"Kita sambung kapan-kapan ya Di, aku harus segera pergi," pamit Carissa tergesa-gesa.
Edi melambaikan tangannya ke udara, dan mencoba mencegah Carissa pergi. "Jangan pergi dulu Ris, kita belum sempat bertukar nomor ponsel lho," sahut Edi.
Namun Carissa tetap pergi, yang sudah berjalan beberapa langkah lalu membalikkan badan. "Kamu bisa hubungi aku lewat sosial media aku. Tulis aja nama lengkap aku, nanti juga ketemu." Setelah itu Carissa benar-benar pergi, bayangannya mengecil, kemudian tak terlihat lagi.
Edi kemudian menurunkan tangannya dan menghela napas. "Hah anak itu. Kalau terburu-buru kenapa tadi harus mampir?"
Setelah selesai melahap habis makanannya. Edi yang merasa masih penasaran kemudian mencari informasi lewat sosial media Carissa.
Sudah hampir setengah jam Edi mengamati sosial media milik Carissa.
Dan ia betah karena di sana terdapat foto-foto yang menampilkan keseksian tubuh Carissa.
Saking asyiknya berselancar di sosial media milik Carissa. Edi sampai lupa meminta nomor ponsel milik Carissa.
Edi menepuk jidatnya sendiri. "Sampai lupa mau minta nomor Carissa aku," gumamnya. Edi lalu menulis pesan di media sosial Carissa.
'Hallo Carissa, ini aku Edi, mau minta nomor ponsel kamu'
***
Marisa telah menemui sekertaris Kevin, untuk menyesuaikan jadwal. Dan rencananya mereka akan berangkat minggu ini. Marisa juga sudah memutuskan untuk tidak menerima projek apapun minggu ini.
Seperti biasanya. Sebelum pergi liburan Kevin dan Marisa akan berpamitan kepada Debi.
Maka sehari sebelum berangkat mereka ke rumah Debi. Kevin sengaja pulang lebih cepat dari kantor, sedangkan Marisa menutup floristnya sore itu karena memang sudah waktunya tutup.
Kevin menjemput Marisa sore itu. Mereka memang memakai satu mobil hari itu. Agar lebih praktis saja.
"Kita beli kue kesukaan ibu dulu ya Vin," cetus Marisa, ketika sudah ada di dalam mobil. Ia paham betul kesukaan dari ibu mertuanya.
"Iya," jawab Kevin dengan singkat.
Beberapa menit kemudian Kevin dan Marisa sampai di rumah Debi. Marisa turun dengan wajah yang cerah sambil menenteng paper bag berisi kue kesukaan Debi.
Ketika sampai di dalam rumah, Kevin dan Marisa tak kunjung menemukan Debi. Mereka malah bertemu asisten rumah tangga Debi.
"Ibu saya mana bi?" tanya Kevin kepada asisten rumah tangga Debi, yang ia panggil dengan sebutan 'bibi'
"Oh, nyonya besar ada di kamar tuan Kevin," jawab si bibi. "Nyonya besar lagi sakit beberapa hari ini," imbuh bibi.
Kevin mengerutkan keningnya. Sebelumnya ibunya tak memberi tahu jika ia sedang sakit. Jadi mendengar pengakuan dari bibi tadi membuatnya menjadi sedikit terkejut.
"Sakit apa bi?" tanya Kevin yang merasa penasaran.
"Soal itu saya kurang tahu tuan," jawab bibi seadanya.
"Ibu sakit sejak kapan bi?" tanya Marisa.
"Yang saya tahu nyonya nggak keluar kamar sudah tiga hari ini nyonya," jawab bibi. "Makan saja saya antar ke kamarnya, pusing katanya," imbuh bibi.
Kevin mengangguk mengerti. "Ya udah bi, makasih ya. Saya sama Marisa ke kamar ibu dulu," pamit Kevin.
Kemudian Kevin dan Marisa naik ke lantai dua. Karena kamar Debi berada di sana.
Marisa mengetuk pintu kamar Debi, yang dalam posisi tertutup.
Tok! Tok! Tok!
"Ibu?"
Debi yang familiar dengan suara Marisa lalu menjawab dari dalam kamar, "iya, masuk saja."
Marisa kemudian memutar knop pintu lalu masuk, dan Kevin mengekor di belakang Marisa.
"Ibu tidak usah bangun kalau masih sakit," ucap Marisa. Saat melihat Debi bangkit dari tempat duduknya.
Debi tertawa kecil, kemudian menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. "Aku ini cuma sakit ringan. Kenapa harus bereaksi berlebihan seperti itu?"
