Bu Regina dipapah menuju jenazah yang telah berbalut kain kafan. Ia duduk di samping kepala jenazah suaminya. Menutup mulut agar tangisnya tak kembali pecah.
Para pelayat berdatangan silih berganti, sebagian tetap di ruang tengah sambil membaca Surat Yasin.
Tak lama kemudian, Pak Ferdi dan Bu Alin nampak hadir diantara para pelayat. Mereka mengobrol dengan ayah mertuanya.
'Apa maksud Mas Radit kalau ada sesuatu yang harus kuketahui dari mereka,' gumam Bu Regina dalam hati sambil melirik sekilas pada pasangan yang asik mengobrol dengan ayah mertuanya itu.
Rasa sedihnya lebih mendominasi, hingga tak berniat bertanya apapun pada mereka.
Siang hari semua prosesi pengurusan jenazah telah beres. Tak ada orang lagi di rumah selain Bu Regina dan Pak Andra. Maklum mereka orang baru di sini dan tak punya sanak saudara.
"Nak, kamu tahu Ayah tinggal sendiri dan akan kembali pulang ke pinggiran kota. Terserah kamu akan ke mana, tak perlu pikirkan Ayah." Pak Andra berkata dingin.
Sejak kehilangan istrinya, ia seakan tak memiliki semangat hidup.
"Ma—maksud, Ayah?" Bu Regina bertanya tak paham.
"Kamu masih muda, teruskan hidupmu. Ayah mungkin tinggal menunggu waktu menyusul istri dan anak," jawab Pak Andra.
"Ta—tapi, Yah—."
"Ayah pergi. Jangan pernah kau mencari ku mungkin aku tak akan ada lagi besok atau lusa." Pak Andra melenggang pergi dan menaiki bus ke tempatnya tinggal di pinggiran kota.
Bu Regina tak kuasa menyusul, semasa suaminya hidup ia dan Pak Radit beberapa kali berkunjung ke rumah ayahnya. Tapi, Pak Andra nampak seperti orang linglung dan kadang mengusir Bu Regina.
Kini, ia benar-benar sendiri dalam sepi dan sunyi. Mendekap luka dalam hati dan rindu tak terperi. Sakit. Hanya itu yang tergambar jelas di benaknya saat ini.
Bu Regina memang sudah tak memiliki siapa-siapa sejak kecil. Ia adalah wanita ceria dari panti asuhan. Bertekad untuk bisa kuliah hingga bisa bekerja dengan gaji yang layak. Barulah setelah setahun bekerja, bertemu dengan Pak Radit dan menikah. Lalu, dibawa ke Singapura.
Entah bagaimana hidupnya ke depannya. Sedikitnya ia berharap keluarga suaminya di Indonesia Sudi mengakuinya sebagai saudara.
Satu bulan kemudian, Bu Regina memutuskan pulang ke negara asal. Indonesia. Hal pertama yang ia lakukan adalah mencari kontrakan petakan untuk berteduh.
Untungnya suaminya orang yang rajin menabung, jadi Bu Regina tidak kekurangan suatu apapun setelah ditinggal suaminya. Ia sengaja tinggal dulu di kontrakan untuk mengetahui sifat asli keluarga Adiyaksa.
"Mas, aku akan coba menjalin silaturahmi dengan keluargamu. Tapi, jika mereka hanya mengejar dunia lebih baik aku tak pernah kenal lagi dengan keluargamu itu," gumam Bu Regina kala di kontrakan sendiri.
Ia hanya tidur beralaskan kasur lantai yang sudah menipis. Juga, selimut tipis. Tak ada perabotan lain, apalagi hiburan.
Keesokan harinya, ia coba menemui paman Edwar Adiyaksa anak pertama keluarga itu. Kakak dari ibu mertuanya Sintia Adiyaksa.
Rumah mewah itu seakan ingin menunjukan kekuasaan pemiliknya. Pagar yang tinggi menjulang di hadapannya dijaga seorang satpam.
"Maaf, Mbak, tidak menerima permintaan sumbangan," ucap Satpam itu dengan sopan.
Bu Regina menatap penampilannya yang alakadarnya. Wajah tanpa polesan makeup. Bukankah memang wanita iddah semestinya begitu.
"Saya bukan mau meminta sumbangan, saya isteri Almarhum Radit Adiyaksa. Bisa bertemu dengan Paman Edwar?" tanya Bu Regina dengan senyuman.
