Marisa yang merasa ada yang aneh kemudian bertanya kepada Kevin. "Kamu kenapa sih Vin?"
Marisa merasa Kevin berubah, ia terlihat kaku, dan tidak nyaman. Padahal kemarin di klub Kevin terlihat hangat dan akrab.
Walau merasakan tidak nyaman dengan Marisa, namun Kevin tidak bisa berbicara dengan jujur. Ia kemudian mencari alasan untuk menghindari Marisa. Ingin sekali Kevin kabur dari sana detik itu juga.
"Aku tidak apa-apa," jawab Kevin seadanya.
Setelah itu suasana sempat hening untuk beberapa saat. Marisa yang bingung harus apa memutuskan untuk fokus pada PC yang setia menemaninya dari tadi. Sementara Kevin sibuk menatap ke arah ponselnya, meski tidak ada aktivitas berarti di sana.
Kevin melirik ke arah jam tangannya, tanpa sepengetahuan Marisa. Menunggu jam sembilan, masuk ke kelas dan bisa lepas dari Marisa.
Marisa membuka ranselnya, dan mengeluarkan dua botol air mineral dari dalam sana. Ia kemudian menyodorkan minuman tersebut kepada Kevin.
"Aku nggak tau minuman kesukaan kamu apa. Tapi maaf aku cuma punya ini," ucap Marisa memecah keheningan yang sempat terjadi.
Kevin kemudian menerimanya. Membuka tutup botolnya dan mulai menenggaknya sedikit. "Ini lebih dari cukup kok. Makasih ya," ucap Kevin.
Marisa tersenyum, kemudian mengangguk dengan canggung. "Iya, sama-sama."
Dan setelah itu tidak ada pembicaraan yang akrab hingga jam sembilan. Kevin lalu pergi pamit masuk ke kelasnya kepada Marisa. Dan setelah hari itu Kevin tak pernah mengirim pesan chat kepada Marisa, apalagi bertemu. Kevin seakan hilang ditelan bumi meski mereka satu kampus dan satu jurusan.
***
Kevin sangat menyesal karena mengingatkan kejadian masa lalu itu pada Marisa. Karena akibatnya Marisa menjadi bersikap dingin kepadanya.
Kevin sebenarnya sudah berusaha membujuk Marisa. Tapi sepertinya tidak semudah yang Kevin bayangkan.
Kevin mengguncangkan lengan Marisa merengek meminta maaf seperti layaknya seorang anak kecil saja. "Aku mohon maafkan aku sayang."
Lain di mulut lain di hati, meski Marisa berkata sudah memaafkan Kevin. Nyatanya wajahnya tidak mencerminkan hal yang sama seperti ucapannya.
Marisa mengembuskan napas. "Iya, iya. Aku udah maafin," sahut Marisa tak tulus. Harga dirinya terlanjur terlukai oleh Kevin.
Marisa melebarkan langkahnya, agar segera sampai di dalam kamar hotel. Keinginannya hanya satu, ingin segera tidur dan melepas penat. Kevin mengekor di belakangnya sambil menarik koper. Ia juga masih berusaha membujuk istrinya, meski Marisa bersikap acuh.
Di dalam kamar, seperti yang Marisa inginkan tadi, ia langsung merebahkan duluan tubuhnya di atas empuknya kamar hotel. Kevin lalu ikut naik ke atas ranjang yang sengaja ia pesan dengan ukuran besar itu. Lalu bergerak mendekati istrinya.
Marisa hanya melirik sedikit. Ia kemudian menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskan dengan kasar. Tubuhnya ia naikan sampai kepalanya berhasil mendarat tepat di atas bantal. "Aku lelah, mau tidur." Marisa sudah menunjukkan penolakan secara tidak langsung. Ia lalu tidur memunggungi Kevin.
***
Di pagi hari yang cerah. Matahari memantulkan sinarnya dari kaca jendela kamar hotel Marisa dan Kevin yang sudah terbuka. Dan karena cahaya yang menyilaukan mata itu Marisa terbangun.
Marisa mengucek matanya, menutup sebelah wajahnya dengan bantuan tangan kanannya. Kemudian perlahan bangun.ia terkejut saat menolehkan wajahnya, karena tidak mendapati Kevin di sana.
Marisa menguap karena masih mengantuk. "Ke mana dia sepagi ini?" tanya Marisa pada dirinya sendiri.
Biasanya Kevin belum mau bangun dari tidurnya jika bukan Marisa yang menyuruhnya. Atau kalau tidak suaminya itu akan bangun siang.
Marisa lalu meraih ponselnya yang ada di atas nakas dekat ranjangnya. Ia sedang mengecek, apa ada kabar dari Kevin?
