"Duduk dulu, Ma," titah Pak Andi lembut.
Bu Regina tak menghiraukannya.
Ceklek.
Pintu ruangan dibuka. Seorang pria paruh baya keluar dengan jas putihnya keluar dari ruangan. Bu Regina langsung menghampirinya dan bertanya keadaan Revan.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Bu Regina dengan cepat dan panik, dadanya naik turun seolah tak sabar menunggu penjelasan dokter.
"Sekarang sedang pingsan, untuk keadaan detilnya Ibu dan Bapak ikut ke ruangan saya," jawab Dokter Farhan sambil melangkah pergi menuju ruangannya.
Bu Regina dan Pak Andi mengikuti dari belakang. Ruangan serba putih itu terlihat begitu rapi dan apik. Dokter Farhan duduk di kursi yang berada di belakang meja kerjanya. Kemudian, mempersilakan kedua orang yang mengikutinya untuk duduk.
"Silakan duduk, Pak, Bu," ucap Dokter Farhan tanpa senyuman. Raut kelelahan tergambar jelas di wajahnya. Sepertinya tindakan medis yang ia lakukan tadi menguras banyak tenaganya.
Bu Regina dan Pak Andi duduk berhadapan dengan sang dokter. Mereka tak sabar menunggu penjelasan tentang anaknya.
"jadi, bagaimana kondisi anak saya, Dok?" tanya Bu Regina, tak sabar menunggu penjelasan sang dokter.
"Seperti yang saya jelaskan tadi, kalau sekarang anak Ibu sedang tak sadarkan diri. Benturan di kepalanya begitu keras hingga tadi anak ibu bergerak-gerak tak karuan saat tak sadarkan diri," tutur Dokter Farhan menjelaskan keadaan Revan.
Bu Regina dan Pak Andi terdiam, menyimak dengan seksama penjelasan dari dokter paruh baya tersebut. Dokter Farhan nampak menarik napas dalam.
"Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui kondisinya. Apalagi ini yang terbentur kepala. Sebaiknya dilakukan tindakan MRI untuk melihat kinerja otak," ujar Dokter Farhan dengan wajah serius.
"Saya belum bisa memastikan separah apa keadaan di dalam kepalanya. Maka tindakan harus dilakukan secepatnya," ucap Sang Dokter menutup penuturannya.
"Lakukan yang terbaik untuk anak kami, Dok. Berapapun biayanya akan kami bayar asal anak kami selamat." Pak Andi berkata dengan tegas, meski terlihat jelas ada gurat kekhawatiran di wajahnya.
Bu Regina memandang dengan terpana pada suaminya itu. Ia tak pernah menyesal menjadikannya sebagai pengganti Radit. Rasa sayangnya pada Revan seakan pada anaknya sendiri. Mereka memiliki satu anak lagi yang sekarang sedang kuliah di luar negeri.
Anak wanita yang cantik dan energik, ia pun tak pernah tahu bahwa dirinya dan Revan berbeda ayah. Mereka hanya tahu memiliki keluarga yang harmonis dan bahagia. Tanpa pernah diberi tahu soal masa lalu kelam ibu dan ayahnya.
"Baik, Pak. Akan kami lakukan yang terbaik untuk anak Bapak," ucap Dokter Farhan mantap.
Tak lama kemudian datang seorang suster memasuki ruangan. Ia membawa surat persetujuan untuk dilakukannya tindakan medis berikutnya.
Tanpa pikir panjang apalagi memikirkan soal biaya, Pak Andi selaku kepala keluarga menanda tangani surat itu. Kemudian, mereka meninggalkan ruangan Dokter Farhan.
Waktu sudah menunjukan hampir tengah malam saat mereka duduk di kursi depan ruang IGD.
"Ma, Papa ambil baju dan makanan dulu, ya, ke rumah." Pak Andi meminta izin istrinya untuk pulang mengambil keperluan selama di rumah sakit.
"Besok pagi saja, Pa. Jalanan licin, sudah tengah malam juga. Mama khawatir." Bu Regina menatap Pak Andi dengan penuh harap.
Berharap Pak Andi mengerti dan mengurungkan niatnya untuk pulang ke rumah.
"Iya, Ma. Tapi, Mama enggak apa-apa tiduran tanpa alas apapun begini?" tanya Pak Andi yang sebenarnya tak tega pada istrinya.
