Chereads / Terjebak Pernikahan yang Salah / Chapter 21 - Berkas Pemindahan

Chapter 21 - Berkas Pemindahan

"Hah, Revan calonnya Fira? Kenapa, kok, bisa sampai kecelakaan?" cerocos Oma Nani yang semakin memanjang. Persis seperti reporter yang mewawancarai artis apalagi untuk berita gosip.

"Semalam, ketika jalanan licin, Ma. Revan kayaknya baru pulang lembur," jawab Pak Ferdi malas.

"Harusnya jadi lelaki itu hati-hati apalagi mau nikah. Kalau udah celaka, kan, repot semua!" cerocos Mak Nani, kesal dengan tingkah Revan.

Padahal kecelakaan itu murni tak disengaja.

"Emang Revan itu yang mana, sih, Bang?" tanya Sita penasaran.

"Namanya celaka siapa yang mau, Ma," ucap Pak Ferdi menimpali ucapan ibunya.

"Ada, yang lagi menjalin bisnis dengan perusahaan Abang." Kali ini Pak Ferdi menjawab pertanyaan adiknya.

Malas menimpali ucapan ibu dan adiknya, Pak Ferdi bangkit dari duduknya dan melangkah menuju kamarnya.

Ia membuka pintu kamar yang tak dikunci. Bu Alin rupanya tengah duduk termenung di sofa yang ada di sisi bawah ranjang Tatapan matanya kosong, memikirkan hal yang tengah terjadi pada keluarganya.

Pak Ferdi menutup pintu secara perlahan, kemudian mendekati istrinya. Duduk persis di sebelahnya dan merangkulnya untuk bersandar di dada Pak Ferdi yang empuk. Tidak bidang, karena memang tertimbun lemak dalam tubuhnya yang sedikit gempal.

"Kenapa jadi begini, ya, Pa?" lirih Bu Alin bertanya pada suaminya.

Pak Ferdi hanya membisu, ia tak dapat menjawab pertanyaan istrinya. Sepenuhnya ia sadar kalau ini semua adalah buah dari ulahnya.

Mata Pak Ferdi memerah. Menahan bulir bening yang telah mengembun di netranya. Ia menari napas panjang dan mengembuskannya kasar. Itu membuat emosinya sedikit keluar, meski tanpa suara.

Satu dua tetes air mata membasahi pipi Bu Alin. Ini adalah ujian yang sangat berat untuknya. Semua terasa seperti mimpi buruk yang menghantui. Jika bisa memilih, ia akan memilih bangun dan melupakan mimpi buruk tersebut.

"Ma—maafkan, Papa, Ma. Ini semua akibat dari kesalahan Papa, yang tak berani jujur tentang kekurangan yang dimiliki," tutur Pak Ferdi dengan suara parau.

"Rasanya tak ada yang perlu disalahkan, Pa. Aku hanya terlalu takut menghadapi kenyataan kalau seandainya Fira tahu yang sebenarnya. Kemudian, cinta mereka harus berakhir dengan cara yang meyakitkan," tandas Bu Alin, bibir tipisnya bergetar saat mengucapkan semua itu. Air mata mengalir deras.

Mereka menangis dalam diam. Tanpa suara, hanya air mata yang menandakan betapa hancurnya hati mereka sebagai orang tua. Anak gadis yang dikasihi dan dijadikan ratu dalam hidup, cepat atau lambat akan dilukai sendiri dengan kisah masa lalu mereka.

Tiba-tiba, Pak Ferdi teringat akan menemui dosen yang dekat dengannya semasa kuliah. Sampai saat ini ia masih belum sempat untuk menemuinya.

Setelah meluapkan emosinya dan sedikit meringankan beban di hati. Pak Ferdi mengurai rangkulannya.

Pak Ferdi melirik benda bulat yang menempel di dinding kamarnya. Waktu baru menunjukan pukul sebelas siang. Untuk kembali ke kantor pun sudah terlalu siang rasanya, semua pekerjaan pasti sudah ditangani oleh asistennya.

Ia bangkit dan menuju jendela, pandangannya melihat ke taman luas yang terhampar di depan matanya. Merogoh saku celananya dan mengambil ponsel dari dalam sana.

Ia mencari nomor Pak Denis di ponsel tersebut. Rasanya sudah lama sekali ia tak menghubungi dosen favoritnya tersebut.

