"Kenapa Rin? Masih pusing?" tanya Marisa.
Rina menggelengkan kepalanya dan kemudian tersenyum hambar.
"Yuk turun," ajak Marisa, sambil membuka pintu mobilnya.
Marisa hampir menutup kembali pintu mobilnya. Namun ia mengkhawatirkan kondisi Rina.
Lalu kepalanya kembali masuk ke dalam mobil. "Eh, iya lupa. Kan kamu lagi sakit, mau aku bantuin turun nggak Rin?" tanya Marisa.
Rina membulatkan matanya. Ia akan benar-benar sangat malu jika Marisa benar-benar melakukan hal berlebihan itu padanya. "E-nggak usah Sa. Aku bisa turun sendiri kok," jawab Rina. Ia kemudian gegas membuka pintu mobil dan keluar.
Marisa dan Rina mensejajarkan langkah masuk ke dalam rumah makan Padang tersebut. Setelah itu duduk dengan posisi saling berhadapan.
Seorang pramusaji datang. Dan di rumah makan Padang itu, hanya akan mengambilkan satu porsi nasi beserta apa saja makanan yang akan dipesan oleh pengunjung.
"Mau pesan apa ibu?" tanya pramusaji dengan sopan. Ia tidak membawa buku menu karena ada papan besar yang bertuliskan menu apa saja yang disediakan oleh rumah makan Padang itu.
"Saya nasi sama rendang aja mas," jawab Marisa kepada pramusaji. "Kalau kamu apa Rin?" tanya Marisa memalingkan wajah ke arah Rina sahabatnya.
Yang membuat heran, seketika eskpresi wajah Rina berubah drastis. Ia tampak segar dan sumringah, tidak lagi pura-pura sakit. Ia lalu berkata. "Aku pesen es teh aja ya."
Marisa membeliakkan matanya. "Jawaban macam apa itu? Kamu ngerjain aku ya Rin?" Tadi mau pingsan dan minta makan, kenapa sekarang jadi lain?
Namun Rina hanya bisa menertawakan Marisa. Ia kemudian mengakhiri aktingnya. Karena tujuannya sudah berhasil. "Aku sebenarnya udah makan siang tadi. Tapi kamu kan belum," sahut Rina dengan ekspresi wajah mengejek.
"Ah! Dasar…" Marisa yang gemas dengan tingkah sahabatnya kemudian melempar satu pack tisu ke arah Rina.
Untung saja empuk, jika tidak sakit pasti rasanya.
Dengan sabar pramusaji masih menunggu perdebatan di antara dua pengunjung di depannya.
"Nasi rendang sama es teh dua ya mas," ucap Marisa mengulang pesanannya, karena tak enak sudah ditunggu oleh pramusaji tadi.
Biar bagaimanapun Marisa tetap menghargai usaha Rina agar dirinya mau makan. Ia beruntung punya sahabat yang perhatian seperti Rina. "Makasih ya Rin," ucap Marisa. Dan Rina hanya mengangguk dan bersikap sok cuek.
***
Dari sore hingga malam hari Kevin duduk termangu di kursi kerjanya. Ia sudah berusaha memikirkan berbagai cara untuk menyelesaikan permasalah yang ada di perusahaannya. Namun nyatanya kejadian yang datang secara mendadak ini membuat otaknya seketika buntu.
Kevin yang merasa sedang frustrasi dan seperti kehilangan arah, kemudian memutuskan untuk pergi ke bar. Dan orang-orang di kantornya tidak ada satupun yang mengetahuinya, karena Kevin pulang malam dan melebihi jam kantor. Semua karyawan termasuk sekertarisnya telah pulang.
Kevin keluar dari ruangannya. Ia berjalan di kantornya yang sudah sunyi. Hanya ada satpam yang menyapanya. Dan setelah itu ia menyuruh Joni mengantarkannya ke bar.
Di dalam mobil Kevin hanya bisa memandangi pemandangan malam yang tak menarik dari dalam kaca jendela mobilnya. Ia terus mengutuk dirinya karena belum bisa menyelesaikan masalah ini.
"Aku harus bagaimana?" tanya Kevin dengan nada berteriak.
Joni yang mencemaskan majikannya lalu bertanya. "Ada apa tuan? Apa ada yang bisa saya bantu?" Ia tak tega melihat Kevin yang tampak kacau.
"Tidak ada. Lanjutkan saja perjalanannya," jawab Kevin.
***
Marisa tiba di rumahnya pukul enam sore. Floristnya hari ini benar-benar ramai sehingga membuatnya sedikit kelelahan. Ia lalu memutuskan untuk segera mandi.
