"Kamu cemburu ya…?" tebak Marisa dengan nada menggoda.
Walaupun yang Marisa katakan memang benar, tapi Kevin tidak akan mungkin mengakuinya kepada Marisa. Karena itu hanya akan membuat dirinya dikira lemah sebagai seorang laki-laki.
"Aku melakukan semua ini karena habis menang tender besar. Dan sudah sepantasnya aku membagi kebahagiaan denganmu," kilah Kevin.
Marisa kemudian baru sadar, bahwa mejanya dan Kevin saat ini masih kosong. Belum ada minuman, apalagi makanan.
"Kita pesan makanan dulu ya. Kamu pasti belum makan kan?" tanya Marisa.
Memang benar. Cacing di perut Kevin saat ini pasti berdemo, protes karena belum diberi makan. Begitu pula dengan perut Marisa.
Kemudian Marisa melambaikan tangan kepada seorang pramusaji, hendak memesan makan siang untuk ia dan Kevin.
Pramusaji yang dipanggil langsung menghampiri Marisa dan Kevin. Dan menanyakan pesanan mereka, karena melihat meja masih kosong.
"Iya nyonya. Mau pesan apa?" Pramusaji bertanya dengan ramah.
"Saya mau jus alpukat dan steak tenderloin ya mbak," jawab Marisa.
Setelah memesan makanan untuknya, Marisa kemudian bertanya apa yang akan dipesan oleh Kevin. "Kamu mau pesan apa Vin?"
"Aku mau sirloin steak sama ice cappucino," jawab Kevin.
Pramusaji mulai mencatat pesanan Kevin dan Marisa. Setelah selesai ia pamit pergi dengan sopan.
"Aku sebenarnya ingin mengajakmu liburan lagi. Jika kamu mempercayai kalau semua yang kulakan ini bukan karena aku sedang cemburu pada mantan kekasihmu tadi." Kevin mengatakan itu ketika Marisa masih memasang wajah tak percaya.
"Liburan? Lagi? Benarkah?" Marisa bertanya dengan mata berbinar, seperti seorang anak kecil yang diberi permen.
Marisa lalu merayu Kevin, menggenggam kedua tangan Kevin yang ada di atas meja. "Kamu memang suami yang sangat baik. Ke mana kita akan pergi sayang?"
Kevin menahan tawanya, ketika melihat Marisa bertingkah seperti itu. Walaupun Marisa adalah wanita yang mandiri. Dia memang terkadang bersikap manja dan kekanak-kanakan seperti ini.
"Kamu mau ke mana kali ini?" Kevin bertanya balik.
Kevin memang selalu seperti itu selama ini. Bertanya ke mana tempat yang akan menjadi tujuan mereka berlibur. Karena Kevin menganggap, sebagai seorang istri Marisa adalah paket komplit, dan berjasa besar di kehidupan Kevin.
Marisa terdiam sejenak. kemudian ia menjadi teringat akan tempat yang menurutnya paling bersejarah dalam hidupnya. Sebuah tempat yang telah mempertemukan Kevin dan dirinya.
"Jogja. Gimana kalau kita ke sana aja?" tanya Marisa
Kevin manggut-manggut sambil tersenyum, pertanda bahwa ia setuju. Lalu Kevin menanyakan apa alasan Marisa memilih Jogja. Karena cukup sering ke sana, Kevin berpikir apa Marisa tidak bosan?
"Aku sih nggak keberatan mau ke mana aja, yang penting kamu senang. Tapi karena kita sering ke sana, apa kamu tidak merasa bosan?" tanya Kevin.
Marisa tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya. "Aku nggak akan bosan ke sana. Karena tempat itulah pertama kali kita kenal dan menjalin hubungan," jawab Marisa.
Marisa memang benar. Hanya saja Kevin sedikit malu, jika ingat di tempat yang sama juga ia pernah mencampakkan Marisa begitu saja. Namun sepertinya Marisa hanya mengenang cerita bahagianya di tempat itu, bukan dukanya.
"Kamu atur sendiri aja ya, kapan kita bisa berangkat," ucap Kevin.
Untuk urusan seperti ini biasanya Marisa yang sibuk mempersiapkan segalanya. Sedang Kevin hanya tahu beres saja.
"Oke, nanti aku akan sesuaikan jadwal sama sekertaris kamu," sahut Marisa.
Dua orang pramusaji datang membawakan pesanan Kevin dan Marisa. Asap wangi khas steak mengepul dari hot plate steak mereka. Membuat perut Marisa dan Kevin seakan tak sabar untuk menyantapnya. Terutama Kevin. Usahanya untuk sampai di restoran tersebut, menahan lapar dan jarak tempuh yang jauh, membuatnya kelaparan.
