Iseng ia membuka aplikasi sosmed berwarna biru. Siapa tahu Revan membuat status hari ini. Ia tak menemukan kabar terbaru dari orang yang dicarinya.
Fira menghentikan aktivitas scrolling-nya ketika menemukan berita kecelakaan semalam.
Ia mengernyitkan matanya ketika melihat korban kecelakaan berinisial R. Seketika rasa gelisah di hatinya semakin menjadi. Pikirannya tak tenang, feeling-nya mengatakan kalau itu adalah Revan.
Ia memutuskan untuk segera menghubungi Bu Regina. Nomor aktif tapi teleponnya tak kunjung diangkat.
"Duh, bagaimana ini?" gumam Fira dengan gelisah.
Tak fokus dengan pekerjaan dan khawatir akan keadaan kekasihnya bercampur jadi satu dalam hatinya. Fira memutuskan untuk pulang dan bicara pada kedua orang tuanya.
Ia keluar ruang kerjanya, kemudian menaiki mobil pribadinya. Tancap gas menuju rumah dengan kecepatan cukup tinggi. Baru setengah perjalanan menuju rumah, ia ingat kalau di sana ada keluarga ayahnya yang super nyinyir.
"Ah, lebih baik aku minta Mama dan Papa ke Kafe Hijau saja," gumam Fira sambil menghubungi nomor mamanya.
'Ada apa, Sayang?' tanya suara lembut milik Bu Alin di seberang telepon.
"Ma, kita ketemu di Kafe Hijau, ya. Ajak Papa juga," jawab Fira dengan cepat dan terdengar panik.
'Loh, ada apa ini, Sayang?' Bu Alin kembali bertanya masih dengan tenang.
"Nanti aku ceritain!" jawab Fira agak keras, kemudian menutup teleponnya secara sepihak.
Bu Alin termenung di seberang telepon, menduga-duga apa kiranya yang terjadi pada Fira. Ia segera bersiap dan menelepon suaminya yang sudah dalam perjalanan ke kantor.
Mobil telah siap dengan supir pribadinya di halaman rumah. Bu Alin pergi tanpa pamit karena saking tergesa-gesa, khawatir dengan keadaan Fira.
"Mang, ke Kafe Hijau, ya," ucap Bu Fira pada Mang Adi, supir pribadinya.
"Siap, Nya." Mang Adi melajukan mobil dengan tenang, kecepatan sedang.
Jalanan sedang ramai-ramainya karena jam pergi ke kantor dan ke sekolah. Kendaraan mobil maupun motor berlomba memenuhi jalanan. Mereka memiliki tujuan masing-masing dan berusaha tepat waktu dengan kegiatannya.
Mobil yang dinaiki Bu Alin terjebak macet. Perjalanan jadi semakin lama. Padahal seharusnya hanya butuh waktu empat puluh menit untuk ke kafe yang dituju. Karena macet molor jadi hampir satu jam.
Sesampainya di kafe, rupanya suami dan anaknya telah menanti. Mereka duduk di meja pojok ruangan. Suasana kafe tersebut terlihat sepi karena masih pagi dan jam kerja.
"Ada apa, Fir?" tanya Bu Alin langsung saat ia ikut duduk di meja yang diisi Fira dan Pak Ferdi.
"Dari semalam aku belum dapat kabar dari Revan, terus ada berita kecelakaan. Korbannya berinisial R, kayaknya itu Revan. Tapi, sampai saat ini aku belum dapat kabar darinya ataupun Tante Regina," jelas Fira panjang lebar.
Bu Alin mengangguk-angguk, kemudian berinisiatif untuk menelpon Bu Regina dan Pak Andi.
"Kalau gitu Mama telepon Regina, Papa telepon Pak Andi ya," usul Bu Alin pada suaminya.
"Siap." Pak Ferdi langsung menggunakan ponsel yang sejak tadi di genggamannya untuk menelepon.
Pun dengan Bu Alin yang mencoba untuk menghubungi Bu Regina.
Telepon berdering, namun belum juga diangkat. Sampai dering telepon mati, Bu Regina tak mengangkat teleponnya. Pak Ferdi mencoba menghubungi kembali Pak Andi.
"Halo, Pak Andi," ucap Pak Ferdi sesaat setelah sambungan telepon terhubung.
'Iya, halo, Pak. Duh, maaf saya belum sempat memegang ponsel dari tadi,' ujar Pak Andi di seberang telepon.
