"Hentikan, sampai kapan kamu akan terus seperti ini, mempermalukan keluarga terus menerus sepeti ini ?"
Suara bentakan itu terdengar begitu menggema di salah satu rumah mewah, Adi Wijaya, lelaki berumur 40 tahunan itu begitu marah dengan putranya.
Elvigo Wijaya Putra, satu-satunya anak dari hasil pernikahannya dengan Delina Anaya, telah tumbuh menjadi lelaki yang sangat buruk.
Lelaki yang akrab disapa Vigo itu selalu saja mempermalukan kedua orang tuanya, Vigo kerap kali mempermainkan wanita yang bahkan tengah menjalin hubungan dengannya.
"Harus berapa banyak lagi wanita yang akan kamu permainkan, dan akan membuat mereka datang ke rumah ini dengan segala kemarahan mereka, sampai kapan Vigo ?"
"Sampai aku menemukan yang terbaiknya"
"Kamu mengharapkan yang terbaik tapi kamu sendiri tidak baik, sadar kamu bagaimana caranya kamu mendapatkan yang terbaik kalau kamu sendiri seperti ini"
"Sudahlah pah, kenapa harus selalu papah permasalahkan seperti ini, semua sudah biasa terjadi untuk apa lagi bersikap seperti ini, tidak akan merubah apa pun"
(Plaakk) Adi seketika menapar Vigo ketika
Vigo justru balik membentak Adi, berani sekali lelaki itu membentak papahnya sendiri, dimana kesopanannya kenapa kurang ajar sekali bicaranya.
"Kurang ajar sekali kamu, kamu bangga dengan kelakuan memalukan mu itu, lantang sekali kamu bicara, dasar anak tidak punya malu, dimana otak kamu ?"
Tak ada jawaban, Vigo hanya diam saja mendengarkan setiap amarah Adi.
Vigo memang tak akan pernah berubah sampai nanti menemukan wanita yang begitu dicintainya, wanita yang akan bisa mencintai diri Vigo sepenuhnya.
"Hentikan semua kelakuan mu itu, papah akan jodohkan kamu dengan anak teman papah"
"Apaan sih pah"
Vigo seketika melirik Adi, kalimatnya terdengar menjijikan bagi Vigo.
"Minggu depan mereka akan kesini, dan kamu harus temui mereka"
"Enggak, aku bisa cari jodoh ku sendiri"
"Kapan .... dimana, sepintar apa kamu memilih wanita, turuti perjodohan ini atau kamu papah usir dari rumah ini tanpa pasilitas apa pun"
Vigo mengernyit, egois sekali lelaki yang berdiri di hadapannya itu.
Zaman telah berubah, kenapa harus tetap saja ada perjodohan, wanita seperti apa yang di jodohkan dengan dirinya.
Vigo tidak akan bisa terima semua ini, Adi benar-benar telah mengambil keputusan sepihak.
"Jangan berani berulah, atau kamu pergi dari rumah, jadi gelandangan saja sana di jalanan"
"Egois, selalu saja memaksakan kehendak papah sendiri, lakukan saja semuanya aku memang tidak pernah punya hak apa pun untuk menentukan pilihan ku sendiri.
"Apa kamu merasa kalau kamu pantas mendapatkan pilihan, selama ini kamu ngapain saja Vigo, pilihan telah banyak menghampiri kamu, sadar kamu"
"Mereka sama sekali bukan pilihan, mereka memang hanya mainan, papah dengar itu"
Adi kembali menampar putranya itu, semakin lama bicara semakin saja kurang ajar.
Vigo telah melanggar semua batasan yang ada diantara mereka, Vigo telah lupa bagaimana caranya menghormati orang tua.
"Tampar lagi pah, ayo tampar, mau sebanyak apa papah tampar aku gak akan merubah apa pun, wanita mana pun yang akan dijodohkan sama aku gak akan pernah bisa merubah apa pun"
"Keterlaluan kamu"
"Jangan ...."
Jerit Delina, wanita itu dengan cepat menahan tangan suaminya agar tak lagi menampar Vigo.
Sampai kapan akan seperti ini, apa Adi tidak sadar kalau Vigo justru semakin membantah jika terus diperlakukan kasar.
