Chereads / After Bad Destiny / Chapter 40 - Naulida Dibekap

Chapter 40 - Naulida Dibekap

Naulida dan Alexander melepas kecupan panas lalu mengusap bibirnya. Mereka ketahuan berbuat yang tidak pantas dilakukan di ruangannya. Alexander dan Naulida menundukkan kepala ketika Bapak Harry meneriakinya agar menghentikan perbuatannya itu.

Bapak Harry melangkah ke arah Naulida dan Alexander. Ia menatap Alexander sambil menggeleng pelan. Bapak Harry tidak menyangka anaknya mengecup Naulida di ruangannya.

"Apa-apaan kamu melakukan hal itu di ruangan karyawan saya, hah?!" sungut Bapak Harry.

"Maaf, Pa," ucap Alexander lirih.

"Kamu tidak boleh melakukan hal itu ke anak orang kalau kamu belum menikahinya, Alex!" bentak Bapak Harry.

Naulida kaget mendengar Alexander dibentak oleh Bapak Harry dan pertama kali melihat beliau marah seperti itu. Alexander hanya terdiam dan tertunduk ketika bapaknya marah. Naulida mencoba membela Alexander dan tidak hanya kekasihnya yang disalahkan.

"Pak, maaf, saya juga salah di sini karena mengizinkannya untuk mengecup saya," ucap Naulida.

"Kamu diam, jangan membela anak saya karena perbuatannya tidak pantas dilakukan di tempat umum seperti ini," ucap Bapak Harry dengan nada sedikit meninggi.

Naulida membisu selama satu menit lalu memberikan penjelasan ke Bapak Harry dengan lembut agar tidak memarahi Alexander. Namun, usaha yang dilakukan olehnya tidak membuahkan hasil karena Alexander meminta Naulida untuk tidak membelanya.

"Pak, tolong dengarkan saya, Alexander tidak salah karena saya juga mengizinkannya, Pak," ucap Naulida.

"Kamu jangan membela anak saya, Naulida karena saya yang lebih tahu harus melakukan apa pun ke dia. Kamu diam saja kalau tidak ingin Alexander terluka," ucap Bapak Harry.

"Pak, tolong jangan seperti itu dan menyiksa Alexander!" pinta Naulida.

"Diam kamu, Naulida!" bentak Bapak Harry.

"Sudah, Sayang. Kamu tidak perlu membelaku karena aku juga yang salah telah melakukan yang dilarang oleh perusahaan papaku sendiri," pinta Alexander.

Naulida mengatupkan bibir seraya meneteskan buliran air bening di pipi dengan deras. Ia memegang tangan Alexander dengan erat.

"Alex! Maafkan aku."

"Tidak apa-apa, Sayang. Jangan menangis, ya. I love you," ucap Alexander.

"I love you, too."

"Kamu jangan khawatir, ya. Everything is gonna be okay, Sayang," ucap Alexander.

Naulida semakin mengalirkan buliran air bening di pipi. Ia memeluk Alexander dengan erat dan mempercayakan semuanya akan baik-baik saja di antara hubungan mereka. Lalu, Alexander dan Bapak Harry ke luar dari ruangannya dengan ekspresi seperti biasa. Namun, sorot mata teman-teman lainnya bak terdapat sesuatu yang ingin ditanyakan mengenai hal yang terjadi dengan Alexander.

Naulida menutup pintu ruangan dan berdiri di belakang pintu dengan mendongak ke atas sambil berharap tidak terjadi sesuatu dengan Alexander. Ia menghela napas dengan panjang agar rasa sesak dalam dada tidak hinggap lama dan bisa bernapas dengan lega.

"Semoga ucapan kamu benar, Alex. Everything is gonna be okay," harap Naulida.

Naulida kembali ke kursi kantor dan mengerjakan pekerjaannya. Sesaat, ia mengerjakan pekerjaan, pikirannya tidak fokus ke tugasnya malah memikirkan keadaan Alexander.

Naulida menutup dan mengusap wajahnya secara keseluruhan agar pikiran bisa fokus dan mata menatap satu arah ke laptop. Ia menghela napas sebanyak mungkin agar pikiran dan hati tenang. Setelah itu, Naulida siap mengerjakan pekerjaannya dengan baik.

Jemari terus bergerak di keyboard laptop dengan lihai dan mata bekerja sama pada data yang ada pada sistem dan laporan. Penglihatan yang lihai membuat kerjanya cepat tetapi masih berkualitas. Itu adalah cara Naulida bekerja.