Namun Marisa merasa kecewa, karena tidak ada notifikasi apa-apa di sana, apalagi dari Kevin. Suaminya itu seperti dirinya yang dulu, menghilang begitu saja dari hidup Marisa.
Marisa bangun dari tempat tidurnya. Dan beranjak mandi dengan langkah kaki yang malas. Ia bisa mencari Kevin nanti, setelah badannya sudah bersih dan wangi.
Lima belas menit kemudian Marisa selesai mandi, ia juga telah berganti baju. Setelah itu terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Marisa bergerak mendekati pintu, sambil mengusap rambutnya yang masih basah dengan handuk. Ia hampir mengeringkan rambutnya tadi, tapi kini malah ada seseorang yang datang.
Ada sedikit keraguan saat akan membukakan pintu. Siapa yang mengetuk pintu kamar hotelnya sepagi ini? Pikir Marisa.
Tidak mungkin kan Kevin?
Namun keraguan itu segera Marisa usir dari dalam pikirannya. Kemudian dengan mantap ia membuka pintu.
Yang datang ternyata seorang laki-laki berbaju seragam putih dan hitam dengan dandanan yang rapi. Sepertinya dia adalah petugas dari hotel. Tapi ada urusan apa dia mendatangi kamar Marisa dan Kevin?
Karena sepertinya Marisa tidak memanggil dan memesan apapun tadi ke pihak hotel? Apa Kevin yang menyuruhnya ke sini?
Petugas hotel membungkukkan badannya, tanda untuk menghormati tamu. "Ada apa ya mas?" tanya Marisa.
"Mohon maaf sebelumnya. Benar ini dengan ibu Marisa?" tanya petugas hotel memastikan.
"Iya benar. Saya Marisa," jawab Marisa.
"Kami sebelumnya harus mengucapkan ucapan permintaan maaf kami ibu. Karena kamar yang ibu pesan ada indikasi kabel yang rusak, jadi kami akan menukar dengan kamar yang lain agar tidak mengganggu kenyamanan ibu dan bapak," jelas petugas hotel panjang lebar.
Marisa berdecap sambil mengembuskan napas dengan kasar. Tak habis pikir, bagaimana kejadian seperti ini bisa terjadi? Sangat tidak profesional.
Ini sangat aneh sekali. Kalau dipikir-pikir bukankah tidak wajar, hotel berbintang lima dengan tarif yang fantastis, bagaimana bisa melepas kamar yang tidak layak untuk pelanggan. Apalagi Kevin dan Marisa memilih kamar suite room.
"Bagaimana bisa seperti itu. Yang saya pesan ini suite room lho mas. Masa' iya pihak hotel nggak memastikan dulu sebelum melepaskan kamar sama pelanggan," protes Marisa. Ia patut marah dan emosi karena merasa dirugikan.
Petugas hotel yang menerima omelan dari Marisa hanya membungkukkan badannya dan terus mengucapkan maaf. Karena hanya itu yang bisa meredakan emosi dari tamu hotelnya saat ini.
Setelah emosinya mulai turun. Kini tidak ada pilihan lain bagi Marisa selain menuruti petugas hotel tersebut untuk berpindah kamar. "Kamu tunggu sebentar! Saya akan bereskan barang-barang saya dulu!" Marisa mendengus kesal.
Saat akan menutup pintu. Petugas hotel kemudian mengibaskan tangannya, dan menyuruh Marisa untuk tidak menutup pintunya terlebih dahulu.
"Bu, bu. Tunggu dulu, jangan tutup pintunya," cegah petugas hotel dengan cepat.
Marisa mengerutkan keningnya. Apalagi sih mau petugas hotel ini? Tadi katanya suruh pindah kamar, kenapa sekarang malah melarang menutup pintu? Aneh sekali.
"Kamu gimana sih? Katanya tadi suruh pindah kamar, ya saya beres-beres dulu dong," tanya Marisa dengan emosi yang tertahan. Ia bahkan hampir kehilangan kesopanannya kepada petugas hotel.
"Kami ada dua pilihan kamar bu. Untuk menebus rasa bersalah kami, ibu bisa memilih kamar yang ibu sukai," jawab petugas hotel. Meski bibirnya tersenyum, tapi terlihat dipaksakan, karena sebenarnya ia sangat gugup menghadapi Marisa yang marah. Sampai-sampai muncul keringat dingin yang mengucur di dahi dan punggungnya.
Sekali lagi Marisa mendengus kesal. Namun dengan langkah terpaksa ia tetap mengekor di belakang petugas tersebut. Walau sambil menggerutu. "Hah! Aneh sekali. Ya sudah ayo."