Mereka berdua memang tidak bisa saling mengerti satu sama lain, sehingga hanya keributan saja yang kerap terjadi antara keduanya.
"Cukup pah, jangan terus menerus seperti itu, malu tiap waktu ribut terus sama anak sendiri"
"Anak kamu sudah sangat keterlaluan, dia berani membentak papahnya padahal dia sendiri yang salah, untuk apa kamu membelanya sekarang"
"Tapi tidak harus seperti itu, bisa cari jalan keluar yang lain"
"Anak ini memang tak akan bisa lagi dibaiki, dia memang tidak punya fikiran, dia tidak memiliki arah hidup dan hanya mampu mempermalukan orang tua saja"
Vigo sedikit tersenyum, benarkah seperti itu keadaannya.
Apa tidak ada hal baiknya dalam diri Vigo meski itu hanya sedikit saja, Adi memang selalu merendahkannya, Adi tak pernah bisa menghargainya.
Vigo berlalu begitu saja meninggalkan keduanya, Delina menatap sedih kepergian Vigo.
"Lihat itu .... kamu lihat betapa kurang ajarnya dia terhadap orang tuanya sendiri, kamu bisa lihat itu kan ?"
"Iya pah, udah cukup, dengan memarahi dia dan kasar seperti tadi juga tidak akan merubah apa pun, pada akhirnya nanti Vigo hanya akan semakin membangkang saja sama papah"
"Lalu menurut mu dengan cara halus dia bisa berubah, sadar kamu sudah berapa halus kamu memperlakukan dia, apa ada perubahan yang ditunjukannya ?"
Delina terdiam, memang benar, Vigo tak pernah menunjukan perubahan baik meski Delina kerapa menyayangnya.
Vigo selau saja melakukan apa yang memang diinginkannya tanpa peduli yang lainnya, jujur saja Delina memang merasa pusing dengan Vigo.
"Ingatkan dia, minggu depan akan ada Aryo datang kesini, dia harus mau menerima perjodohan ini"
"Papah"
"Cukup, harus berapa banyak wanita lagi yang dipermainkannya, semua wanita itu pada akhirnya hanya akan membuat kita malu, dan semua itu adalah ulahnya Vigo"
Adi berlalu begitu saja, berdebat dengan istrinya hanya akan membuatnya sedih.
Tapi Delina selalu saja mencampuri urusannya dengan Vigo, Delina juga kerap membelanya padahal kesalahannya sudah sangat jelas.
Adi tidak menyukai semua itu, Delina terlalu memanjakan Vigo, sehingga sekarang Vigo menjadi keras seperti itu.
Tingkahnya pun tidak lagi hormat pada orang tuanya, Adi tidak akan terus menerus membiarkan itu terjadi.
"Ya Tuhan, kenapa selalu saja seperti ini, bagaimana caranya agar bisa membuat mereka akur, dan bagaimana caranya membuat Vigo mengerti dengan kesalahannya"
Ucap Delina seraya duduk di sofa, jangankan Adi karena ternyata Delina juga merasa telah kehabisan cara untuk bisa memberi pengertian pada Viog.
Dan Delina semakin pusing jika harus terus menerus melihat dan mendengar pertengkaran mereka berdua, sampai kapan akan seperti itu mereka adalah ayah dan anak harusnya bisa rukun saja.
Delina mengusap wajahnya, entah harus seperti apa Delina bersikap, jika sedang membela Vigo justru Delina yang harus ribut dengan Adi.
Tapi jika dibiarkan saja, Delina juga tidak ingin melihat mereka ribut setiap saat, apa lagi yang akan dilakukan Vigo setelah tahu rencana perjodohan itu.
Delina memejamkan matanya sesaat, harapannya hanya semoga Vigo bisa menerimanya dengan sebaik mungkin.
Dan semoga apa yang menjadi keputusan Adi untuk menjodohkan Vigo adalah yang terbaik, semoga saja bisa untuk merukunkan hubungan ayah dan anak itu.
Delina bangkit dan menyusul Adi ke kamar, sebesar apa pun kekesalannya sekarang, Delina tetap harus baik pada suaminya.