Tiba-tiba mobil mewah melaju hendak keluar pagar. Bu Regina tersenyum penuh harap, melihat yang berada di jok belakang adalah Paman Edwar. Ia duduk manis di sana dengan mobil yang dikendarai supir pribadi.
Mobil keluar pagar perlahan.
"Paman Edwar!" panggil Bu Regina setengah berteriak.
Pak Edwar Adiyaksa menyodorkan lima lembar uang pecahan seratus ribuan, di balik kaca mobil yang hanya tertutup setengahnya.
"Tolong, jangan datang lagi. Ini sudah cukup untuk makanmu sebulan." Pak Edwar mengatakannya dengan tenang bagai air mengalir. Akan tetapi, bagai belati yang menyayat hati Bu Regina.
"Saya tak butuh uangmu!" hardik Bu Regina, kemudian pergi dengan berjalan menjauh dari mobil dan rumah mewah tersebut.
Matanya telah memerah sejak tadi. Entahlah hatinya begitu remuk redam. Ingin sekali ia mencakar wajah orang dalam mobil tadi. Kesombongannya begitu hakiki.
Air mata mengalir setelah cukup jauh dari tempat tadi.
"Benar dugaanku, mereka tak lebih dari pemuja harta," ujar Bu Regina sambil terus berjalan menuju kontrakannya.
"Re, apa yang mesti kita lakukan sekarang?" tanya Bu Alin memecah kesunyian.
Bu Regina tersadar dari lamunannya. Mengenang masa lalu dari saat Pak Radit meninggal adalah hal paling menyakitkan untuk dirinya.
"Aku belum bisa berpikir jernih, Mbak, Bang. Semua ini begitu berat untukku dan pastinya Revan," jawab Bu Regina kemudian bangkit dari duduknya.
"Aku pergi dulu." Pamit Bu Regina sambil melenggang pergi.
Tinggallah Pak Ferdi dan Bu Alin yang masih termenung memikirkan nasib anak mereka.
"Sudahlah, lebih baik kita juga pulang dan pikirkan masalah ini dengan kepala dingin." Pak Ferdi mencoba mengajak istrinya pulang.
Bu Alin hanya mengangguk, kemudian bangkit juga dari duduknya. Mereka telah membayar sewa ruangan VIP itu sebelumnya jadi tak perlu membayar lagi dan langsung pulang ke rumah.
Mereka mengobrol cukup lama tadi, kini sudah memasuki jam makan siang. Mobil mewah itu melewati kawasan cafe dan perkantoran.
Tanpa sengaja netra Bu Alin menangkap anaknya tengah asik berduaan dengan Revan. Layaknya orang pacaran pada umumnya. Merek makan siang bersama.
"Pa, itu Fira!" Bu Alin menunjuk sosok anaknya yang sedang makan di meja cafe yang berada di luar ruangan.
"Kita tak bisa membiarkannya, Pa." Bu Alin berkata dengan tegas.
"Ma, tenang dulu. Kita tak boleh gegabah. Kita mesti hentikan mereka secara perlahan." Pak Ferdi menenangkan sambil mengusap-usap tangan istrinya itu.
Bu Alin mengangguk pasrah, yang dikatakan Pak Ferdi ada benarnya juga. Tak etis bila tiba-tiba mereka datang dan melarang Fira untuk makan bersama. Apalagi sampai menyeretnya ke mobil, hal yang tidak beretika.
Melihat Revan tadi, Pak Ferdi teringat map biru yang berada di tumpukan paling akhir yang mesti ditanda tanganinya tempo hari.
Revan adalah pengusaha muda yang sangat kaya raya. Apa mungkin ia selicik itu dan pemikirannya bisa sepicik itu.
Pak Ferdi melamun, satu lagi masalah pekerjaan yang mesti diselesaikannya. Ia dan Revan memang terlibat hubungan bisnis. Tapi, tak pernah membicarakan soal pemindahan saham.
Bahkan Pak Ferdi tak pernah memiliki hutang yang fatal sampai tak terbayar. Hingga tak pernah terpikirkan olehnya untuk menjual saham yang dimiliki. Hutang modal atau usaha pasti sudah terhitung dengan perkiraan kapan membayarnya. Juga tak pernah meleset.
'Aku harus menyelidikinya,' gumam Pak Ferdi dalam hati ketika mobil memasuki halaman rumah yang luas itu.