"Ibu tiga hari tidak keluar kamar. Tapi masih bilang sakit ringan. Ibu juga tidak memberi kabar jika sakit," omel Kevin yang kini duduk dengan Marisa, di tepi ranjang Debi.
"Pasti bibi berkata berlebihan padamu ya tadi? Ibu baik-baik saja kok," kilah Debi. Ia berusaha tersenyum agar tampak sehat. Tapi nyatanya tetap saja pucat, khas orang sedang sakit.
Padahal Debi sengaja tidak memberi kabar tentang sakitnya kepada anak dan menantunya, agar tak membuat Marisa dan Kevin khawatir. Tapi orang yang memungkinkan mengatakan hal kebenaran itu adalah asisten rumah tangganya sendiri. Karena mengetahui keadaan rumahnya selama dua puluh empat jam.
"Bukan berlebihan bu. Seharusnya ibu sendiri yang harus mengatakan kondisi ibu kepada kami," sahut Kevin.
"Keadaanku akan membaik jika kamu tidak mengomel seperti itu," ucap Debi.
Namun sepertinya Kevin belum mau diam jika belum tahu penyakit ibunya saat ini. "Kalau ibu ingin Kevin diam, katakan dulu ibu sakit apa?"
"Tensi ibu sedikit naik. Tapi itu wajar di usia ibu saat ini. Jadi diamlah," jawab Debi.
Marisa menepuk pundak Kevin. Ia menatap suaminya lalu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, memberi kode agar suaminya bisa bersikap lebih tenang. Dan terbukti, Kevin langsung diam.
"Baiklah, aku akan diam," ucap Kevin menyerah.
Marisa kemudian menyodorkan paper bag yang ia tenteng sejak tadi kepada Debi. "Ini ada kue kesukaan ibu."
Debi melirik kesal kepada Kevin. Lalu ia tersenyum kepada Marisa dan berkata, "Seharusnya begini saja. Memberikan apa yang ibu suka, bukan malah mengomel seperti nenek-nenek."
Sambil memakan kue Debi bertanya maksud Kevin dan Marisa datang ke rumahnya.
"Kalian ke sini tanpa memberi tahu ibu terlebih dahulu. Apa ada yang mau kalian sampaikan?"
"Kevin dan Marisa ke sini mau kasih tau ibu, kalau kami berdua mau berlibur ke Jogja minggu ini bu," jawab Kevin.
Debi tersenyum. Tidak ada alasan baginya keberatan akan rencana liburan anak dan menantunya. Mungkin dengan cara itu juga keduanya akan bahagia dan segera memiliki momongan.
"Iya. Pergilah berlibur dan bersenang-senang," ucap Debi. "Kapan kalian akan pergi?" tanya Debi.
"Rencananya lusa bu," jawab Marisa. "Tapi kalau keadaan ibu belum stabil aku juga tidak mau pergi," imbuh Marisa.
Setelah dipikirkan lagi, rasanya terlalu egois bila ia dan Kevin pergi saat mertuanya sedang sakit. Kalau terjadi apa-apa dengan mertuanya, bukankah akan menjadi sebuah penyesalan yang besar?
"Kamu ini bicara apa? Aku hanya kelelahan. Untuk apa harus menunda bahkan membatalkan rencana liburan kalian?"
Suasana hening sesaat. Kevin merasa yang Marisa katakan memang benar.
"Marisa benar bu. Kita hanya akan pergi kalau ibu sudah benar-benar sehat," sahut Kevin.
Debi menghela napas. "Ah, baiklah, terserah kalian saja."
"Bagaimana kalau malam ini kita menginap di sini?" cetus Marisa. Kevin mengangguk menyetujui.
Sedangkan Debi tentu saja senang anak dan menantunya itu akan menginap di rumahnya. Ia menjadi merasa tidak kesepian.
***
Di pagi hari yang cerah. Sinar matahari yang mulai meninggi masuk melalui jendela kamar tempat Kevin dan Marisa tidur.
Karena sinar matahari yang menyilaukan mata tersebut. Kevin akhirnya mulai membuka matanya yang masih terasa berat, kemudian mengucek matanya.
Kevin kemudian memiringkan tubuhnya, membelakangi sinar yang membuat netranya tak nyaman. Dan seperti biasanya, di manapun berada Kevin selalu tidak menemukan Marisa di ranjangnya jika sudah lebih dari jam enam pagi, benar-benar istri yang rajin.
Tiba-tiba telinga Kevin mendengar sebuah suara dengan ritme teratur mengalun di luar kamar.