa hanya akan menyuruh Siti untuk menyiapkan bahan masakan saja, dan Marisa akan turun tangan langsung untuk memasak. Hal itu semata karena ia memang suka memasak.
"Ini nyonya, sudah saya siapkan semua, seperti yang nyonya mau," ucap Siti.
"Oke. Makasih mbak Siti, makasih ya. Sekarang saya minta tolong kamu setrikain baju tuan. Udah saya siapin kok," perintah Marisa.
Siti mengangguk mengerti. "Sama-sama nyonya, kalau begitu saya akan permisi menyetrika baju nyonya dan tuan dulu," sahut Siti seraya berpamitan. Ia kemudian gegas meninggalkan Marisa menuju ke ruangan untuk menyetrika.
Setelah itu Marisa mulai memasak. Ia benar-benar sangat lincah dan andal dalam hal memasak. Dulu saat masih awal rumah tangga dengan Kevin, dan hidup mereka masih susah. Tanpa asisten rumah tangga Marisa melayani pesanan catering untuk teman-teman kantor Kevin, yang saat itu suaminya masih berstatus sebagai karyawan, bukan bos seperti sekarang.
Setelah beberapa saat berkutat di dapur, akhirnya masakan Marisa telah selesai. Ia kemudian beranjak naik ke lantai dua untuk membangunkan Kevin.
Saat Marisa memutar knop pintu kamarnya, ia melihat Kevin masih tertidur pulas. Marisa lalu memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Barulah setelah itu membangunkan Kevin.
Marisa berdecap. Karena setelah selesai mandi pun Kevin ternyata belum bangun. Ia kemudian menggelengkan kepalanya lalu mendekati Kevin.
Marisa mengguncangkan lengan Kevin. "Vin, bangun! Udah siang," suruh Marisa.
Yang dibangunkan membuka matanya lamat-lamat, Marisa bergerak menyingkap tirai-tirai jendela yang ada di kamarnya, agar cahaya matahari dapat masuk.
Cahaya matahari yang menyilaukan mata, namun membuat hangat ruangan itu akhirnya membuat kesadaran Kevin semakin penuh. Ia sudah tak merasa mengantuk lagi kini.
Wajah Kevin murung mengingat perusahaannya yang kini hampir diujung tanduk.
Marisa kemudian duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan Kevin. "Segeralah mandi. Setelah itu kita sarapan," ajak Marisa penuh kelembutan. "Aku udah masakin masakan kesukaan kamu," imbuhnya, agar suaminya segera sarapan pagi itu.
Hari itu Kevin sangat tidak bersemangat untuk ke kantor. Ia bahkan tidak menghiraukan ucapan Marisa yang menyuruhnya mandi. Tatapan matanya bahkan kosong.
Sekali melihat tatapan matanya yang kosong itu, Marisa bisa langsung bisa ikut merasakan apa yang Kevin rasakan. Ia tahu suaminya sedang kacau saat ini.
Marisa kemudian mengelus pundak suaminya. Niatnya ingin memberikan semangat. Namun ego Kevin sebagai seorang suami menolaknya.
"Aku akan mandi," ucap Kevin. Ia bangkit dari tempat tidurnya lalu pergi ke kamar mandi.
Mata Marisa bergetar. Sakit memang, mendapat perlakuan seperti itu dari suaminya sendiri. Setelah usaha kerasnya memasak masakan kesukaan suaminya pagi-pagi sekali seperti tadi.
Namun Marisa tidak bisa berbuat apa-apa, selain menatap bayangan suaminya dari tempat tidur menuju ke kamar mandi. Hingga bayangan itu menghilang dibalik tembok kamar mandi.
Marisa berusaha mengabaikan rasa kecewanya kepada Kevin. Dengan hati yang hancur ia kembali ke bawah, menunggu Kevin untuk sarapan.
Sudah beberapa menit Marisa duduk di kursi yang ada di meja makan. Ia dengan sabar menunggu Kevin turun dan sarapan. Marisa yang sedikit bosan menyibukkan diri dengan ponselnya untuk mengecek pekerjaannya.
Setengah jam berlalu Marisa menunggu Kevin. Dan akhirnya sesosok bayangan yang ia nantikan itu akhirnya turun dari tangga. Suaminya turun sudah dengan setelan jas yang rapi.