'Pak Denis', nama yang tertera di kontak tersebut. Pak Ferdi kemudian menekan tombol hijau guna menghubunginya.

'Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan,' ucap Operator bersuara wanita di seberang telepon.

"Kemana, Pak Denis, ya? Apa ganti nomor," gumam Pak Ferdi lirih.

Sementara itu Fira juga tengah melamun di kamarnya. Semua kejadian yang terjadi akhir-akhir ini begitu terasa janggal baginya.

Mulai dari ekspresi ibunya yang kaget dan risih bertemu dengan Bu Regina. Sampai perbedaan sikap ibu kekasihnya itu padanya saat di rumah sakit tadi.

"Ada apa dengan Mama dan Tante Regina?" gumam Fira lirih.

'Ini bukan hal biasa, ada sesuatu yang mereka sembunyikan,' batin Fira.

Perasaannya tak dapat dibohongi. Ada hal yang mesti diketahuinya. Tapi, ia bingung mesti memulai dari mana.

***

Tiga hari kemudian, semua berkas pemindahan Revan ke luar negeri telah beres. Bu Alin tersenyum lega mendengar kabar tersebut dari suaminya.

"Permisi, Tante." Sebuah suara mengucapkannya dengan lembut dan sopan.

Bu Regina yang sedang tersenyum setelah membahas berkas yang rampung, menoleh ke asal suara. Meski sebenarnya suara itu tak asing baginya.

"Fi—fira," ucap Bu Regina gugup. Ia takut gadis itu mendengar obrolan tadi dengan suaminya.

"Iya, Tante. Maaf, saya baru bisa kembali menjenguk Revan." Fira bicara pelan, seakan merasa bersalah karena baru bisa menengok Revan.

Bu Regina mengembuskan napas kasar. Raut wajahnya terlihat sangat tak suka dengan kehadiran Fira. Padahal saat pertama kali Revan mengenalkan Fira padanya ia begitu menyukai gadis itu.

***

Siang itu, Bu Regina tengah asik melihat album foto Revan dan Rania ketika kecil. Kedua anak yang menjadi pelita hatinya.

"Tak terasa sekarang umur Revan sudah 27 tahun, rasanya baru kemarin aku melahirkannya," gumam Bu Regina sambil membelai-belai foto yang sedang dilihatnya.

"Ma!" ucap Revan setengah berteriak dari pintu utama. Ia baru saja masuk ke rumah, tapi sangat tak sabar bertemu ibunya.

Bu Regina bangkit seketika dan menghampiri Revan yang sedang berjalan di ruang tamu menuju ruang tengah. Di belakangnya ada seorang gadis yang mengikuti.

'Wah, kemajuan besar ini. Akhirnya, Revan bawa teman wanita,' batin Bu Regina yang sangat senang Revan membawa seorang gadis ke rumah.

Revan adalah anak lelaki yang pendiam dan penurut. Ia tak pernah memiliki hubungan sepesial dengan seorang gadis sampai lulus kuliah. Bu Regina memang melarangnya untuk memiliki pacar apalagi kalau untuk mempermainkan hati wanita.

"Ma, kenalkan ini Fira." Revan memegangi lengan gadis cantik yang dibawanya itu.

"Saya Regina, mamanya Revan," ucap Bu Regina kemudian mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Fira menjabat tangan Bu Regina dengan tenang.

"Salam kenal, Tante," ucapnya sopan.

Gadis itu terlihat sangat cantik, cerdas dan mandiri. Bu Regina sangat menyukai sosok Fira yang merupakan tipe menantu idamannya.

"Ayo, silakan duduk. Duh, sampai lupa nyuruh tamu spesialnya Revan duduk." Bu Regina sedikit bercanda untuk mencairkan suasana.

"Ah, bisa aja, Tante." Fira tersenyum manis, menampilkan lesung pipi yang mempermanis wajahnya yang sudah cantik.

Mereka kemudian duduk di sofa ruang tengah tersebut. Fira menatap ada album foto yang nampaknya sudah lama tapi masih terawat.

"Itu, album foto siapa, Tante?" tanya Fira basa-basi, dari pada tak ada obrolan antara mereka.

"Oh, itu album foto Revan dan Rania, adiknya waktu kecil. Kamu mau lihat?" tanya Bu Regina.

"Wah, boleh, Tante." Fira nampak antusias.