Naulida tanpa sadar jam bekerja telah berakhir. Jemari dan mata masih berolahraga pada layar dan keyboard. Ia tidak menghiraukan pandangan yang berada di luar kantornya karena tidak ingin fokusnya hilang hingga salah satu teman menyadari keberadaan Naulida yang masih di ruangannya.

Kedua mata dan jemari masih aktif. Salah satu temannya menghampiri Naulida dengan mengetuk pintu ruangannya beberapa kali. Ia mempersilakan sosok yang mengetuk pintu ruangannya.

"Masuk!"

"Maaf, Bu, jam bekerja telah berakhir," ucap temannya yang mengingatkan jam bekerja berakhir.

Naulida melirik jam yang berada di laptop."Astaga. Okay, makasih, ya," ucap Naulida.

"Sama-sama, Bu. Apakah pekerjaan Ibu masih banyak?" tanya temannya.

"Lumayan, kenapa?"

"Tidak apa-apa, Bu."

"Siapa nama kamu? Maaf saya lupa dan sedikit susah menghapal nama seseorang yang jarang muncul di depan saya."

Naulida memang susah mengingat nama seseorang jika, orang itu jarang muncul di hadapannya, kecuali orang yang menyakitinya. Ia akan mengingat wajah dan nama itu.

"Nama Saya adalah Angga, divisi desain produk dengan jabatan supervisor," jawab Angga.

"Oh, iya, Angga. Aku akan mengingat nama itu," ucap Naulida.

"Iya, Bu. Saya pamit pulang dulu, Bu," pamit Angga.

"Baik, Angga. Kamu hati-hati di jalan dan makasih sudah mengingatkan saya," ujar Naulida.

"Sama-sama, Bu. Jangan kelelahan, Bu. Kalau lelah istirahat dan jangan dipaksakan, kasihan tubuh Ibu yang membutuhkan istirahat," pesan Angga.

Naulida tersenyum.""Iya, saya tahu itu dan makasih lagi sudah mengingatkan saya lagi, ucap Naulida.

"Sama-sama, Bu."

Angga pergi meninggalkan Naulida. Naulida menghela napas panjang seraya memikirkan ucapan Angga mengenai kesehatannya. Namun, waktu masih sore dan tidak ingin kembali ke rumah pada sore hari setelah kejadian beberapa waktu yang lalu. Ia melanjutkan pekerjaannya hingga pukul enam sore. Naulida mengatur waktu pengingat di handphone pada pukul enam sore.

Setelah itu, Naulida melanjutkan pekerjaannya dengan jemari dan penglihatan bergerak cepat agar selesai tepat waktu pukul enam. Tidak lama, alarm handphone Naulida berdering dengan kencang. Ia mematikan alarm itu dan waktu telah menunjukkan pukul enam sore.

Naulida mematikan alarm itu lalu merapikan berkas-berkas dan mematikan laptopnya. Setelah semua selesai, Naulida memasukkan handphone dan mengambil kunci mobilnya.

Naulida bergegas ke luar dari kantor yang telah sepi dan tersisa tiga orang di depan ruangannya yang fokus mengerjakan di depan komputer. Tiga orang itu adalah teman-temannya. Lalu, Naulida menyapa mereka secara bergantian.

"Aku pulang dulu, ya, Nanda," pamit Naulida.

"Oke, Bu. Hati-hati di jalan," ucap Nanda.

"Aku pulang dulu, ya, Mike, Imah," pamit Naulida.

"Iya, Bu, hati-hati di jalan," ucap mereka secara kompak.

Naulida melangkah terus hingga ke luar dari kantor menuju mobilnya. Parkiran mobil telah sepi kendaraan. Ia hendak membuka pintu mobil, tangannya ditahan oleh tangan kekar.

Naulida hendak menoleh ke arah belakang tetapi, tidak sampai dilakukan olehnya karena tangan satu membekap mulut dan menariknya jalan mundur. Kedua tangan itu tidak bisa dilawan olehnya meskipun Naulida bergerak ke kanan dan kiri.

Naulida melihat mobil Alexander yang masih terparkir di parkiran mobil. Ia dibawa dan menyandarkannya di mobil besar, tinggi dan sport berwarna hitam. Naulida membulatkan mata saat melihat sosok yang menutup mulut dan membawanya kemari.