Marisa berdiri setelah Kevin sudah berada di sampingnya. Dengan senyuman yang lembut Marisa mengambil piring untuk Kevin. "Ayo makan, aku akan ambilkan-"
Kalimat Marisa terpotong oleh Kevin, padahal ia hampir saja menuang nasi di atas piring.
"Aku sangat sibuk, dan tidak bisa sarapan pagi ini di rumah," sambar Kevin.
Marisa tentu saja terkejut. Tidak biasanya Kevin bersikap seperti ini. Walau sibuk Kevin masih menyempatkan waktu untuk sarapan. Marisa menatap Kevin dengan gamang.
"Kamu kan tidak ada jadwal penting pagi ini? Apa sesibuk itu sampai tidak bisa sarapan?" tanya Marisa.
"Ya pokoknya aku sibuk. Sudahlah jangan manja! kalau mau sarapan, kamu bisa sarapan sendiri," jawab Kevin.
"Tapi yang aku lihat jadwal kamu melalui Lia memang tidak sepadat itu?" Marisa masih berusaha berunding. Ini tidak boleh terjadi. Ia ngotot mengajak Kevin sarapan.
Marisa selalu bertanya jadwal Kevin kepada sekertarisnya. Jadi ia tahu betul kesibukan Kevin.
"Kenapa? Karena perusahaan sedang tidak bagus seperti ini kamu pikir aku tidak punya jadwal penting?" tanya Kevin dengan nada membentak. "Ah, sudahlah, jangan urusi urusanku dulu." Setelah itu Kevin pergi dari hadapan Marisa dengan angkuhnya dan berjalan menuju ke mobilnya.
Marisa tercenung. Matanya kabur menatap kepergian Kevin. Ke mana suaminya yang biasanya lemah lembut dan sangat perhatian kepadanya?
Tanpa sadar bulir bening mulai keluar dari matanya. Marisa terpaku di tempatnya tanpa kata-kata. Untuk sesaat Marisa limbung dan tak bisa berpikir apa-apa. Karena baru pertama kali ini Kevin bersikap seperti ini.
Marisa bukan wanita yang lemah. Walaupun Kevin tak jadi sarapan pagi ini. Ia tetap bertekad sehat, sehingga ia mengambil piring untuknya sendiri dan menambahkan lauk serta sayur di atasnya, kemudian makan.
Marisa berusaha menghalau perasaan sedihnya, kemudian mulai makan, walau tak bisa lahap. Ia juga berusaha memaklumi sikap Kevin yang saat ini terlampau sensitif akibat persoalan yang terjadi di perusahaannya.
Sesaat setelah selesai sarapan ponsel Marisa bergetar. Sebuah pesan masuk. Dan ternyata dari Rina, yang menyuruhnya untuk segera ke toko bunga.
Rina : Apa kamu masih di rumah?
"Tumben ni anak chat jam segini," gumam Marisa. Ia biasanya datang terlebih dahulu dari Rina. Ini bukan berarti Rina profesional. Melainkan Marisa yang terlampau rajin saja.
Marisa : Aku masih di rumah. Kenapa Rin?
Rina : Ada temen aku mau bikin projek, dan mau kerjasama dengan kita. Dan ini feenya gede.
Marisa tak henti-hentinya mengucap syukur, karena sekali lagi mendapatkan projek besar. Dan itu artinya ia bisa membantu meringankan beban suaminya yang sedang dalam kesulitan.
Marisa : Syukurlah Rin. Aku seneng banget dengernya.
Marisa : Aku akan berangkat sekarang. Tunggu ya!
Rina : Baiklah. Jangan tergesa-gesa, dan hati-hati di jalan.
Marisa langsung meninggalkan meja makan tanpa melihat lagi chat terakhir dari Rina. Ia gegas menuju ke halaman depan dan masuk ke mobilnya. Dalam sekejap mobilnya sudah melaju kencang meninggalkan rumahnya.
Lima belas menit kemudian Marisa sampai di florist miliknya. Saat turun dari mobil Marisa melihat sudah ada mobil lain yang terparkir di sana, terasa tak asing bagi marisa, tapi milik siapa? Ia mencoba mengingat-ingat nya, namun tetap saja belum bisa menemukan jawaban siapa pemilik dari mobil itu.
Apa mobil kliennya?