"Enggak apa-apa, Pa." Jawab Bu Regina mantap.
Mereka pun duduk di kursi yang memanjang tersebut. Pak Andi terpejam sambil duduk, saking lelahnya dengan hari ini.
Keesokan paginya, Pak Andi segera pulang untuk mengambil keperluan selama di rumah sakit. Sebelumnya ia telah meminta Bi Inah —ART— mereka untuk menyiapkan semua yang akan dibawa.
Fira terbangun dari tidurnya, perasaannya tak enak sejak semalam. Segera ia mengambil ponsel yang tengah dicharger dan melihatnya.
Nihil. Tak ada yang ia cari. Tak ada pemberi tahuan ataupun chat dari Revan.
"Kemana kamu, Revan?" gumam Fira, jujur ia begitu khawatir pada Revan.
Perasaan sayangnya pada Revan lebih dari sekedar pacar. Ia merasa sudah terikat sejak pertama kali bertemu dengannya. Bukan seperti kebanyakan yang awalnya benci jadi cinta. Ia merasa telah mengenal dan menyayangi pujaan hatinya itu sejak pertama kali bertemu.
Tak ingin tenggelam dalam perasaan gelisah, Fira bergegas bersiap untuk pergi ke kantor seperti biasanya. Berharap semoga Revan mengunjunginya di kantor.
Setelah bersiap, Fira keluar kamar dan menuju ruang makan. Rupanya telah ramai orang di sana.
"Fir, jadi kapan kamu mau lamaran? Ini tante sama oma mau nyiapin semuanya mulai dari dekor, catering dan yang lainnya," cerocos Sita saat Fira baru memasuki ruang makan.
Hal itu membuat nafsu makan Fira hilang seketika. Tapi, ia tak enak jika tiba-tiba pergi tanpa pamit.
"Nanti saja kita bahas, ya, Tante. Hari ini aku ada meeting pagi. Ma, Pa, sama yang lainnya aku pamit pergi sekarang, ya," pamit Fira sambil menyalami tangan keluarganya yang kini begitu banyak.
Selesai bersalaman, Fira langsung pergi menggunakan mobilnya. Rasa lapar di perutnya hilang, tapi gelisah di hatinya malah semakin menjadi.
Fira memutuskan untuk ngopi di kafe dekat kantor, secangkir kopi hangat menemaninya kini. Berkali-kali ia mengecek ponselnya, namun tetap sunyi.
"Apa aku telepon Tante Regina saja, ya?" Fira bertanya pada dirinya sendiri. Menimbang keputusan terbaik untuk mengetahui kabar pujaan hatinya.
Perasaan sungkan menghalangi niat Fira untuk menelepon Bu Regina. Ia kemudian mencoba menelepon nomor telepon Revan. Tak ada jawaban bahkan tak terhubung sama sekali.
"Kemana, sih, kamu ... bikin khawatir saja, ah," ujar Fira sambil menatap foto Revan di ponselnya, seakan mengajak bicara potret tersebut.
Setelah kopi dalam cangkir tandas, Fira bangkit dan membayar minumannya tadi. Ia hendak pergi ke kantornya. Gelisah di hatinya masih sama, mengkhawatirkan keadaan Revan.
Fira berjalan memasuki gedung kantor dengan wajah murung. Tak seperti biasanya yang murah senyum, meskipun hanya senyum simpul. Para karyawan yang berpapasan pun merasa sungkan dan bingung untuk mengucapkan selamat pagi seperti biasanya.
Pikiran Fira tertuju ke ke Revan. Matanya seperti menatap kosong sambil berjalan. Sesampainya di depan ruangan kerjanya, ia masuk dan menghempaskan bobot di kursi.
Fira mengusap wajahnya frustasi. Padahal baru sehari ia tak bertemu dan tak berkabar dengan Revan tapi rasanya tak sanggup untuk melewatinya. Tak pernah terbayang olehnya jika harus putus dari Revan.
"Aku enggak sanggup kehilangan kamu, Revan," gumam Fira sambil menatap langit-langit ruangannya.
Iseng ia membuka aplikasi sosmed berwarna biru. Siapa tahu Revan membuat status hari ini. Ia tak menemukan kabar terbaru dari orang yang dicarinya.
Fira menghentikan aktivitas scrolling-nya ketika menemukan berita kecelakaan semalam.