Beberapa menit kemudian Marisa keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang masih membalut di kepalanya karena habis keramas. Ia lalu segera mengeringkan rambutnya dengan hair dryer miliknya.
Marisa yang belum sempurna mengeringkan rambutnya kemudian melirik ke arah jam dinding. Sudah malam tapi kenapa Kevin belum juga pulang? Dia juga tidak memberi kabar jika akan lembut.
Marisa kemudian mematikan hair dryernya. Ia meraih ponselnya yang berada tak jauh darinya. Dan setelah itu menekan tombol panggilan terakhir. Nama suamiku berada di barisan paling atas.
Namun hasilnya nihil. Sudah beberapa kali Marisa menghubungi dan yang terakhir ponsel Kevin malah sudah tidak aktif.
"Apa dia lagi ada kerjaan penting?" tanya Marisa pada dirinya sendiri.
Padahal yang terjadi. Ponsel Kevin kehabisan baterai, sehingga mati dan tidak bisa dihubungi. Namun karena mabuk Kevin tidak menyadarinya.
Rasa cemas mulai hinggap ketika waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi Kevin tak kunjung memberikan kabar. Marisa lalu menghubungi Lia, sekertaris Kevin.
Namun sayangnya Lia tidak mengetahui di mana keberadaan Kevin saat ini, karena ia tadi pulang sesuai jam kantor. Dan tidak ada jadwal lembur.
"Kalau tidak lembur dia ke mana?" Marisa yang semakin cemas terus mondar mandir dan mengibas-ibaskan ponselnya pada telapak tangannya.
Ponsel Marisa berdering. Nama Joni tertera di layar ponsel. Ia langsung menggeser tombol hijau.
"Iya Jon? Ada apa?" tanya Marisa pada sambutannya teleponnya.
"Tuan mabuk nyonya," jawab Joni dengan nada yang panik.
"Apa mabuk?" tanya Marisa tak kalah cemas. Marisa mengusap wajahnya dengan kasar.
"Ada di mana tuan sekarang?" tanya Marisa.
Dan setelah tahu keberadaan Kevin, Marisa segera meluncur ke lokasi dengan taksi. Ia terlalu lelah untuk mengemudi mobil sendiri. Lagi pula nanti pulangnya kan bisa satu mobil dengan Kevin.
Dua puluh menit kemudian Marisa sampai di bar. Ia langsung masuk dan mencari Kevin di sana. Tak lama ia menemukan Joni yang duduk di dekat Kevin yang sudah tidak sadarkan diri menyandarkan kepala di atas meja karena mabuk.
"Sejak kapan tuan di sini Jon?" tanya Marisa dengan ekspresi wajah cemas.
"Sejak pukul sembilan tadi nyonya," jawab Joni dengan jujur.
"Kenapa kamu nggak kasih tau saya?" protes Marisa.
Joni menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Lalu ia tertawa canggung. "Maaf nyonya," ucapnya.
"Ya sudah. Bantu saya bawa tuan ke mobil ya Jon?" Marisa mengalungkan tangan Kevin pada pundaknya.
Joni mengangguk dengan cepat. "Baik nyonya." Dan setelah itu membantu Marisa memapah Kevin.
"Kenapa kamu sampai mabuk kayak gini sih Vin?" gerutu Marisa saat sudah duduk di dalam mobil.
"Aku tidak bisa mengurus perusahaan dengan baik. Aku memang tidak berguna," Kevin terus saja mengutuk dirinya dengan mengatakan hal itu. Membuat Marisa menjadi merasa iba.
Marisa kemudian menyadarkan kepala Kevin pada pundaknya. "Tapi kamu tidak perlu sampai mabuk seperti ini. Aku akan selalu ada untukmu," ucap Marisa, matanya mulai berkaca-kaca.
Yang membuat Marisa semakin sedih ketika Kevin merasa bersalah kemudian meminta maaf kepadanya, walaupun ia mengungkapkannya dengan kalimat yang tidak jelas, karena masih ada efek alkohol yang ia minum.
"Maafkan aku Marisa. Aku memang suami yang buruk," ucap Kevin.
Bulir bening mulai keluar dari mata Marisa. Ia lalu menggelengkan kepalanya, kemudian menangkup kedua sisi pipi Kevin. Semua ini bukan salah Kevin sepenuhnya. Bahkan Marisa juga turut bersalah pada masalah ini, karena semua terjadi pada saat mereka sedang pergi berlibur kemarin.
"Aku juga turut bersalah," gumam Marisa.
Marisa berkata seperti itu ada sebabnya. Ada yang mengganggu pikiran Marisa saat ini. Ia sedang mengkhawatirkan sesuatu.