"Iya, tak apa. Saya hanya ingin menanyakan kabar Revan, bagaimana?" tanya Pak Ferdi langsung pada inti karena sepertinya orang yang ditelepon sedang sibuk.
'Itulah, Pak. Revan semalam kecelakaan dan sekarang dirawat di rumah sakit,' jawab Pak Andi.
"Di rumah sakit mana, Pak? Kalau boleh tahu," tanya Pak Ferdi penasaran.
'Rumah Sakit Sentosa, Pak,' jawab Pak Andi lagi. Ia sedang berjalan kembali ke ruangan Revan.
"Baiklah, saya dan keluarga ke sana sekarang." Pak Ferdi mengakhiri sambungan telepon.
"Ada apa, Pa?!" tanya Fira dengan paniknya, saat ayahnya baru saja menutup sambungan telepon.
"Revan kecelakaan semalam, pastinya Papa belum tahu. Kita ke sana sekarang, Rumah Sakit Sentosa," jawab Pak Ferdi sembari bangkit dari duduknya.
Diikuti dengan Fira dan Bu Alin yang juga bangkit. Mereka keluar kafe.
"Kita naik mobil Papa saja," ucap Pak Ferdi yang terdengar seperti perintah.
Fira dan Bu Alin mengangguk menyetujui usulan Pak Ferdi. Sementara mobil yang tadi dipakai Bu Alin dan Fira dibawa pulang oleh supir pribadi Pak Ferdi dan Bu Alin.
Sementara itu di rumah sakit, Revan mengalami masa kritis. Kesadarannya semakin menurun, belum lagi resiko-resiko akibat dari kecelakaan yang membahayakan dirinya.
"Pa, kita bawa Revan ke Singapura sekarang!" Bu Regina setengah berteriak saking paniknya.
"Baik, Ma. Tenang dulu, biar Papa urus prosedurnya." Pak Andi menenangkan sambil berlalu untuk mengurus semua keperluan dan prosedur pemindahan pasien.
Mereka menyewa pesawat pribadi yang dijadwalkan bisa berangkat Minggu depan.
Bu Regina menatap anaknya dari luar ruangan berdinding kaca tersebut. Revan yang biasanya nampak gagah, kini terkulai lemah dan tak berdaya.
Dokter bahkan berkata kemungkinan Revan akan mengalami amnesia. Beruntung jika sebagian atau sementara tapi itupun belum dapat dipastikan, karena kondisinya yang terus menurun.
Pak Andi baru kembali mengurus surat-surat rujukan ke luar negeri. Ia duduk di samping istrinya yang sedang termenung memandangi ruangan Revan.
Revan belum bisa dikunjungi, keadaannya sangat drop. Karena yang kena saat kecelakaan adalah kepalanya.
"Masih belum sadar, Ma?" tanya Pak Andi pada istrinya.
Bu Regina menggeleng, bibirnya seakan kelu untuk menjawab pertanyaan suaminya. Pak Andi menarik napas dalam.
"Oh iya, tadi Pak Ferdi nelepon Papa, ia bilang akan ke sini bersama keluarganya untuk menengok Revan," tutur Pak Andi menjelaskan peecakapan teleponnya tadi.
Bu Regina seketika melotot ke arah suaminya. Dirinya sebenarnya belum siap bertemu keluarga itu. Rasa sakit hatinya begitu dalam karena kejadian masa lalu yang baru ia ketahui beberapa hari ke belakang.
"Mau ngapain sih, mereka ke sini, Pa?" tanya Bu Regina yang nampak kesal.
"Ya ... mungkin Fira khawatir," jawab Pak Andi, ia tahu istrinya tak suka dengan kedatangan keluarga itu.
Bu Regina mengembuskan napas kasar.
"Padahal Mama inginnya itu mereka sudahlah pisah aja. Apalagi kalau misal Revan amnesia semoga dia lupa semua soal Fira." Bu Regina menggerutu.
"Mau bagaimana lagi, Ma? Masa iya, Papa mesti nolak kedatangan mereka tadi saat di telepon." Pak Andi beralibi.
Bu Regina terdiam, itu sebabnya dari tadi ia tak mengangkat teleponnya. Padahal ponselnya berada di tas yang dibawanya sedari tadi.
Mereka saling diam membisu. Sibuk dengan pikiran masing-masing.