Maka setelah kedua pramusaji tadi pergi. Marisa dan Kevin segera menyantapnya hangat-hangat.
Marisa menyantap makanannya dengan perasaan bahagia. Akhirnya bisa makan siang dengan suaminya sendiri, bukan dengan Edi yang tidak ia harapkan seperti tadi.
***
Edi yang sebenarnya merasa lapar lalu memutuskan untuk makan di restoran lain.
Kemudian taksi yang ditumpangi tadi ia berhentikan di sebuah restoran Italia. Bukan makanan favorit Edi. Ia ke sana karena ingin segera makan saja.
Edi membayar uang argo taksinya. Kemudian membuka pintu mobil. Ia mempercepat langkahnya, agar segera sampai di restoran Italia tersebut.
Setelah sampai di dalam restoran, ia duduk dan memanggil pramusaji.
Pramusaji kemudian mengulurkan buku menu kepada Edi dan berkata, "Silahkan dipilih dulu menu dari restoran kami pak."
Dengan wajah yang kusut dan tidak bersemangat, Edi memesan makanan tanpa membuka terlebih dahulu buku menu yang disodorkan oleh pramusaji tadi.
"Kasih aja makanan dan minuman terbaik di restoran ini mbak. Saya pasti makan," sahut Edi malas.
"Baik pak, bisa ditunggu dulu kalau begitu. Kami akan siapkan." Kemudian pramusaji itu pergi.
Memuakkan rasanya bagi Edi. Harus melihat pemandangan sok romantis dari Kevin dan Marisa seperti tadi. Ini seperti patah hati untuk kesekian kalinya.
Padahal jelas-jelas penyakit dibuat sendiri. Untuk apa juga mengharapkan wanita yang sudah menjadi istri orang. Bukankah lebih baik mencari wanita yang tidak terikat status pernikahan?
Beberapa menit kemudian makanan dan minuman untuk makan siang Edi sudah datang. Setelah mengucapkan terima kasih, pramusaji yang mengantar makanan pergi. Dan Edi segera menyantapnya.
Ketika Edi baru memakan setengah dari makanan yang ada di piringnya. Di depan matanya malah disuguhkan pemandangan seorang wanita yang memakai rok mini sangat pendek, sehingga menampilkan paha mulus, ramping dan putih si pemiliknya.
Sebagai seorang laki-laki yang normal, Edi yang tentu tergoda, sampai-sampai sulit menelan ludah. Ia kemudian naikan pandangannya ke atas untuk melihat wajah wanita berbaju seksi tersebut.
"Carissa?" Tak disangka. Sosok itu ternyata sudah dikenal dengan baik oleh Edi.
"Ini beneran Carissa?" Edi bertanya sambil melihat dari atas sampai bawah tubuh Carissa, seakan belum percaya betul jika yang dilihatnya adalah Carissa teman SMA nya yang dulu. Mereka dulu sangat akrab, hanya saja dulu Carissa adalah wanita yang berpenampilan berbeda seratus delapan puluh derajat dari yang sekarang.
karena tidak percaya diri dengan tubuhnya yang gemuk, dulu Carissa menutupinya dengan pakaian yang panjang. Kini tidak lagi. Saat ini ia memakai baju kantoran yang terlihat seksi, sehingga menampilkan tubuhnya yang tinggi, putih dengan body yang aduhai.
"Ya iyalah ini aku," jawab Carissa.
"Kenapa? Kamu kaget lihat aku yang sekarang?"
Edi masih diam, tapi Carissa bisa mengartikannya. Dengan perubahan yang drastis, pantas saja Edi masih sulit mempercayainya.
Carissa menyilangkan tangan di depan dada, sambil menghentak-hentakkan ujung kakinya. Karena tidak kunjung disuruh duduk oleh Edi.
"Aku cuma diliatin aja nih? nggak disuruh duduk?" sindir Carissa.
Edi tertawa kecil, kemudian menepuk jidatnya. Pesona Carissa membuatnya lupa untuk menyuruh wanita itu duduk.
"Maaf Ris. Sampai lupa nyuruh kamu duduk," sahut Edi. "Silakan duduk," ucap Edi setelah itu.
Belum sepuluh menit duduk dan mengobrol. Tiba-tiba ponsel Carissa berdering. Ia kemudian meminta izin Edi mengangkat telepon.
Dan setelah menerima telepon tersebut wajahnya terlihat penuh tekanan kemudian pamit pergi.
"Siapa sih yang menelepon Carissa? Sampai membuat wajahnya berubah jadi takut seperti itu?" tanya Edi dalam hati.